Kini, melalui buku
Diplomasi Ringan dan Lucu,Wahid secara tak langsung telah membuka jalan bagi mahasiswa Indonesia yang berminat meneliti lebih dalam tentang jejak Sukarno di Soviet. Dua topik penting itu bisa menjadi hal istimewa bagi ilmu sejarah.
“Tidak mungkin Rusia mau membangun makam Imam Bukhari kalau tidak ada permintaan Sukarno. Mengingat ketika itu Soviet masih komunis. Pada zaman itu mungkin para notulis tidak berani mencatat karena akan dianggap kelemahan,” tanggap Wahid.
Terlepas dari perdebatan tentang dua topik “persyaratan” Sukarno kepada Khrushchev, buku ini telah hadir ke publik. Pembaca bisa ikut larut tertawa lucu atau terbawa serius. Rusia hari ini adalah negara terbuka dan demokrasi. Masyarakatnya sudah memiliki kebebasan beribadah dan berekspresi.
Wahid telah menghadirkan ide cemerlang. Yaitu, mengangkat khazanah budaya Nusantara lewat Festival Indonesia di Melbourne dan Moskwa secara bermartabat (hlm 133, 235). Dia berhasil membumikan budaya Indonesia sebagai corong promosi budaya.
Memoar ini semacam “disertasi” Wahid. Apalagi, Universitas Negeri Tomsk pernah menganugerahi sebuah gelar kehormatan profesor kepadanya pada 2018. Wahid dinilai ikut memajukan hubungan diplomasi Indonesia-Rusia. Dia menjadi dubes pertama penerima gelar dari universitas tersebut.
Wahid telah menyelami kancah diplomasi politik. Tanpa menihilkan, dia juga ikut meleburkan diri ke ranah kebudayaan. Namanya, patut dicatat dalam sejarah Indonesia dan dunia. Dia telah menabur benih baik lewat Festival Indonesia. Wahid pun laik didapuk sebagai seorang budayawan.[]
*Iwan Jaconiah adalah penyair, esais, kandidat PhD Culturology di Universitas Sosial Negeri Rusia