Majapahit, negara serikat terkuat dan terbesar di Asia yang diperkirakan berdiri pada 1293, merupakan kerajaan Hindu yang berpusat di tanah Jawa. Mahfum bila struktur sosial masyarakatnya terbagi dalam beberapa golongan umumnya negara-negara mayoritas Hindu.
Kala itu tatanan sosial masyarakatnya terbagi dalam tujuh kelas atau golongan. Faktor inilah yang disebut-sebut menjadi penyebab sulitnya Islam diterima masyarakat sebagai agama dan budaya yang baru dikenal.

"Sulit masyarakat menerima Islam sebagai agama baru, karena penganjurnya adalah golongan dari kasta rendah," ucapnya saat berbincang dengan medcom.id, Jumat (11/11/2016) kemarin.
Kalangan ningrat
Beberapa versi sejarah menyebutkan Raja Majapahit bergelar Prabhu Brawijaya V menikahi seorang putri Champa beragama Islam bernama Dewi Anarawati dan menjadikannya permaisuri. Kehadiran Anarawati disebut-sebut memudahkan dakwah Islam di tanah Jawa kala itu.
Brawijaya V pun memberikan daerah otonom di Ampeldenta kepada salah satu ulama Islam yang juga keponakan Anarawati, yaitu Sayyid Rahmad atau Raden Rahmat, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel.
Cerita dari Serat Darmo Gandhul ini memberikan pertimbangan baru bahwa Islam masuk dari kalangan kerajaan, bukan disebarkan langsung oleh pedagang yang notabene dianggap kelas Sudra.
"Islam baru diterima era Walisongo. Kenapa? Karena Walisongo menempatkan diri sebagai Brahmana. Sunan itu Brahmana," kata Agus.
Agus menambahkan, Walisongo juga keluarga kerajaan. Boleh dibilang, majelis ulama ini merupakan sekumpulan orang dari kalangan ningrat dan elite penguasa yang mengorganisasi diri untuk kepentingan dakwah serta syiar Islam kala itu.
Selain masuk dari silsilah Sunan Ampel dan keturunan raja Majapahit dari isteri Brawijaya V yang Islam. Adapula keturunan dari Adipati-adipati kala itu, seperti Raden Paku, yang merupakan anak dari pernikahan ulama Pasai Maulana Ishaq dengan seorang putri Adipati Blambangan. Raden Paku kemudian mengembangkan pesantren di kawasan Giri, Gresik, hingga kemudian dikenal dengan nama Sunan Giri.
"Karenanya ciri-ciri Islam yang diajarkan adalah ciri lokal. Mereka hidup di dunia lokal kok, lahir di tanah Jawa," ucap peneliti dari Universitas Brawijaya, Malang ini.
Dari sejumlah kronik perkembangan Islam di tanah Jawa, walisongo tak hanya berhasil menjadikan agama tauhid ini diyakini sejumlah masyarakat melalui pesantren-pesantren yang didirikan. Lebih dari itu, majelis ulama di Jawa ini juga berhasil mengembangkan satu wilayah mandiri secara ekonomi, salah satunya dan yang pertama adalah wilayah Demak Bintara.
Brawijaya V pun secara resmi mengangkat Raden Patah salah yang merupakan putranya dari salah satu istrinya yang muslim sebagai Adipati Demak Bintara kala itu. Raden Patah sendiri merupakan salah satu santri terbaik Sunan Ampel.
Bantah kisah babad
Hasil penelitian Agus Sunyoto menyebutkan bahwa tidak ada perebutan kekuasaan dari Demak secara agresif dalam cerita keruntuhan Majapahit. Ia mengatakan, banyak kisah sejarah yang perlu diluruskan berdasarkan fakta dan penelitian.
Hal ini dikatakan Agus terkait kuatnya pengaruh babad dan serat klasik pada masyarakat Jawa yang terbit di era Mataram. Salah satunya Babad Tanah Jawi, yang juga mengungkapkan runtuhnya Majapahit akibat agresi militan Islam dari Demak pimpinan Raden Patah, yang notabene putera Brawijaya V.
Dalam babad tersebut diceritakan pula pengaruh ulama dalam menggerakan umat Islam saat itu. "Padahal Majapahit memang sudah kritis akibat krisis politik di internal kerajaan. Hancurnya bukan karena serangan Demak seperti yang dikisahkan," ujarnya.
Agus menyangsikan kisah dalam Babad klasik tersebut. Alasannya, kisah itu muncul sekitar era Perang Jawa yang dicetuskan oleh Pangeran Diponegoro. Baginya, banyak muatan kepentingan kolonial dalam politik adu domba pribumi.
Diketahui, Pangeran Diponegoro bersama para pemuka agama sperti Kiai Madja dan Sentot Prawirodirdjo melawan kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan pribumi di masanya. Inilah gerakan massa Islam secara besar-besaran yang pertama di tanah Jawa dan melibatkan pengaruh besar ulama.
Baca: Separuh Kekuatan Pangeran Diponegoro
Kebutuhan mengkerdilkan pengaruh ulama dalam kerajaan saat itu dianggap penting. Karenanya, propaganda anti Islam perlu dilancarkan. Masyarakat Jawa yang sangat menjunjung tinggi sejarah dan peradabannya menjadi pintu masuk yang tepat.
Beritanya, Majapahit hancur karena orang Islam. Propaganda inipun dikuatkan oleh bangsawan Yogyakarta yang pro kolonial dan anti Diponegoro di masa itu.
"Itu bikinan Belanda. Naskah-naskah yang muncul di era Diponegoro. Termasuk cerita agresi militan Islam serang Majapahit hingga runtuh," kata Agus.
Menurut Agus, banyak sejarah yang menyimpang karena merujuk pada naskah-naskah berbau kepentingan kolonial di tahun 1800-an. Termasuk soal silang pendapat antar anggota Walisongo terkait metode penganjuran Islam pada masa pasca Majapahit.
Hingga sekarang saja banyak yang meyakini bahwa pasca Majapahit, atau di era kerajaan Islam Demak, anggota Walisongo saling silang pendapat bahkan saling bunuh. Yang paling santer adalah kisah hukuman mati untuk Syekh Siti Jenar oleh para wali, karena dianggap sesat.
"Itu kan yang bikin Raden Panji Notoroto, dia itu jaksa Belanda pada 1856, bikin serat Syekh Siti Jenar dan diterbitkan. Tapi itu jauh menyimpang. Konflik semacam ini mungkin sengaja dibuat," ujar Agus.
Hal ini juga diakui peneliti penyebaran Islam lainnya, Abdul Munir Mulkhan. Menurut dia, Syekh Siti Jenar adalah penganjur Islam dengan gaya akomodatif terhadap kondisi masyarakat pasca Majapahit, bicara esensi muslim. Sementara wali lain mengedepankan bentuk eksklusif dan materil keislaman. Perbedaan itu diakui ada. Namun, peristiwanya tidak sampai chaos seperti banyak dikisahkan.
"Kebijaksanaan dikedepankan saat itu. Ulama sadar bahwa setiap pendapatnya yang sampai ke telinga masyarakat akan berdampak besar," ujar Mulkhan kepada medcom.id, Kamis (10/11/2016).
Terlepas dari itu, menurut Agus, kisah di Babad atau Serat klasik itu banyak diterbitkan hingga diadopsi sebagai novel. "Itu kan masuknya sastra, bukan sejarah berbasis penelitian," ucapnya.

Seorang umat muslim berjalan menuju ke Masjid Agung Demak (ANTARA/R Rekotomo)
Warna politik
Bagi Agus, sejatinya perbedaan pendapat di internal Walisongo adalah seputar politik. Keterlibatan ulama dalam politik menjadi maklum karena ulama bagian dari perangkat kerajaan. Para wali sendiri merupakan keluarga kerajaan dengan silsilah yang saling berhubungan.
"Di era Demak, tidak ada kekuasaan tunggal. Raja berkuasa atas penegakan hukum. Urusan pemerintahan dahulu ada pada Patih. Sementara kekuasaan legislatif ada pada Walisongo. Pembagian kekuasaannya jelas," ujar Agus.
Alhasil, perbedaan pendapat mengental pasca Sultan Demak Raden Patah dan mangkatnya mufti para Sunan, yakni Sunan Ampel. Perbedaan muncul sejak naiknya Trenggana sebagai Sultan Demak. Agus menyebutkan, tidak semua Wali setuju dengan Trenggana.
Padahal, secara silsilah keluarga, Trenggana adalah cucu dari Sunan Ampel. Kemudian Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah paman dari Trenggana. Sementara Sunan Giri II adalah kakak sepupunya. Sunan Gunung Jati pun memiliki hubungan besan dengan Trenggana. Sementara Sunan Kalijaga adalah mertua Trenggana. "Tapi tidak semua setuju dengan naiknya Trenggana. Banyak yang tidak sepakat dengannya," ucap Agus.
Perbedaan pandangan politik para Wali ini berlangsung hingga wafatnya Trenggana. Peristiwa ini juga menjadi faktor munculnya kekuasaan-keuasaan baru di luar Demak. Saat itu, keponakan Trenggana, Aria Penangsang menuntut haknya atas tahta Kesultanan Islam ini. Aria adalah murid dari Sunan Kudus. Ini yang menjadi alasan Sunan Kudus mendukungnya.
"Pihak lain yg merasa hak atas tahta Demak adalah Jaka Tingkir. Ia Mendapat dukungan penuh Sunan Kalijaga, karena ia cucunya," kata Agus.
Setelah Hadi Wijaya naik tahta, Aria Penangsang pun datangi Giri Kedaton, bertemu pewaris Giri Kedaton: Sunan Giri III. "Di situlah penguasa Pajang Jaka Tingkir diberi gelar Sultan oleh Sunan Giri III, dengan nama Sultan Hadi Wijaya," ujarnya.
Meski perbedaan politik cukup kental di era Walisongo, menurut Agus, tidak pernah ada pengerahan massa yang timbulkan perang besar. "Mereka individu-individu. Tidak ada kekerasan atau chaos seperti di cerita-cerita," kata Agus.
Di era kerajaan, ulama disetarakan dalam golongan Brahmana. Seperti ajaran tentang sabda pandita ratu, maka ucapan ulama menjadi hukum. "Saat ini ucapan ulama tidak semua menuruti. Disuruh turun ke jalan, tidak semua umat ikuti. Ada yang melarang, juga tidak diikuti," katanya.
Dari zaman kolonial di era Diponegoro hingga terakhir era Kiai Hasyim Asy'ari, ulama masih dianggap dan didengar. Sekali diucapkan untuk turun berjihad membela negara, semua langsung menuruti, karena konfliknya pun vertikal antara pribumi dan penjajah.
"Sekarang tidak. Kebijaksanaan itu hilang. Ya, ini juga karena ulamanya sendiri yang menghilangkan citra kebijaksanaan itu karena urusan duniawi semata," ucap Agus.
Baca: Peran Ulama yang Bikin Sekutu Jera
Abdul Munir Mulkhan mengatakan, pelajaran berharga dari sejarah Walisongo yang bisa dipetik adalah soal hubungan kemanusiaan yang tetap terpelihara. "Ulama harus hati-hati menyampaikan pendapatnya. Mereka pengambil keputusan, sementara masyarakat di akar rumput mengikuti. Harus cermat, tidak menggunakan emosi berdasar pada Tuhan," ujarnya.
Senada, Agus berharap ulama saat ini dapat bercermin dengan masa lalu soal kebijaksanaan. "Di era Walisongo, perbedaan ulama tidak pada perbedaan pandangan negara atau kekhalifahan, hanya pada persoalan politik permukaan, tanpa pengerahan massa," pungkas Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News