Alih-alih kembali menjadi pahlawan, banyak UMKM yang justru kelelahan. Pandemi yang terus bergulir hingga kurun delapan bulan membuat UMKM keteteran. Bensin mereka hampir habis, sementara pandemi tak kunjung mengempis.
Media Group News berbincang dengan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki akhir pekan lalu untuk membahas bagaimana agar UMKM tetap bisa berkontribusi terhadap pergerakan ekonomi.
Bagaimana update kondisi pelaku usaha UMKM di masa pandemi ini? Pandemi covid-19 ini diperkirakan masih berlangsung dalam satu dua tahun mendatang. Artinya dari sisi ekonomi, masih akan sangat bergantung pada ekonomi domestik, terutama yang bisa meng-address masalah lapangan kerja, pangan, dan kesehatan. Tiga aspek itu yang sekarang paling nyata kita hadapi.
Angka pengangguran dan kemiskinan terus meningkat karena pandemi ini membuat orang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Hal ini berakibat pada daya beli yang terus turun.
Kedua, sekarang selain ada ancaman krisis pangan seperti yang Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) ingatkan, konsumsi masyarakat melemah. Daya beli turun. Masyarakat lebih memprioritaskan pada kebutuhan pokok, kebutuhan sekolah, dan pemeliharaan kesehatan.
Untuk itu, ekonomi domestik yang bisa diandalkan adalah UMKM. Saat ini UMKM memang terdampak luar biasa. Hal ini berbeda dengan 1998. Saat itu krisisnya hanya terjadi di dalam negeri, sehingga dahulu UMKM tampil sebagai penyelamat ekonomi nasional dengan ekspor naik 350 persen.
Sekarang yang terjadi justru krisis global. Saat ini UMKM amat terdampak terutama dari dua sisi, yakni pasokan dan permintaan.
Kami sejak awal Februari sudah membuka call center di kementerian untuk mengetahui apa saja dampaknya. Dari sampel yang kami lakukan, sebanyak lebih dari 200 ribu sampel, ditemukan mayoritas UMKM bermasalah di pembiayaan, menurunnya permintaan, dan terganggunya distribusi bahan baku.
Survei Asian Development Bank (ADB) 17 April-22 Mei 2020 di Indonesia, sebanyak 48,6 persen usaha UMKM gulung tikar. Setengahnya lagi tetap beroperasi di tengah gangguan pasokan dan permintaan yang rendah. Hasil ini hampir sama dengan data yang kami terima dari call center posko pengaduan.
Lalu, sekitar 60 persen UMKM mengurangi karyawan. Sebesar 55 persen UMKM menunda bahkan tidak ada kenaikan pembayaran upah. Ini menunjukkan memang sisi pasokan dan permintaan terganggu.
Lalu langkah apa yang dilakukan pemerintah untuk menghidupkan lagi UMKM?
Pemerintah sudah membuat kebijakan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pertama, mencoba membantu UMKM mengalami masalah cashflow, terutama UMKM yang telah terhubung ke lembaga perbankan.
Ada alokasi PEN sebesar Rp123 triliun untuk program UMKM restrukturisasi utang dan penundaan pembayaran cicilan utang selama enam bulan. Banyak UMKM yang mengalami kesulitan membayar cicilan karena permintaan dan pendapatan turun.
Lalu pemerintah juga mensubsidi bunga cicilan sebesar 6 persen dan subsidi pajak. Artinya mereka bayar 0 persen. Lalu kami juga menawarkan pinjaman baru yang lebih lunak, dengan bunga 3 persen.

UMKM kerajinan tangan. Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Saat ini penyerapan program itu sudah 52,77 persen. Memang agak rendah. Saya kira yang saat ini sudah otomatis jalan pasti program restrukturisasi utang, namun program pinjaman modal masih rendah. Sebab, kegiatan usaha sedang sepi.
Sehingga, pelaku UMKM agak khawatir untuk menanggung beban bunga, termasuk penyalur bank juga akan berhati-hati. Kalau situasi pandemi seperti ini, saat permintaan turun, maka kalau pelaku usaha ditawarkan pinjaman sekecil apa pun bunganya, pasti risiko NPL-nya (kredit macet) tinggi.
Sebab, bila terjadi kredit macet, maka perfomanya akan ditanggung sendiri oleh pihak perbankan. Sementara, OJK juga tidak merelaksasi persentase NPL yang diperbolehkan.
Saat ini NPL maksimum bank 5 persen yang diperbolehkan. Ini semestinya bisa direlaksasi, tidak 5 persen tapi boleh sampai 10 persen, khusus untuk UMKM.
Bagi usaha mikro yang belum terjangkau perbankan (unbankable) dan belum mendapat pembiayaan dari bank, pemerintah bantu dengan Bantuan Presiden (Banpres) produktif. Kami alokasikan itu kepada 12 juta pelaku usaha mikro. Sudah diluncurkan sejak 18 Agustus dan hari ini penyerapannya sudah 61,2 persen.
Di akhir September diharapkan sudah 100 persen karena kami sudah memegang 18 juta data dari daerah, koperasi, Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), dan dari kementerian atau lembaga.
Kami sudah diminta kembali mengajukan Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) oleh Kementerian Keuangan dan sudah kita kirimkan juga. Saya sudah mendapat lampu hijau dari ketua PEN. Bila ada anggaran PEN pemerintah yang tidak terserap, nanti akan ditambahkan lagi (ke hibah).
Untuk tahun depan kami sudah mengajukan Rp48 triliun untuk 20 juta UMKM tahun depan. Pengajuan sudah disampaikan juga di rapat dengar pendapat umum (RDPU) DPR. Kami perkirakan tahun depan masih di dalam situasi sulit. Untuk akuntabilitas serta pengawasannya kami cleansing betul hati-hati agar yang menerima betul-betul usaha mikro.
Bagaimana pemerintah mendongkrak permintaan yang turun?
Dari sisi permintaan kami bantu dengan menyerap produksi UMKM dengan belanja pemerintah dan BUMN. Kami sudah minta kepada Presiden untuk menginstruksikan kementerian dan lembaga membeli produk UMKM.
Ada Rp307 triliun di anggaran (APBN) 2020 yang sudah disetujui untuk dibelanjakan produk UMKM. Kami sudah bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), agar mempercepat proses onboarding produk-produk UMKM di laman khusus e-catalogue LKPP.
Saat ini kami sedang bekerja sama dengan LKPP dan pemerintah daerah untuk mendampingi dan mengkurasi produk-produk UMKM. UMKM harus segera mendaftarkan produknya. Supaya nanti tidak harus ada pengadaan tender.

UMKM produk kopi. Foto: Antara/Feny Selly
Belanja pemerintah ini bukan hanya selama masa pandemi. Ini untuk seterusnya supaya bisa menyerap produk UMKM, baik produk maupun jasa. Seperti, pengadaan furnitur, paket makanan dan minuman, rapat, alat tulis kantor, dan lainnya. Kami juga akan melibatkan e-commerce untuk transaksi Rp50 juta ke bawah. Ada Blibi.com, Tokopedia, hingga Bukalapak.
Yang punya daya beli selain pemerintah adalah BUMN. Kami sudah membuat nota kesepahaman dengan Menteri BUMN bahwa belanja BUMN sebesar Rp250 juta-Rp14 miliar diperuntukkan bagi UMKM. Saat ini baru sembilan BUMN bergabung dengan total dana sekitar Rp35 triliun lewat pasar digital BUMN.
Kami sedang dalam proses bagaimana produk-produk UMKM masuk ke pasar digital BUMN supaya nanti tidak harus lewat tender. Mudah-mudahan dengan dua program besar ini UMKM masih bisa bertahan. Baik dalam soal pembiayaan maupun dorongan terhadap daya beli.
Lalu bagaimana dengan konsumsi masyarakat yang masih anjlok?
Ekonomi Indonesia selama lima tahun sangat mengandalkan kekuatan ekonomi domestik, yaitu belanja pemerintah dan konsumsi masyarakat yang berada di atas 57 persen. Sehingga, selama lima tahun kita masih bisa bertahan tumbuh 5 persen di saat negara-negara tetangga turun pertumbuhannya.
Kami juga membuat kampanye Bangga Buatan Indonesia untuk mendorong agar masyarakat berbelanja produk lokal UMKM. Tujuannya agar perputaran ekonomi bergerak.
Banyak lagi program dilakukan oleh masyarakat seperti program Belanja di Warung Tetangga. Itu untuk menggerakan konsumsi masyarakat supaya mengkonsumsi produk-produk lokal.
Selain itu, karena ada perubahan perilaku konsumen yang kini lebih berbelanja ke online, kami dorong UMKM berjualan di online. Saat ini baru 13 persen UMKM yang sudah masuk ke platform digital atau sekitar 8 juta pelaku usaha. Kami dorong agar akhir tahun bisa sampai 10 juta pelaku usaha. Data menunjukkan ada peningkatan penjualan via online di kuartal II/2020 sebesar 26 persen dibanding kuartal II tahun lalu.
Kami juga melakukan pelatihan, pendampingan, dan konsultasi baik offline maupun online untuk UMKM agar bisa beradaptasi dan berinovasi. Produk UMKM harus bisa menyesuaikan dengan pasar dan keadaan ekonomi baru ini.
Sejauh mana upaya afirmasi pemerintah agar BUMN membeli produk dari UMKM?
Pada rapat terbatas di November 2019, kami dari kementerian mengusulkan agar Presiden memerintahkan BUMN untuk pembelian produk UMKM. Waktu itu langsung disetujui. Ini memang sudah dalam bentuk rapat terbata.
Lalu pada Februari kemarin, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung membuat edaran kepada para menteri. Di dalam setiap rapat juga sudah ditekankan oleh Presiden agar kementerian atau lembaga untu berbelanja produk UMKM.

UMKM produk mi. Foto: Antara/Fauzan
Mungkin implementasinya ini yang masih harus didorong. Kalau sekarang ada LKPP. Lembaga ini akan memudahkan kalau produk yang sudah terdaftar di sana tidak lagi harus lewat tender.
Kami akan terus dorong. Presiden juga akan memerintahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan LKPP untuk memonitor realisasi belanja.
UMKM banyak yang tidak berminat mengambil kredit modal karena tidak ada kepastian serapan produk. Buntutnya, stimulan PEN UMKM tidak dimanfaatkan maksimal. Bagaimana Anda menyikapi ini?
Memang sudah bisa diperkirakan, pada situasi sekarang kalau ditawarkan pinjaman baru meskipun bunga murah, penyerapannya akan rendah. Tapi nanti ini akan sangat berguna ketika ekonomi mulai bergerak.
Kalau stimulan PEN UMKM dalam bentuk restrukturisasi, sudah otomatis semua menunda pembayaran dan cicilan. Stimulan yang ini sudah pasti jalan.
Seberapa besar dampak dari penyerapan produk UMKM oleh kementerian lembaga dan BUMN, saya belum hitung. Tapi kalau belanja kementerian dan lembaga ini maksimal sebesar Rp321 triliun tahun ini.
Itu saya kira yang bisa menggerakkan UMKM luar biasa besar. Ditambah nanti dengan BUMN. Tentu ini tidak bisa menggerakkan semua.
Beberapa sektor UMKM masih bertumbuh seperti sektor pangan. Makanya, pertanian masih tumbuh 16 persen. Menurut saya ini akan cukup signifikan. Sekarang yang punya daya beli siapa lagi kalau bukan pemerintah dan BUMN.
Saya juga sedang mengusulkan program lain, misalnya produk UMKM seperti hasil tangkapan nelayan yang tidak bisa terserap. Sudah ada perintah oleh Presiden agar dibeli oleh BUMN Pangan, dalam hal ini PT Perikanan Nusantara (Perinus). Sehingga, ikan bisa disimpan di gudang beku mereka. Setelah kita inventarisasi, ada gudang yang muat hingga 400 ribu ton.
Lalu produk seperti kopi yang pembeliannya dihentikan oleh eksportir karena permintaan sedang turun, begitu pula jagung. Sebab, sekarang orang fokus pada makanan pokok.
Ini kami minta agar bisa diserap BUMN Pangan seperti Perum Bulog dan PT Berdikari. Saya sudah usul agar diefektifkan resi gudang.
Kami harap dengan program jaminan sosial yang diperluas dan digelontorkan ke masyarakat akan membuat daya beli terjaga walaupun mungkin nanti tidak kembali normal.
Maka, bagaimana sekarang kita mendorong solidaritas sosial agar punya komitmen untuk belanja produk dalam negeri. Supaya dengan daya beli yang terbatas ini, kita tetap bisa mendorong perputaran ekonomi di dalam negeri.
Bagaimana dengan pengusaha ultramikro yang masih unbankable?
Persyaratannya sederhana saja, dengan KTP. Intinya sekarang kami menggunakan data, memastikan bantuan ini tepat sasaran tidak jatuh kepada orang kaya. Jadi, kami bantu usaha mikro yang memang belum mendapatkan pembiayaan dari bank.
Kalau dia berdomisili di luar alamat yang tercantum di KTP, maka harus didukung data lain, yaitu Surat Keterangan Usaha (SKU) dari kepala desa. Lalu data akan didaftarkan oleh kepala Dinas Koperasi dari setiap kabupaten dan kota.
Kami juga minta data pengajuan dari para koperasi, dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), lalu Bank Pembangunan Daerah (BPD), termasuk dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Data itu nanti kami cleansing bersama sistem BPKP untuk memastikan bahwa itu ultramikro dan dengan OJK memastikan dia belum punya pinjaman.

UMKM pembuatan oncom. Foto: Antara/M Iqbal
Begitu data lolos, dengan sistem Informasi Kredit Program (SIKP) Kementerian Keuangan, kami perintahkan kepada bank, yakni BRI dan BNI, untuk membayarkan ke yang bersangkutan by name by address. Bila belum memiliki rekening, orang itu harus membuatnya dahulu. Bagi yang sudah punya rekening, syaratnya harus saldo Rp2 juta ke bawah. Menurut kami ini sudah tepat sasaran.
Kami juga bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari sisi akuntabilitas. Intinya sekarang pemerintah ingin banyak membantu UMKM karena mereka dinamisator ekonomi di situasi seperti ini.
Kami tahu, banyak perusahaan mikro yang modalnya dipakai untuk konsumsi keluarga karena permintaan sedang turun. Maka, agar usaha bisa bertahan, kami tambahkan modal mereka, bukan pinjaman, bukan cicilan, tetapi hibah.
Mungkin oleh sebagian dari mereka ini akan dipakai untuk konsumsi, tidak apa karena bisa memperkuat daya beli. Tetapi, kami yakin karena mereka pelaku usaha. Ketika ada tambahan modal, nantinya akan dipakai menjadi modal kerja. Mereka juga sangat hati-hati. Jadi, tidak usah dicurigai.