Bangsa ini punya pengalaman pahit akibat kekonyolan sejumlah pejabat dalam menyikapi
covid-19. Di awal-awal serangan dulu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto berseloroh virus korona tak bisa masuk karena perizinan di Indonesia berbelit-belit. Menhub Budi Karya Sumadi berkelakar covid-19 tak ditemukan di Indonesia karena masyarakatnya punya kekebalan yang didapat dari kegemaran memakan nasi kucing.
Gubernur NTB Zulkieflimansyah pun menyebut susu kuda liar dipercaya sebagai penangkal virus korona. Anak buah Presiden Jokowi yang lain, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, tak mau ketinggalan. Dia memperkirakan korona tak kuat dengan cuaca Indonesia.
Mereka bercanda, tetapi tak lucu. Candaan itu lebih mendekati sikap menganggap enteng kalau bukan kesombongan. Dus, ketika serangan terjadi, kita kelabakan. Negara kewalahan, korban berjatuhan.
Korona masih ada di sekitar kita, itu fakta. Kapan ia akan menyudahi petakanya belum bisa dipastikan. Karenanya, sebelum pandemi benar-benar pergi, lebih baik kita merawat kekhawatiran. Dengan begitu, motivasi untuk mencegah dan melindungi diri tetap tinggi.
Tentu kekhawatiran tak boleh over, tak boleh paranoid. Takarannya harus pas. Seperti profesor psikologi Universitas California, Kate Sweeny, bilang; "Khawatir dengan tingkat yang tepat dan tidak berlebihan akan jauh lebih baik ketimbang tidak mengkhawatirkan apa-apa sama sekali.”