Pasukan Amerika Serikat (AS) mengawasi upaya evakuasi dari Afghanistan di Bandara Kabul. Foto: AFP
Pasukan Amerika Serikat (AS) mengawasi upaya evakuasi dari Afghanistan di Bandara Kabul. Foto: AFP

Dari Bush, Obama, Trump Hingga Biden, di Balik Kekacauan Afghanistan

Fajar Nugraha • 24 Agustus 2021 19:04
Kabul: Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah berulang kali mengatakan selama empat bulan terakhir bahwa dia menolak untuk menyerahkan perang di Afghanistan kepada Presiden AS kelima, atau presiden berikutnya setelah dia.
 
Tersirat dalam pernyataan itu adalah keyakinan bahwa perang seharusnya tidak diteruskan kepadanya, hampir 20 tahun setelah dimulai.
 
Setiap presiden sejak 2001 telah menghadapi misi yang berkembang di Afghanistan, yang mengakibatkan puluhan ribu korban Amerika dan Afghanistan. Ini menjadi upaya sia-sia yang membuat frustrasi untuk meningkatkan kepemimpinan politik negara itu dan Taliban yang dengan keras kepala menolak kekalahan.

Biden telah menjelaskan keputusannya untuk menarik semua pasukan AS sebagai pilihan yang diperlukan untuk perang yang tujuannya menjadi kabur. Dia menambahkan bahwa itu digerakkan oleh kesepakatan dengan Taliban yang dibuat oleh Presiden Donald Trump.
 
“Kekacauan yang terjadi dalam mengevakuasi orang Amerika dan Afghanistan yang membantu upaya perang adalah hasil yang dapat diprediksi dan sebagian besar tidak dapat dihindari,” kata Biden pekan lalu.
 
Namun, adegan angkat kaki tergesa-gesa dari Kabul dan pengambilalihan negara oleh Taliban telah terbukti sangat merendahkan Negara Adidaya global yang menghabiskan miliaran dolar dan kehilangan ribuan nyawa dalam upayanya.
 
Baca: AS Dalam Tekanan Jelang Tenggat Waktu Evakuasi Afghanistan.
 
Bagaimana Amerika Serikat menghabiskan 20 tahun di Afghanistan, hanya untuk melihat Taliban kembali memegang kendali saat pasukan AS mundur, akan menjadi topik yang direnungkan oleh para sejarawan selama beberapa dekade. Dan siapa yang akhirnya memikul tanggung jawab adalah perdebatan yang rumit.
 

 
Pendekatan dari tiap-tiap Presiden Amerika Serikat menghadapi isu Afghanistan pun berbeda-beda. Inilah cara pendekatan setiap Presiden AS terkait perang terpanjang yang pernah dialami Amerika:


1. George W. Bush

Setelah serangan teror 11 September 2001, yang direncanakan oleh Al-Qaeda dari pangkalan-pangkalan di Afghanistan, Presiden George W. Bush bersumpah untuk membasmi terorisme global. Dia meminta Taliban -,yang menguasai sebagian besar Afghanistan saat itu,- untuk membebaskan para pemimpin Al-Qaeda yang bersembunyi di Afghanistan, termasuk Osama bin Laden.
 
Ketika Taliban menolak seruan itu, Bush pun mengambil langkah perang. Kongres mengizinkan pasukan AS untuk mengejar mereka yang bertanggung jawab atas 9/11 pada 18 September 2001, meskipun anggota parlemen tidak pernah secara eksplisit memilih untuk menyatakan perang terhadap Afghanistan.
 
Dari Bush, Obama, Trump Hingga Biden, di Balik Kekacauan Afghanistan
Seorang bayi dibawa dari kerumunan warga di Bandara Kabul, Afghanistan. Foto: AFP
 
Bush, dalam sambutannya di sesi gabungan Kongres dua hari kemudian, mengakui bahwa konflik yang akan datang akan menjadi "kampanye panjang yang tidak pernah kita lihat sebelumnya."
 
Namun, bahkan Bush tidak bisa memprediksi seberapa lama perang akan terjadi.
 
Pada 7 Oktober 2001, militer AS secara resmi meluncurkan ‘Operation Enduring Freedom’, dengan dukungan dari Inggris. Fase awal perang sebagian besar melibatkan serangan udara terhadap target Al-Qaeda dan Taliban. Tetapi pada November, 1.300 tentara Amerika masuk di negara itu.
 
Jumlah itu terus meningkat selama beberapa bulan mendatang ketika pasukan AS dan Afghanistan menggulingkan pemerintah Taliban dan mengejar bin Laden, yang bersembunyi di kompleks gua Tora Bora di tenggara Kabul. Osama bin Laden akhirnya menyelinap melintasi perbatasan ke Pakistan.
 
Baca: AS Percepat Evakuasi di Afghanistan Usai Taliban Beri Peringatan.
 
Bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya Bush terus mengirim ribuan tentara AS lagi ke Afghanistan untuk mengejar militan Taliban. Puncaknya pada Mei 2003, Pentagon mengatakan pertempuran besar di Afghanistan telah berakhir. Fokus AS dan mitra internasionalnya beralih ke rekonstruksi negara dan memasang sistem politik demokrasi gaya barat.
 

 
Banyak dari pembatasan Taliban yang jatuh, dan ribuan gadis dan wanita diizinkan untuk bersekolah dan bekerja. Tetapi Pemerintah Afghanistan, yang masih penuh dengan korupsi, membuat para pejabat Amerika frustrasi dan Taliban mulai bangkit kembali.
 
Pada saat yang sama, fokus bergeser di Washington ke arah perang lain, kali ini di Irak, yang menguras sumber daya dan perhatian militer dari Afghanistan. Pada saat Bush terpilih kembali pada 2004, jumlah pasukan di Afghanistan telah mencapai sekitar 20.000, bahkan ketika pengawasan dan perhatian diarahkan lebih tepat pada apa yang terjadi di Irak.
 
Tahun-tahun berikutnya dunia melihat peningkatan yang stabil dalam pasukan Amerika yang dikerahkan ke Afghanistan, terutama ketika Taliban mendapatkan kembali wilayah pedesaan di selatan. Ketika Bush meninggalkan jabatannya pada 2009, ada lebih dari 30.000 tentara AS yang ditempatkan di sana dan ujungnya Taliban melancarkan pemberontakan besar-besaran.

2. Barack Obama

Memasuki Gedung Putih pada 2009, Presiden Barack Obama menghadapi keputusan tentang perang yang diwarisinya dari Bush. Jenderal-jenderal top AS saat itu merekomendasikan ‘lonjakan’ dalam jumlah pasukan untuk melemahkan Taliban, yang melancarkan serangan-serangan pada tingkat yang lebih tinggi.
 
Setelah debat internal yang melelahkan, di mana Wakil Presiden Biden saat itu mengumumkan penentangannya terhadap penambahan tersebut, Obama akhirnya mulai mengerahkan puluhan ribu tentara lagi ke Afghanistan. Pada saat yang sama, dia berkomitmen pada jadwal penarikan yang akan mulai menarik pasukan kembali pada 2011 dan bersikeras pada standar dalam mengukur kemajuan dalam memerangi Taliban dan Al-Qaeda.
 
Obama mengatakan, dalam pidato yang disiarkan televisi bahwa tambahan pasukan AS akan "membantu menciptakan kondisi bagi Amerika Serikat untuk mengalihkan tanggung jawab kepada Afghanistan." Namun kemudian, para pembantunya mengatakan Obama merasa dijejali oleh komandan militer yang mendorong strategi kontra-pemberontakan.
 
Pada Agustus 2010, pasukan AS di Afghanistan mencapai 100.000. Tapi itu di negara yang berbeda -,Pakistan,- di mana intelijen AS akhirnya melacak Osama bin Laden, yang tewas dalam serangan Navy SEAL pada Mei 2011. Tak lama kemudian, Obama mengumumkan dia akan mulai membawa pulang pasukan AS dengan tujuan menyerahkan melepaskan tanggung jawab keamanan kepada Afghanistan pada 2014.
 
Baca: Taliban Ingatkan Konsekuensi Jika AS Perpanjang Tenggat Waktu Evakuasi.
 
Selama tahun-tahun berikutnya, jumlah pasukan terus menurun karena AS terlibat dalam diplomasi penuh dengan para pemimpin Afghanistan. Pada awal masa jabatan keduanya, Obama telah mengadopsi pandangan terhadap negara yang disimpulkan oleh anggota timnya sebagai "Afghanistan cukup baik”.
 
Dari Bush, Obama, Trump Hingga Biden, di Balik Kekacauan Afghanistan
Warga Afghanistan melintas ke perbatasan menuju Pakistan. Foto: AFP
 
Hal tersebut menjadi sebuah pengakuan bahwa upaya untuk menumbuhkan demokrasi gaya barat sebagian besar tidak ada harapan, dan bahwa menghapus teroris serta menjaga Taliban tetap terkendali sama dengan batas peran Amerika Serikat.
 

 
Obama mengumumkan akhir dari operasi tempur besar pada 31 Desember 2014, dengan AS beralih ke misi pelatihan dan membantu pasukan keamanan Afghanistan. Penurunan pasukan lebih lanjut menempatkan AS di jalur untuk penarikan penuh pada saat Obama meninggalkan kantor.
 
Tapi setahun kemudian, saat masa jabatannya hampir berakhir, Obama memutuskan bahwa situasi keamanan yang rapuh di negara itu berarti penarikan penuh yang dia harapkan tidak mungkin dilakukan. Dia meninggalkan kantor dengan menyisakan pasukan AS bertahan di Afghanistan dengan angka di bawah 10.000. Obama mengatakan akan tergantung pada penggantinya untuk memutuskan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

3. Donald Trump

Sebagai kandidat, Trump berjanji akan membawa pulang pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan. Tetapi menepati janjinya terbukti sulit karena Taliban terus melonjak, dan afiliasi ISIS muncul.
 
Dalam keputusan besar pertamanya di Afghanistan, Trump mengalihdayakan otoritas tingkat pasukan ke Pentagon. Timnya terbagi menurut garis ideologis, antara penasihat militernya yang menganjurkan kehadiran yang berkelanjutan dan nasionalis yang lebih kukuh yang menentang intervensi asing.
 
Akhirnya, Trump mengakui dalam pidato Agustus 2017 bahwa meskipun nalurinya adalah untuk menarik semua pasukan AS, kondisi membuatnya tidak mungkin. Dia membiarkan masa depan kehadiran Amerika di sana terbuka, menolak garis waktu untuk penarikan dan sebaliknya bersikeras "kondisi di lapangan" akan menentukan pengambilan keputusan apa pun.
 
Setahun kemudian, Trump menugaskan Zalmay Khalilzad, seorang diplomat Amerika-Afghanistan berpengalaman, untuk memimpin negosiasi dengan Taliban yang dimaksudkan untuk mengakhiri perang. Pembicaraan itu sebagian besar tidak melibatkan Pemerintah Afghanistan, yang menyebabkan perselisihan antara AS dan Presiden Ashraf Ghani.
 
Sementara itu, Taliban terus melakukan serangkaian serangan teror, termasuk di Kabul, yang menewaskan puluhan warga sipil. Bahkan setelah Trump mengundang dan kemudian membatalkan pembicaraan damai dengan kelompok yang akan diadakan di Camp David pada 2019, diskusi berlanjut dengan Khalilzad.
 

 
Sebuah kesepakatan dicapai pada Februari 2020 yang menetapkan arah penarikan penuh Amerika dengan imbalan jaminan dari Taliban akan mengurangi kekerasan dan memutuskan hubungan dengan kelompok-kelompok teror. Tetapi tidak ada tindakan untuk menegakkan janji-janji itu, yang menurut Pentagon tidak terpenuhi.
 
Bahkan ketika pasukan AS mulai pergi, Taliban memperoleh kekuatan. Dan batas waktu Mei 2021 untuk menarik semua pasukan AS akhirnya diteruskan ke penerus Trump.

4. Joe Biden

Sebelum menjabat pada Januari, Biden telah mulai mempertimbangkan apa yang harus dilakukan di Afghanistan, di mana dia sudah lama kecewa dengan upaya perang. Setelah sarannya untuk memindahkan pasukan AS ditolak oleh Obama, Biden akhirnya berada dalam posisi untuk mengakhiri apa yang dia pandang sebagai perang tanpa tujuan.
 
Selama bulan-bulan awal kepresidenannya, Biden menerima saran dari tim keamanan nasionalnya, termasuk peringatan "dengan mata jernih" bahwa penarikan semua pasukan AS dapat menyebabkan runtuhnya Pemerintah Afghanistan dan pengambilalihan oleh Taliban.
 
Sebaliknya, tetap berada di negara itu melewati batas waktu Mei yang ditetapkan dalam kesepakatan Trump dengan Taliban akan membuat pasukan AS terkena serangan.
 
Pada akhirnya, Biden mengumumkan bahwa 2.500 tentara AS yang tersisa di Afghanistan akan pulang pada 11 September 2021 -,20 tahun setelah serangan teror yang memicu perang. Itu clear, kata Biden, bahwa tujuan Amerika Serikat telah terpenuhi,- dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan negaranya untuk membangun Afghanistan menjadi demokrasi yang stabil.
 
Garis waktu akhirnya dipercepat saat Pentagon bekerja untuk menarik pasukan lebih cepat. Pada 2 Juli, AS menyerahkan Pangkalan Udara Bagram -,simbol kekuatan militer AS,- kepada pasukan Afghanistan.
 
Sementara di tempat lain, Taliban mulai mengambil alih ibu kota provinsi, seringkali tanpa perlawanan dari militer Afghanistan.
 
Pada 15 Agustus, Taliban kembali berkuasa di Kabul setelah Ghani melarikan diri dari negara itu. Ini menjadi sebuah keruntuhan yang secara terus terang dikatakan oleh para pejabat Amerika terjadi jauh lebih cepat daripada yang mereka perkirakan.
 
AS dan sekutunya memulai misi tergesa-gesa untuk mengevakuasi warga dan sekutu Afghanistan yang telah membantu selama upaya perang dan takut akan pembalasan oleh militan.
 
Biden mengirim 6.000 tentara AS kembali ke negara itu untuk mengamankan Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul, dan memfasilitasi pengangkutan udara. Tetapi tenggat waktu baru -,31 Agustus,- masih berlaku bagi pasukan itu untuk pergi.
 
Taliban menyebutnya sebagai garis merah. Dan sekarang Biden menghadapi keputusan lain apakah akan memperpanjang atau pergi sesuai dengan ketetapan yang dibuat pada bulan April.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan