Buku Diplomasi Ringan dan Lucu karya Wahid Supriyadi. Foto: Dok Pribadi
Buku Diplomasi Ringan dan Lucu karya Wahid Supriyadi. Foto: Dok Pribadi (Iwan Jaconiah)

Iwan Jaconiah

Penyair, esais, kandidat PhD Culturology di Universitas Negeri Sosial Rusia.

Memoar Seorang Diplomat cum Budayawan

Iwan Jaconiah • 21 Februari 2021 11:49

Kisah awal karir Wahid sebagai seorang diplomat muda sangat sarat perjuangan. Lelaki kelahiran Kebumen, 18 Agustus 1959, itu harus bolak balik dari rumah sewaan di Depok menuju kantor di Jakarta Pusat. Dia sering menggunakan bus patas non-ACatau sepeda motor vespa.
 
Pada bab kedua adalah masa Wahid bertugas di Australia; Canberra pada 1983-1993; Melbourne 1995; dan 2004-2007 (Konjen RI). Kisah pertemanan dengan seorang preman Blok M, yang kemudian didapuknya menjadi seorang ustaz di Australia, dijabarkannya penuh guyonan.
 
Pada bab ketiga, diceritakan saat dia bertugas sebagai dubes di Uni Emirat Arab (UEA) pada 2012-2016. Kisah seram dan mimpi buruk pada pekan pertama di UEA tak luput dia suguhkan (hlm 170). Begitu pula, kisah buruh migran. Namun, ada juga kisah lucu seperti saat Wahid menyaksikan pentas tari perut yang sensual dan memikat mata (hlm 216).
 
Sementara di pada bab akhir, adalah masa tugas Wahid di Rusia dan Belarusia. Dia mengisahkan tentang kenangan saat pertama kali berjabat tangan dengan Presiden Vladimir Putin. Juga, pertemuan mengharukan dengan kaum eksil yang terbuang dari angkatan mereka. Membaca buku dengan kata pengantar oleh Profesor Tjipta Lesmana itu, ada benang merah antara kisah pahit dan manis. Penyajian setiap subbab dibungkus secara realis, jujur, dan kocak. Bahasa dan gaya tulisan pun enak dibaca. Wahid seolah-olah sedang bertutur kepada seorang teman karibnya.
 
Buku autobiografi atau memoar ini menjadi penting sebagai memori kolektif. Semacam terbungkus petuah dan nasihat bagi generasi-generasi berikutnya. Terutama, mereka yang akan mengarungi dunia diplomasi secara profesional.
 
Istilah penulisan memoar pertama kali digunakan oleh penyair Inggris Robert Southey pada 1809 secara ilmiah di London. Gaya dan teknik penulisan pun menyebar di kalangan pelancong di Eropa. Mereka menulis kehidupan dan pengalaman sendiri. Terutama, saat berjumpa masyarakat dan tempat baru.
 
Tak mengherankan, dalam bukuDiplomasi Ringan dan Lucuini, pengalaman Wahid bertatap muka dengan masyarakat lokal, baik di Australia, UEA, maupun Rusia, tertuang secara wajar adanya. Wahid tak neko-neko mencurahkan unek-uneknya.
 
Pertemuan dengan sastrawan eksil Achdiat Karta Mihardja (1911-2010) di Canberra, misalnya, dia hadirkan secara dramatis. Achdiat terkenal lewat novelnyaAtheis(Balai Pustaka, 1949). Dia adalah sosok yang kritis terhadap rezim Orde Baru (Orba). Nada bicaranya berapi-api dan keras.
 
Saat itu, Achdiat hendak memperpanjang paspor yang sudah melewati batas. Dia kesulitan oleh sebab satu dan dua hal lainnya terkait administrasi dan birokrasi. Akhirnya, Wahid menegur seorang staf bawahan yang mengurus paspor Achdiat (hlm 40).
 
Tak tanggung-tanggung, Wahid turun tangan. Dia membantu sang sastrawan eksil itu. Dalam beberapa hari saja, paspor baru kelar. Waktu itu, Wahid berinisiatif untuk datang dan antar langsung ke rumah Achdiat. Sang novelis akhirnya lega atas kebaikan itu.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar peluncuran buku rusia bedah buku

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif