Buku Diplomasi Ringan dan Lucu karya Wahid Supriyadi. Foto: Dok Pribadi
Buku Diplomasi Ringan dan Lucu karya Wahid Supriyadi. Foto: Dok Pribadi (Iwan Jaconiah)

Iwan Jaconiah

Penyair, esais, kandidat PhD Culturology di Universitas Negeri Sosial Rusia.

Memoar Seorang Diplomat cum Budayawan

Iwan Jaconiah • 21 Februari 2021 11:49

Membicarakan Wahid, bukan Jose, saya merasakan betul kiprahnya selama bertugas di Rusia. Sedikit tarik garis ke belakang. Tepatnya lima tahun silam, Wahid dan istrinya Murgiyati Supriyadi hadir di Moskwa pada musim semi 2016. Hari kedua, mereka langsung cuci mata ke Lapangan Merah.
 
Jelang beberapa hari, tepat pada Jumat, 8 April 2016 sore, digelar acara penyambutan sekaligus perpisahan dengan Dubes Djauhari Oratmangun, kala itu. Murgiyati, sesosok ibu yang terkesan pendiam. Namun, dia begitu ramah. Senyum simpul kecil selalu menggantung di wajah ayunya.
 
Pada sebuah pertemuan lain setelah acara penyambutan itu malam, Murgiyati kian percaya diri. Tak pernahjaimalias ‘jagaimage’. Dia acap kali sibuk sendiri di bibir meja. Gesit menyuguhkan nasi dan lauk pauk komplet untuk diserahkannya kepada pelajar dan tamu yang berpapasan muka.
 
Saya, salah satu yang kebetulan menerima sepiring nasi plus lauk pauk berbukit bak Gunung Mutis, itu. “Ibu Murgiyati, kebanyakan banget,” cetus saya, tersenyum lebar. “Ora opo-opo toh, Mas Iwan. Makan yang banyak ya, kan baru pulang kuliah, toh,” tuturnya, ramah. Perut saya benar-benar hampir “meletus” saking kekenyangan. Bahkan, Murgiyati tampak membungkus perkedel dan mi goreng yang kelebihan di meja makan. Dia sodorkan kepada gadis-gadis. Mereka terima, sedikit malu-malu kucing. Riang meninggalkan Ulitsa Novokuznetskaya 12.
 
Memori kolektif
 
Sebagai dubes baru bertugas di Moskwa kala itu, pengetahuan Wahid akan karya-karya sastra, baik puisi maupun cerpen pesastra dunia, sangat tinggi. Penempatannya di Rusia menjadi penting. Untuk urusan sastra, masyarakat Rusia sangat menghargai sejarah para pesastra mereka.
 
Tak heran, patung-patung memorial sastrawan kawakan era emas Alexander Pushkin hingga era perak Anton Chekhov, terpasung di pusat-pusat kota. Di Moskwa dan St Petersburg, misalnya, patung Pushkin angkuh berdiri. Itu sebagai simbol penghargaan pemerintah setempat atas sumbangsih pesastra.
 
Kedekatan Wahid dengan dunia sastra sangat nyata. Maklum, dia adalah alumnus Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada. Dia pun tak canggung saat saya melaporkan bahwa puisi-puisi saya lolos kurasi dan terpilih sebagai peserta pertama Indonesia pada X International Literary Festival,Chekhov Autumn,di Yalta, Krimea, pada 2019.
 
Wahid langsung menyatakan dukungan agar jangan menyia-nyiakan kesempatan menghadiri Festival Sastra Dunia Chekhov itu. “Kawasan Krimea masih rawan bagi diplomat untuk berkunjung. Kita dukung karena Bung Iwan membawa nama bangsa,” tegasnya, kian memberi semangat.
 
Selepas empat tahun bertugas di Negeri Tsar, Wahid dan Murgiyati pun pulang ke Jakarta. Itu terjadi saat peralihan musim panas ke musim gugur lalu. Wahid akhirnya merealisasikan mimpinya. Dia meluncurkan buku berjudulDiplomasi Ringan dan Lucu(Buku Litera, Yogyakarta).
 
Buku setebal 316 halaman itu memuat kisah-kisah nyata selama Wahid bertugas di berbagai negara. Runtutan cerita dan kisah inspiratif tak terpisahkan dari bab demi bab. Bila diurut maka pada bab pertama dimulai dengan kisah dia di Departemen Luar Negeri.

 
Halaman Selanjutnya
Kisah awal karir Wahid sebagai…
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar peluncuran buku rusia bedah buku

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif