Benteng Willem II di Semarang didirikan oleh Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van Imhoff atau 11 Mei 1746 dan pernah menjadi lokasi transit penahanan Pangeran Diponegoro sebelum diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Aditya
Benteng Willem II di Semarang didirikan oleh Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Van Imhoff atau 11 Mei 1746 dan pernah menjadi lokasi transit penahanan Pangeran Diponegoro sebelum diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Aditya

Separuh Kekuatan Pangeran Diponegoro

Medcom Files hari pahlawan resolusi jihad
Surya Perkasa • 14 November 2016 19:01
medcom.id, Jakarta: Bendara Raden Mas Antawirya nama kecilnya, Bendara Pangeran Harya Dipanegara namanya ketika dewasa. Tokoh utama penggerak Perang Jawa 1825-1835 yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro.
 
Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan pihak Belanda menjadi sebuah sejarah panjang Nusantara. Mulai dari drama konflik antar bangsawan di bawah kekuasaan Keraton Yogyakarta, epos perang besar yang memakan korban tak sedikit, hingga elegi penangkapan Pangeran Diponegoro.
 
Perang Jawa atau yang lebih banyak disebut sebagai Perang Diponegoro, berdasarkan tulisan Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro milik Peter Carey, merupakan perwujudan puncak kemarahan Pangeran Diponegoro. Salah satunya akibat gaya bisnis Belanda yang sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Pangeran Diponegoro juga mulai muak dengan orang-orang Belanda yang mempengaruhi petinggi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan budaya impor dari barat. Budaya Jawa yang sarat dengan ajaran-ajarn Islam dan dipelahara dalam lingkungan keraton mulai terkikis dengan budaya barat. Hal ini semakin membuat niatan Pangeran Diponegoro untuk membentuk negara Islam semakin menggebu. Dukungan dari ulama mengalir. Menurut Carey, ada 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan penghulu yang sepaham dengannya.
 
Pemicu perang adalah saat pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo, Boyolali, Jawa Tengah. Pangeran Diponegoro menentangnya secara terbuka. Perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro ini pun mendapat simpati dan dukungan rakyat.
 
Pangeran Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Tak pelak lagi, Perang Jawa pun meletus. Inilah perang paling menguras biaya bagi pemerintahan kolonial.
 
Kisah perjuangan ini tertulis di Babad Diponegoro yang kini diakui UNESCO sebagai peninggalan sejarah. Dalam autobiografi perjalanan itu, Pangeran Diponegoro mengakui mendapat banyak dukungan dari pemuka agama sewilayah Mataram. Dukungan ini juga mempengaruhi masyarakat umum dan pejabat yang berpikiran sama.
 
“Diponegoro memiliki dukungan dari banyak pangeran dan bupati, petani pedesaan, dan pemimpin agama. Salah satunya Kiai Madja,” tulis Guus Bruges dan Joop Walhain dalam sebuah bahan ajar berjudul Diponegoro oleh Indonesia dan Belanda yang dimiliki Universitas Leiden, Belanda.
 
Dari beberapa nama ulama yang disebut, Kiai Madja dikisahkan paling menonjol. Apalagi mengingat statusnya sebagai guru sekaligus penasihat spiritual Pangeran Diponegoro.
 
Kiai Madja atau Kiai Modjo yang memiliki nama asli Kiai Muslim Muhamad Halifah (1764-1849) dalam sejumlah literatur diceritakan memiliki peran penting dalam membangun basis masa perjuangan bagi Pangeran Diponegoro. Catatan sejarah mengisahkan Kiai Madja merupakan salah satu dari ulama Jawa Tengah yang menentang gerakan pemurtadan di kalangan bangsawan dan sultan oleh Belanda pada masa penjajahan.
 
Maka, dapat dipahami jika Kyai Madja, ulama terkenal dari desa Baderan dan Madja itu, memutuskan bergabung dengan Pangeran Diponegoro yang tengah membangun basis pasukan perang sabil di Gua Selarong.
 
Darah biru mengalir di Kiai Madja walau dirinya tak dibesarkan di dalam keraton. Dengan kata lain, ia memiliki hubungan kekerabatan juga dengan Pangeran Diponegoro sebagai keturunan raja Mataram.
 
Kiai Madja merupakan salah satu ujung tombak pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa. Namun dalam beberapa penelitian, Kiai Madja disebutkan berselisih paham tentang tujuan akhir perang sabil yang diusung oleh Pangeran Diponegoro.
 
Kiai Madja tidak mempermasalahkan siapa saja yang memimpin selama negara Islam yang kuat dapat berdiri. Sementara Pangeran Diponegoro di sisi lain secara tersirat memposisikan diri sebagai sosok juru selamat bagi tanah Jawa dengan berusaha membentuk kerajaan baru.
 
Motif Pangeran Diponegoro ini dapat dilihat dari transkrip Babad Diponegoro di dalam bab Sultan Abdulkamit Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa 1787–1855 yang ditulis oleh KRT Hardjonagoro dkk.
 
Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, juga menyampaikan RM Antawirya diposisikan lebih seperti pelindung tatanan lama kepercayaan Jawa agar bisa berdampingan dengan ajaran Islam.
 
Sosok lain yang juga menonjol dalam Perang Jawa adalah Sentot Prawirodirjo (1807-1855). Ia merupakan pemuda yang menjadi tangan kanan Pangeran Diponegoro. Tokoh yang juga dikenal dengan nama Sentot Ali Pasha atau Sentot Alibasha ini dipercaya menjadi panglima pasukan dalam Perang Jawa.
 
Lukisan karya G Kepper menggambarkan sosok Sentot berkecak pinggang mengenakan jubah besar dengan ikatan serban di kepala. Sebilah keris yang tersemat di pinggangnya pun semakin memberi kesan gagah.
 
Sejak usia belia, Sentot sudah berhubungan dengan Pangeran Diponegoro. Sentot merupakan putra dari Ronggo Prawirodirjo, ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Ayahnya dicap pemberontak dan dibunuh oleh pasukan yang dipimpin oleh Daendels. Dendam kepada penguasa pun menjadi pendorong Sentot bergabung ke dalam pasukan Pangeran Diponegoro.
 
Selama berperan sebagai panglima perang pasukan Perang Diponegoro, ia mampu membuat tentara Belanda kewalahan. Dalam bukunya berjudul Sebuah Sejarah Modern Indonesia sejak 1300: Perang Jawa MC Ricklefs menyebut peperangan ini menewaskan 15.000 orang di pihak Hindia Belanda. Dengan rincian, setidaknya sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa ditambah 7.000 pribumi menjadi korban. Sedangkan dari pihak Jawa ada 200.000 korban jiwa.
 
“Setelah perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya,” kata Ricklefs.
 
Sebutan Ali Pasha yang dilekatkan ke nama Sentot sebenarnya mengambil gelar dari Kerajaan Turki yang berarti Panglima Besar. Sentot pantas menyandang gelar ini karena Perang Jawa disebut-sebut sejarawan sebagai perang yang banyak menguras sumber daya dan keuangan pihak Belanda.
 
Strategi moderen seperti perang terbuka, perang gerilya, dan perang intelijen digunakan pasukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin Sentot. Pasukan Belanda yang memiliki teknologi lebih maju pun terpaksa dipaksa melebarkan pengaruh secara perlahan lewat strategi Kepung Benteng.
 
Saleh A Djamhari dalam Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830 memaparkan, ada 186 benteng yang didirikan Belanda dalam rentang tiga tahun. Ini menunjukkan betapa pasukan Hindia Belanda kepayahan menghadapi perang yang dipimpin Sentot.
 
Kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro melemah setelah Kiai Madja dan Sentot Alibasha ditangkap oleh pasukan Belanda.
 
Kiai Madja ditangkap pada 17 November 1828 di desa Kembang Arum, Jawa Tengah oleh Belanda. Ia dibawa ke Batavia untuk kemudian diasingkan kembali ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Dengan penangkapan ulama besar ini, pasukan Pangeran Diponegoro mulai kehilangan pengaruh dan dukungan masyarakat. Kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro seperti berkurang separuhnya.
 
Tak mau menyerah, pasukan Pangeran Diponegoro memilih untuk menyebar agar tak terkepung dan tertangkap oleh Belanda. Namun, setelah Sentot berhasil dibujuk Belanda untuk meletakkan senjata pada tahun 1829, perjuangan rakyat Mataram ini pun jadi semakin melemah.
 
Di tempat pengasingan Kiai Madja tak kehilangan karisma, dan justru berhasil membantu penyebaran Islam di Nusantara bagian timur. Tim G Babcock dalam tulisan Kampung Jawa Tondano mencatat upaya Kiai Madja mendirikan kampung Jawa Tondano, Minahasa.
 
Ini disebutkan sebagai awal masuknya Islam di Minahasa. Kiai Madja menyalurkan ilmu beladiri yang dipelajarinya di Ponorogo. Ilmu bela diri ini lah yang kemudian menjadi salah satu cikal bakal pencak silat. Guru dan penasihat Pangeran Diponegoro ini wafat di tempat pengasingan pada 20 Desember 1849.
 
Sementara Sentot, setelah ditangkap, panglima besar pasukan Diponegoro ini dikirim ke Sumatera Barat untuk melawan pemberontakan para ulama dalam Perang Paderi. Alih-alih, kesempatan ini dimanfaatkan Sentot mendapatkan persenjataan dari kerajaan Belanda. Sentot kembali berjuang melawan penjajah di bumi Andalas.
 
Sentot disebut wafat dan dikuburkan di Bengkulu, 17 April 1855. Namun, keberadaan makamnya di Bengkulu ini masih diperdebatkan.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan