Pengalaman berat Wahid lainnya, yaitu pada saat persiapan bangsa Timor Timur dalam upaya menuju penentuan nasib sendiri. Peristiwa penembakan oleh aparat keamanan terhadap mahasiswa dan aktivis pada 12 November 1991 di Dili, benar-benar merepotkan kerja diplomat di Australia (hlm 78).
Ketegangan lain kian Wahid alami saat 43 orang Papua meminta suaka ke Australia. Alasan mereka, yaitu telah terjadi genosida di Papua. Mereka datang dari Merauke menumpang kapal dan tiba di Semenanjung Cape York, pada 19 Januari 2006 (hlm 162).
Saat itu, Yacob Rumbiak menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Melbourne. Pertemuan antara Wahid dan Yacob pun terjalin. Namun, tidak berlangsung alot sebagaimana seharusnya karena intervensi asing.
Kaum eksil kerap dianggap sebagai orang-orang terbuang dan terlupakan dari tanah kelahiran sendiri. Wahid rangkul mereka baik-baik bak sahabat. Itu tak hanya terjadi di Australia, namun juga sebagian besar korban 1965 yang saat itu sedang belajar di Uni Soviet.
Di Moskwa, Wahid bersahabat erat dengan sejumlah eksil. Salah satunya adalah Sartoyo, seorang pakar hukum asal Banyumas. Dia adalah mahasiswa ikatan dinas (Mahid) yang dikirim Bung Karno pada era tahun 50-an untuk belajar ilmu hukum di Kutafin Moscow State Law University (hlm 288).
Sayang, Sartoyo tak bisa pulang bersama ribuan mahasiswa lain sejak revolusi di Tanah Air. Dia pun menikah dengan seorang perempuan pirang bernama Lubov. Sartoyo memang pengikut setia Bung Karno dan berhaluan komunis.
Dia wafat pada 2018. Jasadnya dikremasi dan disimpan dalam sebuah kendi di rumahnya. Pihak keluarga pernah berkeinginan membawa debu mendiang Sartoyo ke Tanah Air, namun belum kesampaian hingga ini hari.
Wahid sering mengundang kaum eksil untuk sekadar makan malam dan berdiskusi pelbagai topik. Setiap 17 Agustus, misalnya, kaum eksil selalu setia hadir untuk mengikuti upacara bendera. Namun, sebagian lainnya tidak pernah menginjakan kaki ke KBRI.
Mereka masih trauma atas perlakuan Orba. Paspor mereka dicabut pada era 1965-2000. Namun pada 2011, mereka telah menjadi bagian dari masyarakat ber-KTP Rusia. Tidak lagi menerima KTP Indonesia karena alasan sudah lanjut usia.
Buku
Diplomasi Ringan dan Lucusaya terima dari Wahid pada Februari ini. Sementara peluncurannya telah dilakukan di Tanah Air, pada Selasa, 10 November 2020, secara daring. Gaya penulisan Wahid di buku ini sangat intuitif.