Buku Diplomasi Ringan dan Lucu karya Wahid Supriyadi. Foto: Dok Pribadi
Buku Diplomasi Ringan dan Lucu karya Wahid Supriyadi. Foto: Dok Pribadi (Iwan Jaconiah)

Iwan Jaconiah

Penyair, esais, kandidat PhD Culturology di Universitas Negeri Sosial Rusia.

Memoar Seorang Diplomat cum Budayawan

Iwan Jaconiah • 21 Februari 2021 11:49

Meminjam istilah filsuf asal Prusia Immanuel Kant tentang postmodernisme selalu mempertanyakan modernisme. Namun, saya tidak menelaah buku tersebut secara filsafatologi. Malainkan, dari sudut pandang kulturologi. Ini berdasarkan asas yang telah diletakkan antropolog Amerika Leslie White.
 
Secara kuat, buku ini memberi perspektif kebudayaan. Sebagaimana, subjek (baca: penulis buku) mengamati dan merasakan langsung pengalamannya di daerah baru. Sehingga, diolah menjadi teks bernalar (baca: alur kisah dan cerita nyata).
 
Membudayakan Indonesia
 
Wahid belajar tulis-menulis secara langsung dari seorang tokoh pers nasional, Sabam Siagian (alm). Dia adalah mantan wartawanSinar HarapandanThe Jakarta Post. Sabam pun pernah menjabat sebagai Dubes di Australia periode 1991-1995. Sebagai bawahan saat itu, Wahid banyak mendapatkan ilmu jurnalistik secara tanpa disadarinya. Pengaruh sang mentor bisa dirasakan lewat tulisan-tulisannya yang bernas dan bergaya esai populer. Wahid rampungkan menjadi karya utuh di bukunya.
 
Sementara, penulisan tentang topik sejarah singkat Rusia pada bab keempat (hlm 222), belum begitu komprehensif. Masih lompat-lompat pada runtutan waktu dan kejadian. Namun, Wahid mengakui bahwa pengetahuan awal tentang sejarah Rusia berkat sebuah buku referensi yang dia baca.
 
Adalah buku karya mantan korespondenBBCdi Moskwa, Martin Sixsmith, berjudulRussia: A 1000 Year Chronicle of the Wild East(2012). Buku Sixsmith sesungguhnya lebih kepada hasil telaah jurnalistik popular. Dia memandang Rusia dari sudut kaca mata kudanya sebagai seorang Eropa Barat. Itu tidak sebagai sebuah buku sejarah di kalangan akademisi Rusia.
 
Terlepas dari itu, bukuDiplomasi Ringan dan Lucumenghadirkan topik menarik perihal kunjungan Presiden Sukarno ke Uni Soviet sebanyak empat kali pada 1956, 1959, 1961, dan 1964. Kunjungan pertamanya sangat istimewa karena menjadi era emas hubungan Indonesia-Soviet (hlm 250).
 
Dalam buku tersebut dijabarkan, Sukarno “mensyaratkan” akan berkunjung ke Moskwa asalkan Pemimpin Soviet saat itu, Nikita Khrushchev, mencarikan makam Imam Bukhari di daerah Samarkand, yang kini masuk wilayah Uzbhekistan. Akhirnya, Sukarno datang setelah syarat dipenuhi Khrushchev (hlm 251).
 
Lalu saat pertama berkunjung ke Leningrad (sebelum dan setelah era Soviet bernama St Petersburg), Sukarno menelusuri sungai Neva. Matanya tertuju pada dua menara dengan simbol bulan sabit di atasnya dan sebuah kubah.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar peluncuran buku rusia bedah buku

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif