Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI M Azis Syamsuddin menyepakati pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. FOTO: DPR RI/Oji/Man
Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI M Azis Syamsuddin menyepakati pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Cipta Kerja, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. FOTO: DPR RI/Oji/Man

Jalan (Nyaris) Bebas Hambatan Pengesahan UU Ciptaker

Angga Bratadharma • 06 Oktober 2020 15:44
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akhirnya sah menjadi Undang-Undang (UU). Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan pemerintah sukses menyepakati UU tersebut dalam sidang paripurna pembicaraan tingkat II atas pengambilan keputusan terhadap RUU tentang Cipta Kerja yang digelar pada Senin sore, 5 Oktober 2020.
 
Meski respons dari masyarakat terutama para buruh cukup keras, namun tidak membuat semangat pemerintah dan DPR RI surut. Terbukti dari rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah dan DPR RI yang dilakukan pada Sabtu malam atau malam Minggu untuk meloloskan RUU Cipta Kerja agar bisa dibawa dalam Rapat Paripurna untuk disetujui menjadi UU.
 
Adapun rapat Baleg DPR di akhir pekan itu dilakukan sampai larut malam dan baru dibuka pada sekitar pukul 21.00 WIB. Sungguh hebat ketangguhan pemerintah dan para wakil rakyat dalam rangka meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU, di kala masyarakat diminta untuk kerja, belajar, dan beribadah dari rumah oleh pemerintah.

Entah gigih atau ada kata lain yang tepat untuk disematkan mengingat pengesahan tersebut dipercepat dari jadwal karena semula diagendakan pada 8 Oktober 2020. Namun tak disangka, kebijakan yang terus dipantau masyarakat dan dipelototi oleh media massa itu sudah selesai dibahas di akhir pekan dan disahkan pada Senin, 5 Oktober. Sontak hal tersebut memicu kekagetan.
 
Bahkan, para buruh bereaksi dengan melakukan aksi unjuk rasa terkait pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Adapun dalam pengesahannya, terdapat enam fraksi menerima RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU. Kemudian satu fraksi menerima dengan catatan, dan dua fraksi menolak.
 
Hujan Interupsi
 
Pantauan Medcom.id, Rapat Paripurna DPR pembahasan RUU Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja sempat dihujani interupsi. Salah satunya datang dari anggota Komisi II Fraksi Demokrat Benny K Harman yang bersikeras meminta kesempatan menyampaikan pandangan partai.
 
"RUU ini kami anggap sangat penting dan ingin publik tahu mengapa fraksi kami menyatakan penolakan,” kata Benny.
 
Benny berpendapat Fraksi Demokrat berhak menyampaikan argumen soal penolakan RUU Ciptaker. Benny ngotot ingin membacakan pandangan fraksi hingga maju ke podium. Namun, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menilai pandangan fraksi sudah disampaikan dalam rapat-rapat sebelumnya.
 
Azis menilai pandangan fraksi dianggap tidak perlu lagi dibacakan untuk menghemat waktu. Namun, kondisi itu yang membuat Benny emosi dan melakukan walk out. "Kami Fraksi Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab," kata Benny
 
Anggota Komisi IX dari Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay meminta hak serupa jika permintaan Benny dikabulkan. Saleh menilai seluruh fraksi juga ingin menyampaikan pandangan dalam rapat paripurna.
 
 

Akan tetapi, Azis menegaskan rapat tidak bisa berlangsung lama untuk mengurangi potensi penularan virus korona (covid-19). Namun, Saleh tetap meminta hak penyampaian pendapat. "Pak Wakil Ketua (Aziz) bilang jangan berlarut-larut karena covid-19 tapi tidak tegas," ujar Saleh.
 
Terlepas dari drama yang terjadi, Rapat Paripurna akhirnya resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Undang-undang sapu jagat itu terdiri dari 15 bab dan 185 pasal. "Saya mohon persetujuan dalam forum rapat paripurna ini. Bisa disepakati?" kata Azis Syamsuddin.
 
Seluruh hadirin menjawab setuju. Ketua Baleg DPR Supratman Andi Atgas menuturkan UU Ciptaker lahir dari 64 kali rapat yakni dua kali rapat kerja, enam kali rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi (Timus dan Timsin), dan 56 kali rapat Panitia Kerja (Panja).
 
Ada tujuh undang-undang yang dikeluarkan dari UU Ciptaker. Hal ini meliputi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
 
UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan turut dikeluarkan. UU Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian turut ditarik dari omnibus law itu.
 
Jalan (Nyaris) Bebas Hambatan Pengesahan UU Ciptaker
 
"RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti, hak haid, dan cuti hamil yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan," tegas Supratman.
 
UU Ciptaker disepakati tujuh fraksi yakni PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat menolak pengesahan UU Ciptaker.
 
Supratman mengaku salah satu poin pembahasan yang alot yakni klaster ketenagakerjaan. Namun, dia menyebut sejatinya seluruh fraksi memiliki niat naik memperjuangkan hak masyarakat. "Seluruh fraksi di DPR menaruh sungguh-sungguh perhatian bagaimana kepastian hak pekerja selalu menjadi perhatian dan diperjuangkan," tuturnya.
 
Parlemen Tanpa Oposisi
 
Kelahiran UU Cipta Kerja ini menuai protes keras dari berbagai macam kalangan. Bahkan ada yang menilai kehadiran UU Cipta Kerja disebabkan parlemen tanpa oposisi. Tak ada yang mengawasi dan kontra terhadap pengesahan aturan itu.
 
"Jadi, semua bebas bak jalan tol tanpa hambatan," kata Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie.
 
 

Dia menyebut parlemen tanpa oposisi sebab semua fraksi di DPR sepakat membahas aturan sapu jagat itu, termasuk Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang menolak pengesahan. Jerry melihat PKS mengikuti pembahasan sejak awal panitia kerja ditetapkan, meski Demokrat baru terlibat saat pembahasan sudah setengah jalan.
 
Menurut Jerry kedua partai baru menolak pengesahan ketika aturan itu sudah hampir pasti disahkan. Selain itu, dia maklum pengesahan RUU Ciptaker menuai protes dari masyarakat. Pembahasan aturan kurang melibatkan partisipasi masyarakat.
 
"Itu pentingnya saat bikin desain besar merancang RUU perlu melibatkan lembaga terkait dan masyarakat," ujar dia.
 
Jerry mendorong pemerintah dan DPR lebih terbuka mendengar masukan masyarakat. Sebab peraturan perundang-undangan seharusnya mengutamakan kepentingan publik. "Cita-cita demokrasi Indonesia adalah keadilan sosial untuk dilaksanakan sehari-hari," tutur Jerry.
 
Mogok Nasional
 
Sementara itu, para buruh mengancam menggelar demo besar-besaran atau mogok nasional selama tiga hari mulai Selasa, 6 Oktober 2020 hingga Kamis, 8 Oktober 2020. Unjuk rasa memprotes fungsi pengawasan DPR yang dianggap tak optimal.
 
"Seharusnya prioritas DPR sebagai institusi yang mengawasi kerja-kerja pemerintah, fokus pada pengawasan dan bersama-bersama menanggulangi persebaran korona (covid-19)," kata Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani.
 
Menurut dia, para buruh tak akan turun ke jalan bila legislatif tak mengesahkan UU Ciptaker. Sikap DPR disebut lebih mengutamakan pengesahan aturan dibandingkan penanganan covid-19. Sikap parlemen dinilai telah melukai hati rakyat.
 
"(DPR) mengabaikan kondisi yang dialami Indonesia saat ini di mana semakin banyak warga yang terkena covid-19," papar dia.
 
Sebanyak dua juta buruh merencanakan mogok kerja tiga hari hingga Kamis, 8 Oktober 2020. Dasar hukum mogok nasional adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
 
Para buruh berasal dari 32 federasi serikat. Selain mogok nasional, buruh juga akan mengambil tindakan strategis lainnya sepanjang waktu sesuai mekanisme konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. Buruh menilai UU Cipta Kerja dinilai merugikan buruh, salah satunya menghapus ketentuan upah minimum di kabupaten/kota, dan juga dapat menurunkan pesangon.
 
 

Di sisi lain, Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) menolak masuknya klaster pendidikan dalam UU Ciptaker yang telah disahkan DPR. Para wakil rakyat justru dinilai telah menjebak atau melakukan prank kepada dunia pendidikan.
 
"Masih bertahannya pasal yang akan menjadi payung hukum kapitalisasi pendidikan, menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan 'prank' terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan," ujar Koordinator P2G Satriwan Salim.
 
Padahal sebelumnya, kata dia, DPR dengan percaya diri mengatakan klaster pendidikan telah dicabut dari RUU ini. Ternyata, dalam pengesahannya kemarin malah berlaku sebaliknya. Pasal yang bermasalah dalam klaster pendidikan di UU Ciptaker, menurut Satriwan, ialah Pasal 65. Pasal tersebut dinilai sebagai upaya kapitalisasi dunia pendidikan.
 
Pada Pasal 65 tersebut dijelaskan, perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha. Sementara, Pasal 65 ayat 2 menyatakan, ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
"Artinya pemerintah (eksekutif) dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya," ungkap Satriwan.
 
Setidaknya ada empat alasan mengapa P2G menolak dan mengecam masuknya klaster pendidikan dalam UU Ciptaker. Pertama, yakni alasan ideologis nilai Pancasila. Analisis Satriwan, dijadikannya pendidikan sebagai sebuah aktivitas usaha yang muatannya ekonomis jelas mengkhianati nilai Pancasila khususnya sila kedua dan kelima.
 
"Sebab pendidikan nanti semakin berbiaya mahal, jelas-jelas akan meminggirkan anak-anak miskin, sehingga tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia tidak akan pernah terjadi," terangnya.
 
Sambut Positif
 
Meski banyak menuai protes, namun kalangan dunia usaha menyambut positif pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan UU Cipta Kerja akan mendorong perekonomian dan investasi melalui penciptaan dan perluasan lapangan kerja.
 
"UU tersebut mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan membuka lapangan kerja, melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan, kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM, ekosistem investasi yang kondusif, hingga tercipta lapangan kerja yang semakin besar," tukasnya.
 
 

Ia mengungkapkan RUU Cipta Kerja merupakan salah satu kebijakan yang penting dalam mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi covid-19. Apalagi saat ini banyak karyawan terpaksa kehilangan pekerjaan maupun menjadi pekerja paruh waktu. Dengan kemudahan investasi yang tertuang dalam UU, akan meningkatkan investasi lalu membuka lapangan pekerjaan.
 
"Kejadian pandemi covid-19 memberikan dampak kontraksi perekonomian dan dunia usaha yang sangat signifikan, RUU Cipta Kerja menjadi penting dan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui program pemulihan dan transformasi ekonomi,” ujarnya.
 
Rosan menambahkan tanpa reformasi struktural tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap melambat meskipun pemerintah berupaya menangani pandemi covid-19 secara maksimal.
 
"Penciptaan lapangan kerja harus dilakukan, yakni dengan mendorong peningkatan investasi sebesar 6,6-7 persen untuk membangun usaha baru atau mengembangkan usaha existing, yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan konsumsi di kisaran 5,4-5,6 persen," ujar Rosan.
 
Di sisi lain, pengesahan UU itu dapat mendukung program pemberdayaan UMKM dan Koperasi sehingga kontribusi UMKM terhadap PDB akan meningkat.
 
"Apabila UU Cipta Kerja dilakukan maka akan meningkatkan daya saing Indonesia dan mendorong investasi masuk sehingga akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat yang akhirnya akan mempercepat pemulihan perekonomian nasional," tuturnya.
 
Dorong Ekonomi dan Investasi
 
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menilai implementasi UU Cipta Kerja akan mampu mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan investasi, sehingga dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Situasi iklim usaha yang dinilai kondusif tersebut bisa semakin mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.
 
Selain itu, UU Ciptaker juga memberikan manfaat yang cukup signifikan, mencakup kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan perizinan berusaha dengan penerapan perizinan berbasis risiko dan penerapan standar. Kemudian, pemberian hak dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja atau buruh, sekaligus mampu meningkatkan daya saing dan produktivitas usaha.
 
"Undang-Undang Cipta Kerja tidak lain merupakan upaya menciptakan kondisi yang lebih kondusif, sehingga membuat investor nyaman berinvestasi di Indonesia, yang tentunya akan memberikan multiplier effect bagi ketersediaan lapangan pekerjaan baru," imbuhnya.
 
 

Tidak hanya itu, pemerintah meyakini dengan kehadiran UU tersebut akan membawa Indonesia keluar dalam jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Menko Perekonomian Airlangga mengutip Presiden Joko Widodo pada pelantikannya tahun lalu, yang menyampaikan Indonesia memiliki potensi untuk bisa keluar dari jebakan tersebut.
 
Hal itu dengan memanfaatkan bonus demografi usia produktif yang dimiliki saat ini. Namun tantangan terbesar untuk mencapai tujuan tersebut adalah bagaimana pemerintah mampu menciptakan lapangan kerja di tengah banyaknya regulasi yang ada. Oleh karenanya butuh penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi melalui UU Cipta Kerja.
 
Jalan (Nyaris) Bebas Hambatan Pengesahan UU Ciptaker
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. FOTO: Kemenko Perekonomian
 
"Untuk itu dibutuhkan UU Cipta Kerja yang mengubah atau merevisi beberapa UU yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja," kata Airlangga.
 
Airlangga mengatakan UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan, serta peningkatan efektivitas birokrasi yang selama ini menjadi keluhan banyak pihak. Ia mengatakan sebelum pandemi covid-19, jumlah regulasi yang perlu diselesaikan sebanyak 43.600. Banyaknya regulasi yang selama ini tumpang tindih membuat daya saing Indonesia tertinggal di ASEAN.
 
Oleh karenanya, ia mengatakan, melalui Omnibus Law, yakni mekanisme yang digunakan untuk mengganti dan mencabut ketentuan UU atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam satu UU tematik bertujuan untuk penciptaan lapangan kerja serta peningkatan iklim usaha di Tanah Air agar makin kompetitif.
 
Garis Besar UU Cipta Kerja
 
UU yang dikenal dengan istilah Omnibus Law Cipta Kerja ini berisi 15 Bab dan 174 pasal. Secara garis besar UU Cipta Kerja mencakup peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan perizinan, perlindungan dan pemberdayaan UMKM dan koperasi, ketenagakerjaan, dan riset dan inovasi.
 
Di samping itu, ada pula soal kemudahan berusaha, pengadaan lahan, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat dan proyek strategis nasional, dukungan administrasi pemerintahan, serta sanksi. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan cakupan materi UU Cipta Kerja sangat luas.
 
Semula mencakup 79 UU, lalu dalam pembahasannya dirampingkan menjadi 76 UU. Cakupan substansi tersebut diyakini akan dapat mendukung upaya bersama untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan investasi, sehingga akan dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
 
"Dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian nasional kita," kata Airlangga.
 
Total ada tujuh UU yang dikeluarkan dari pembahasan, yaitu:
1. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
2. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional.
3. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
4. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
5. UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
6. UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.
7. UU Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
 
Sementara empat UU yang ditambahkan dalam pembahasan yakni:
1. UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
2. UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo. UU Nomor 36 Tahun 2008.
3. UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambangan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah Jo. UU Nomor 42 Tahun 2009.
4. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan