medcom.id, Jakarta: Sore menjelang waktu ashar, setelah lebih dari 45 menit menunggu, taksi bercat biru itu baru muncul. Ketika ditanya soal masalah ini, sopir taksi itu beralasan lebih tertarik untuk menyambangi calon penumpang di jam-jam makan siang atau waktu jelang kepulangan. Bukan pada waktu-waktu tanggung yang tidak memiliki banyak peluang.
Zulkifli, nama sopir taksi tersebut, kemudian menuturkan pendapatannya kian hari semakin surut. Kondisi ini sudah dialami selama kurun setahun terakhir, setelah hadirnya dua penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi, Uber dan Grab Car.
“Kami sedang bersaing ketat dengan taksi online itu, jangan sampai hanya berputar-putar membuang bensin, padahal belum tentu mendapatkan penumpang,” ujar Zulkifli dalam perjalanan bersama medcom.id menembus kemacetan Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Menurut Zulkifli, jika rata-rata sebelumnya bisa mengantarkan paling tidak ke sepuluh tujuan dalam sehari, kini dia hanya bisa mendapatkan lima sampai enam penumpang saja.
“Itu pun sudah dengan berbagai strategi dan tenaga yang cukup ekstra,” kata pria yang mengaku sudah enam tahun bekerja sebagai sopir taksi tersebut.
Guna menghindari lamanya proses tunggu kedatangan taksi, kata Zulkifli, sebenarnya calon penumpang bisa melakukan pemesanan melalui telepon atau aplikasi pemesanan via aplikasi di telepon pintar yang juga disediakan Blue Bird. Sayangnya, untuk pemesanan via aplikasi dan telepon yang dimaksud Zulkifli ini dikenakan minimum payment (minimal pembayaran) Rp40.000.
“Sebelumnya memang 40 ribu rupiah, mungkin untuk membandingi tarif taksi online akhirnya perusahaan menurunkan minimum payment menjadi 20 ribu rupiah per 1 Maret kemarin,” kata Zulkifli.
Polemik dunia transportasi publik di Indonesia saat ini satu sisi bisa dianggap sebagai pertemuan dua pesaing dari ruang yang berbeda. Uber dan Grab dari dunia bisnis teknologi berhadapan dengan para operator taksi yang bergelut langsung dalam bidang transportasi. Namun, di sisi lainnya, baik berbasis aplikasi maupun secara langsung bermain dalam ranah transportasi, keduanya saling berebut konsumen yang sama, yakni konsumen transportasi.
Menurut pakar bisnis digital, Joseph Edi Lumban Gaol, kehadiran Uber dan Grab merupakan bagian dari apa yang disebut dengan gejala disruptif dari dunia teknologi. Pola ini sebelumnya juga dirasakan di dunia bisnis media, telekomunikasi, ritel, bahkan bisnis finansial.
“Contoh di media, seperti televisi dan radio cukup terusik dengan kehadiran Youtube, Daily Motion, Vidio.com, dan lainnya. Karena mau tidak mau mereka telah mengambil alih banyak pemirsa,” kata Joseph kepada medcom.id, Kamis (17/3/2016).
Dalam gejala disruptif teknologi tersebut, kata Joseph, biasanya para pelaku bisnis digital mengembangkan pola pemberdayaan konsumen sebagai daya tawar baru yang lebih seksi dibanding apa yang dilakukan para pemain sebelumnya.
“Kata kunci dari inovasi disruptif akibat teknologi digital ini adalah consumer empowerment (pemberdayaan konsumen, red), di mana konsumen yang selama ini biasanya didikte oleh produsen konvensional, sekarang dengan mudah memilih alternatif lain dan bahkan mengendalikan sendiri layanan-layanan yang mereka butuhkan,” kata dia.
Polemik antara penyedia layanan transportasi berbasis aplikasi dan operator taksi konvensional, kata Joseph, sebenarnya hanya sebagai tanda dari apa yang disebut dengan keniscayaan digital. Manusia, akan terus diantarkan pada pola yang serba canggih, praktis dan berbasis jaringan.
“Dalam soal transportasi, Grab misalnya, hadir bukan sebagai operator transportasi melainkan pengelola komunitas berbagi. Model bisnis yang diadopsi adalah C2C atau customer to customer, di mana Grab hanya mengumpulkan komunitas pemilik mobil pribadi yang ingin berbagi dengan anggota komunitas lain yang ingin bepergian tanpa harus memiliki mobil pribadi,” kata dia.
Grab memainkan kecermatannya dalam tata kelola komunitas guna memfasilitasi komunikasi dan transaksi antarpemilik kendaraan dan para konsumen. Perihal mereka tidak tersentuh peraturan dan kewajiban seperti yang diterima operator konvensional, itu karena memang mereka bukan pemiliki armada yang secara langsung memanfaatkan keuntungan dari transaksi bisnis transportasi.
“Tren global ini yang sangat populer disebut dengan crowdsourcing community dan tidak hanya terjadi di industri transportasi,” kata Joseph.
Pertarungan yang adil
Direksi PT Blue Bird Tbk menyatakan pihaknya sebenarnya tak mempermasalahkan kehadiran Uber dan Grab dalam persaingan bisnisnya. Namun, pemerintah semestinya menegakkan aturan yang berlaku mengenai ketentuan usaha angkutan yang menggunakan aplikasi tersebut.
Blue Bird merasa pemerintah telah pilih kasih alias tidak adil dalam memperlakukan Grab dan Uber. Ketidakadilan itu terletak pada aturan main bisnis transportasi yang tidak dipenuhi perusahaan penyedia aplikasi transportasi dalam jaringan (daring) Uber dan Grab Car. Mereka tidak mengikuti tata aturan terutama yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ. Juga tidak menaati kewajiban perusahaan layanan angkutan umum lainnya semisal perpajakan serta penanaman modal.
“Mereka tidak melakukan apa yang kami lakukan. Mereka tidak mengurus izin operasional, uji KIR, dan pajak angkutan. Pantas saja kalau mereka dibilang murah, karena tidak ada beban,” kata Direktur Blue Bird Andre Djokosoetono kepada medcom.id di Jakarta, Kamis (17/3/2016).
Ia berterus terang bahwa perusahaan taksi konvesional kesulitan untuk menyaingi Uber dan Grab Car dalam soal penetapan tarif. Dalam perhitungan beban dan tanggungjawab yang harus dibayar selama ini tidak berbanding lurus dengan definisi tarif murah seperti yang didengung-dengungkan konsumen.
Kepala Humas PT Blue Bird Tbk Teguh Wijayanto menambahkan, besaran tarif sudah ditetapkan oleh pemerintah. Namun, Uber dan Grab Car tidak mengikuti ketetapan pemerintah. Oleh karena itu, konsumen diharapkan bijak dalam menilai. Masyarakat dihimbau tidak menjadikan tarif Grab Car dan Uber sebagai acuan.
“Mereka itu ilegal,” kata Teguh.
Pemerintah pun semestinya mengambil tindakan tegas terkait kehadiran mereka yang merupakan bagian dari jaringan bisnis global di bidang transportasi. Teguh menyatakan, Uber dan Grab Car hanya mengambil keuntungan dari Indonesia tanpa memberi kontribusi sebagaimana perusahaan transportasi lokal yang dilakukan selama ini.
“Mereka itu milik asing. Mengapa dibiarkan? Bayar pajak saja tidak. Mereka hanya mengambil keuntungan tanpa bersumbangsih kepada negara,” kata dia.
Blue Bird, sebagai keterwakilan dari kelompok operator taksi di Indonesia mengaku tidak hanya menjalani aktivitas bisnis. Di sisi lain, pihaknya juga merasa penting untuk menjelaskan kepada khalayak bahwa kemajuan teknologi tidak bisa dipakai untuk melangkahi kewajiban-kewajiban perusahaan terhadap negara.
“Jangan terlalu mendewakan teknologi lah, kalau soal aplikasi kita sudah lama buat sejak 2011. Tapi pajak dan mengikuti peraturan pemerintah lainnya tetap penting,” kata Teguh.
Dalam pola bisnis transportasi, pelayanan terhadap konsumen juga menjadi penting. Pola jaringan yang dipakai Uber dan Grab Car dengan melibatkan mitra berupa mobil-mobil non plat kuning, sebenarnya memberikan tanda tanya besar terhadap jaminan keamanan para konsumen.
“Kami juga mengeluarkan cost tersendiri untuk menjamin sumberdaya sopir yang mumpuni. Pelayanan paling utama adalah menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang di bawah sopir yang berada dalam pengawasan penuh perusahaan,” kata dia.
Lain ladang, lain ilalang
Kesan tidak taat pajak dan melenggang tanpa memenuhi peraturan pemerintah ditampik pihak Grab sebagai keterwakilan dari perusahaan penyedia aplikasi layanan transportasi daring. Menurut Managing Director PT Grab Indonesia, Ridzki Kramadibrata, persoalan tersebut hanya terletak pada pola bisnis yang mereka lakukan sebagai terobosan baru dalam dunia serba digital.
“Persoalannya bukan taat tidak taat, tapi soal pola berbeda yang dipakai. Kami tidak merasa berkewajiban dengan seperangkat peraturan teknis angkutan jalan karena kami memang bukan perusahaan operator taksi. Kami hanya merupakan penyedia aplikasi layanan transportasi. Kami tidak memiliki armada,” kata Ridzki saat dihubungi medcom.id, Jumat (18/3/2016).
Kehadiran Grab, kata Ridzki, hanya untuk menjawab kebutuhan konsumen terkait pelayanan transportasi yang nyaman, murah dan praktis. Persoalan pun bukan sekadar terletak pada adanya aplikasi pemesanan, melainkan pola bisnis yang diterapkan pihaknya sebagai cara baru dalam perkembangan era digital.
“Kami hadir di Indonesia sebagai perusahaan teknologi yang menghubungkan konsumen dengan para pemilik angkutan. Soal pajak dan lain-lain, kami juga membayar pajak PPN, dan pemberian intensif,” kata dia.
Terobosan baru dalam bisnis yang dilakukan Grab tidak bisa dibenturkan dengan pola perusahaan transportasi konvensional yang selama ini dijalani. Grab, kata Ridzki, merupakan perusahaan rintisan (startup) sebagaimana kecenderungan baru yang telah muncul dalam dunia transaksi jual beli, telekomunikasi, media, dan lain-lain.
“Kami legal. Kami juga mencoba memenuhi saran-saran yang diberikan pemerintah. Seperti kemarin soal pentingnya membuat koperasi bagi mitra, ya kami ikuti, karena ini juga baik untuk kepentingan bersama,” ujar Ridzki.
Grab bertekad akan menempatkan diri sebagai perusahaan teknologi karena pola ini dinilai pas guna menjawab kebutuhan publik pengguna jasa transportasi. Kehadiran mereka di bidang layanan jasa transportasi, ujar Ridzki, tidak bermaksud memberangus keberadaan bisnis operator taksi yang selama ini beroperasi di Indonesia.
“Urusan ini biar dijadikan alternatif bagi konsumen untuk menjawab kebutuhan mereka sendiri,” kata Ridzki.
Baik penyedia layanan transportasi daring maupun perusahaan taksi konvensional seakan telah begitu mantap memertahankan dalih masing-masing. Lantas, siapa dan bagaimana seharusnya peran penyelesaian polemik ini dimainkan?, tentu hal ini terletak pada ketegasan pemerintah sebagai perumus regulasi, dan konsumen sebagai raja yang memiliki kebebasan untuk memilih.
Ambil jalan tengah
Dalih yang dipersoalkan operator taksi konvensional yang menuntut kesetaraan tanggungjawab dalam bisnis transportasi memang tak sepenuhnya keliru. Pajak perusahaan transportasi yang selama ini sedikit banyaknya turut mendorong pembangunan nasional menjadi hal yang juga patut dipertimbangkan.
Pengamat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Onno W. Purbo menganggap kedua sisi pertentangan tersebut memang harus diakomodir. Terobosan Grab dan Uber sebagai perusahaan teknologi tidak bisa dihalang-halangi. Tapi di sisi lain, persoalan syarat dan prasyarat perusahaan yang ambil untung dalam ranah transportasi juga patut dipertimbangkan.
“Masalahnya lama-lama Uber dan Grab menjalankan usaha seperti perusahaan taksi. Meski term taksi pun harus ditelaah kembali. Apakah mobil rental dengan tarif per jam itu disebut taksi?. Saya pikir, kalau persoalannya itu, ada baiknya Uber dan Grab turut mengurus perizinan mereka,” kata Onno.
Menurut Onno, tak jarang perkembangan digital di Indonesia ini cukup membingungkan. Suatu waktu, pemerintah kerap mempromosikan peluang bisnis digital melalui pengembangan perusahaan rintisan. Tapi di sisi lain, ketika memunculkan polemik dan perdebatan, solusi pemblokiran seolah-olah menjadi solusi terbaik.
“Termasuk pada persoalan transportasi ini. Kenapa Menhub kok tiba-tiba meminta adanya pemblokiran aplikasi Uber dan Grab?. Kalau persoalannya di izin, ya diskusikan yang matang atau tawarkan solusi titik tengah dari persolan itu,” ujar dia.
Menurut Onno, penyelesaian polemik tidak hanya dibebankan kepada pemain baru yang dalam hal ini diwakili Uber dan Grab. Akan tetapi, perusahaan operator taksi juga perlu untuk mempertimbangkan kecenderungan pola bisnis yang terus berubah, terutama saat memasuki era serba digital sekarang ini.
“Sederhananya pemerintah maupun perusahaan konvensional juga harus mulai memikirkan pentingnya mengubah alur bisnis. Jangan salahkan perusahaan startup karena mereka dianggap lebih efektif. Justru belajarlah dari terobosan yang biasanya digalakan oleh anak-anak muda ini,” ujar Onno.
Kehadiran perusahaan rintisan merupakan gejala keniscayaan digital. Hal ini, menurut Onno, cukup memalukan jika memandangnya dalam nalar yang sempit dan sinis. Perubahan menuju dunia serba digital memungkinkan bagi semua pihak untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Bukan menjadikan mereka berhadap-hadapan, terlebih saling menghalangi.
“Dalam hal ini saya sering mengutip Phil Karn. Either lead or follow but please don't block the road for those who would move forward. Itu yang sering menjadi prinsip yang didengungkan para pendobrak di negara maju,” kata Onno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News