Ilustrasi. MI/Duta
Ilustrasi. MI/Duta (Muhammad Rizaldi Minahaqi)

Muhammad Rizaldi Minahaqi

Tentang Penghinaan Presiden dan Lembaga Negara

Muhammad Rizaldi Minahaqi • 03 Juli 2022 11:58
Ketiga pembatasan ini berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Pada satu sisi, sebelum memutuskan untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan, negara harus bisa memastikan bahwa usulah kriminalisasi itu relevan dengan kepentingan negara yang substansial yang telah dimilikinya.
 
Selain itu, harus juga dipastikan bahwa tindakan kriminalisasi memberikan pengaruh langsung untuk tercapainya kepentingan negara yang substansial tersebut. Selain itu, jika pilihannya adalah melakukan kriminalisasi, negara masih harus bisa membuktikan bahwa pemberian hukuman kepada perbuatan tersebut tidak melebihi apa yang seharusnya diberikan untuk mendukung tercapainya dua pembatasan sebelumnya.
 
Maka sekali lagi kita renungi, apakah kriminal atas penghinaan yang jelas begitu sangat sumir merupakan agenda kepentingan negara di tengah wabah virus covid-19 yang belum selesai? Padahal, ketimpangan dari persoalan kemiskinan dan yang lainnya masih mengakar. Oleh sebab itu, maka pasal penghinaan terhadap institusi negara adalah bentuk overkriminalisasi atau kegandrungan negara untuk mengkriminalkan warga negaranya.
 
Ketiga, persoalan penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara mengakibatkan terseretnya presiden dan orang dalam lembaga negara untuk masuk ke ruang persidangan sebagai legal standing atau subjek hukum yang merasa dirinya terhina. Tentu ini menjadi problematis dan pelik sekali, alih-alih terkena kepada masyarakat sipil justru sebenarnya pasal ini dapat menjadi agenda kriminalisasi untuk setiap lawan politiknya. Selain itu, para perumus dalam naskah akademik sudah memberikan sebuah disclaimer bahwa apa yang disebut “menghina” pasti sesuai juga dengan sosiokultural yang ada di berbagai negara, namun bagi penulis bukan terkait dengan negara, tapi dengan individu subjektif.
 
Keempat, menurut Mardjono Reksodiputro dengan mengutip pendapat CPM Cleiren, martabat raja tidak membenarkan pribadi raja bertindak sebagai pengadu (aanklager). Pasal 134 KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (selaku konkordansi dari Article 111 Wvs Nederland) merupakan pasal perlakukan pidana khusus sehubungan dengan penghinaan terhadap raja (atau ratu) belanda. “Pribadi raja begitu terkait erat dengan kepentingan negara, sehingga martabat raja memerukan perlindungan khusus”.
 
Namun, menurut Reksodiputro, tidak ditemukan rujukan apakah alasan serupa dapat diterima di Indonesia yang mengganti kata “raja” dengan “presiden dan wakil presiden”.
 
Pada titik ini, sebagai poin adalah Indonesia yang kembali lagi menggunakan logika penjajah. Ada semacam paradoks dalam perumusan RKUHP ini. Di sisi lain ingin melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan, namun di sisi lain menggunakan logika penjajah dalam beberapa pasal.
 
Di era demokrasi dan modern yang begitu terbuka seperti saat ini, presiden dan wakil presiden tidak sama dengan raja. Jika dulu raja diibaratkan sebagai wakil Tuhan ataupun sebagai manusia tertinggi yang dianggap paling rasional (meskipun subjektif atas dirinya sendiri), sekarang rakyat secara kolektif yang memiliki peran sebagai wakil Tuhan.
 
Read All
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar kuhp rancangan kuhp Penghinaan Lambang Negara

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif