Tipikal orang yang terus membeli komuditas yang tak sesuai dengan tingkat kemampuan tersebut kini memiliki istilah tersendiri, yaitu "BPJS" (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita).
Jika terus dilanjutkan, maka pelaku bisa mencari cara lain untuk memuaskan keinginannya tersebut.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Mereka sadar bahwa ada simbol tertentu yang sedang menjadi tren dan uang terbatas, jadi mereka mencoba mencari alternatif lain, misalnya membeli barang imitasi," terang sosiolog Dessy Yasmin kepada Medcom.id.
Selain itu, jika sudah tahap yang berbahaya, pelaku tak segan memanfaatkan diri atau tubuh mereka untuk menjadi komuditas. "Ini adalah jejaring yang kompleks karena menurut pelaku, rasional menurut pandangan mereka adalah sesuatu yang berbasis konsumtif simbol."Namun, alternatif yang dicari pelaku tak selalu mengarah ke hal negatif. Solusi yang kreatif juga tak jarang digunakan sebagai jalan keluar.
Dessy memberi contoh, pelaku yang mengembangkan usaha semacam simbol komuditas yang disukai adalah salah satu upaya pemenuhan keinginan konsumtif yang cukup banyak dilakukan.
Kemudian, salah satu cara yang umum digunakan oleh pelaku adalah berhutang, baik secara harfiah meminjam uang pada orang sekitar atau tagihan kartu kredit yang membengkak.
(Baca juga: Konsumerisme adalah Akar dari "BPJS")
Lalu, mungkinkah si BPJS dengan jiwa konsumtif ini dihilangkan dalam diri seorang individu?
"Bisa saja. Tak ada sesuatu yang tak bisa berubah dalam konteks perilaku," jawab Dessy.
Namun, ia menegaskan, dibutuhkan usaha yang cukup keras dari dalam diri pelaku sendiri dimana ia harus mengerti seberapa paham ia mendapat terpaan konsumerisme. Ibarat adiksi, BPJS yang sudah menajdi gaya hidup yang membuat pelaku sulit untuk keluar dari jerat negatif tersebut.
Dessy mengungkapkan bahwa asal terpaan BPJS juga harus diperhatikan. Jika berasal dari lingkungan sekitar, pelaku sebaiknya mencoba beralih ke lingkungan lain yang dapat membantunya menghilangkan gaya hidup tersebut.
"Ia harus diterpa dengan lingkungan yang berbeda sehingga rasionalnya bisa berubah ke arah yang lebih hakiki daripada komoditas."

(Dessy, selaku sosiolog mengungkapkan bahwa asal terpaan BPJS juga harus diperhatikan. Jika berasal dari lingkungan sekitar, pelaku sebaiknya mencoba beralih ke lingkungan lain yang dapat membantunya menghilangkan gaya hidup tersebut. Foto: Clem Onojeghuo/Unsplash.com)
Berbicara soal lingkungan, Dessy tak hanya membatasi pada dunia nyata saja. Menurutnya, pemilihan panutan dari dunia maya atau media sosial.
Ia mengambil contoh para selebgram, yang cukup sering diidentikkan dengan kemewahan. Beberapa ikon berbeda dibutuhkan untuk membuka mata masyarakat dan memberikan pilihan yang lebih banyak dalam memilih panutan.
"Memilih selebgram dengan nilai-nilai seperti kesederharaan, banyak beraktivitas sosial, atau peduli dengan sesama sebagai panutan adalah salah satu cara untuk mengurangi jiwa konsumtif."
Selain itu, melaksanakan pedoman berbelanja cerdas (smart buyer) juga bisa dijadikan sebagai altenatif mengurangi jumlah pelaku BPJS. "Diajarkan untuk membeli produk dalam negeri yang lebih terjangkau, misalnya."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)
