Pada titik ini rupanya kritik semakin terbuka untuk dilayangkan kepada narasi yang dikembangkan oleh BPHN untuk memasukkan kembali pasal mengenai penghinaan terhadap presiden. Pertama, dalam konteks personifikasi presiden, maka sebenarnya hasrat penguasaan simbolik seperti menjadi penting untuk kedaulatan, meskipun harus membuat rakyatnya menjadi korban delik.
Selain itu, personifikasi presiden sebagai “simbol negara dan terlarang untuk dihina” menjadi sumir. Di satu sisi presiden sebagai lembaga negara (dengan logika presidensial), tapi di sisi lain menjadi manusia yang memiliki hati nurani merasa terhina.
Jika kita jujur, maka masing-masing kita pasti secara tidak langsung menyadari bahwa presiden adalah predikat sosial. Sama seperti kapitalisme. Sebagai contoh, Chairul Tanjung ketika berada di CT Corp, maka predikat sosial dia adalah kapitalisme. Tapi ketika sesampainya di rumah maka bekerja predikat sosial yang lain seperti ayah bagi Putri Tanjung.
Begitu pun presiden, jika di Istana Negara dan kunjungan kenegaraannya, maka melekat predikat sosial bernama presiden. Dan jika di rumah atau warung kopi maka terlepas predikat sosialnya itu.
Kedua, sebagai nilai dasar, penghinaan berkaitan dengan subjektivitas seseorang, “merasa atau tidak merasa” dan “tersinggung atau tidak tersinggung” sebenarnya adalah interpretasi diri dan terlepas dari pemaknaan secara kolektif. Maka para penegak hukum sulit untuk mencari dan merengkuh apa saja persoalan yang dapat menimbulkan ketersinggungan.
Oleh sebab itu, maka penghinaan tidak memiliki persoalan yang begitu substansial. Maka melakukan kriminalisasi pada penghinaan adalah sebuah bentuk overkriminalisasi.
Hal ini terjadi disebabkan ada indikator untuk melakukan kriminal. Di antaranya adalah mensyaratkan terjadinya kerusakan yang benar-benar serius meskipun tidak bersifat jahat dan mengatur pencegahan atas kerusakan yang ingin dihindari dan harus melakukan pencegahan tersebut seproporsional mungkin dengan resiko kerusakan yang dapat dicegah.
Kerusakan apa yang bisa dihadirkan lewat penghinaan terhadap presiden? Tidak sama sekali, subjektivitas atas sebuah peristiwa sulit diandaikan dapat mengakibatkan bencana dan sebuah kerusakan.
Selain itu untuk menjatuhkan fatwa kriminal kepada seseorang, negara harus membatasi pada tiga jenis pembatasan. Douglas Husak mengatakan pembatas itu adalah kepentingan negara yang substansial. Upaya yang secara langsung mendukung terlaksananya kepentingan negara, pembatasan minimun yang diperlukan.