Ratusan taksi diparkir di Silang Monas saat unjuk rasa menolak transportasi berbasis online di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. (foto: Antara/Dean Wibowo)
Ratusan taksi diparkir di Silang Monas saat unjuk rasa menolak transportasi berbasis online di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. (foto: Antara/Dean Wibowo)

Polemik Taksi di Era Revolusi Digital

Medcom Files polemik taksi online
Surya Perkasa, Sobih AW Adnan • 21 Maret 2016 17:47
medcom.id, Jakarta: Dalam satu dekade terakhir, berbagai kecanggihan teknologi digital mengubah kebiasaan dan cara pandang seseorang dalam menjalani kehidupan, termasuk terobosan dalam berinteraksi dan berbisnis. Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang pesat berdampak pada sektor ekonomi. Kehadiran internet dan kecanggihan teknologi digital yang dimulai sejak era tahun 1980-an menandai gelombang perubahan industri tahap kedua. Sebagian besar kalangan lebih suka mengistilahkannya dengan “revolusi digital”.
 
Internet bukan lagi sekadar sumber informasi tetapi juga penunjang bisnis dan ekonomi. Internet kini merupakan medium utama suatu bisnis.
 
Pada era digital seperti ini, tidak dapat dipungkiri bahwa peluang membuka bisnis dengan model startup sangat diminati. Siapapun bisa dengan mudah membayangkan bahwa suatu saat nanti berbagai usaha membutuhkan internet. Kantor-kantor perusahaan hanya sebuah ruangan kecil dengan banyak komputer yang servernya tidak pernah mati.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Albert Einstein pernah mengungkapkan kekhawatirannya mengenai situasi peradaban baru ini. “I fear the day that technology will surpass our human interaction,” kata dia. Meski secara persis bukan pada soal melahirkan generasi idiot atau tidak seperti dalam kutipan sang ilmuwan tersebut, akan tetapi perkembangan teknologi yang teramat deras ini pada akhirnya melampaui interaksi manusia, membuat terkaget-kaget, memancing polemik, bahkan ketidaksiapan manusia itu sendiri. Yang paling baru dalam kasus ini adalah hadirnya pola bisnis digital dalam layanan transportasi publik di Indonesia. Kemunculan aplikasi Uber dan Grab menyentak khalayak. Ia datang sebagai layanan baru transportasi dambaan masyarakat: nyaman, murah, dan praktis.
 
Namun, kiprah Uber dan Grab akhir-akhir ini mendapat pertentangan sengit dari pelaku usaha konvesional di sektor transportasi. Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) menemui Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Jakarta, Senin 14 Maret 2016. Para pengunjuk rasa, termasuk di dalamnya sopir-sopir taksi, meminta Pemerintah memblokir aplikasi taksi online GrabCar dan Uber Taksi. Pratikno menyatakan Kementerian Perhubungan pun sudah menyurati Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk memblokir aplikasi Uber Taksi dan GrabCar.
 
Sayangnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika tak mau buru-buru memenuhi tuntutan pemblokiran kedua aplikasi tersebut. Kemenkominfo belum mau memutuskan kelanjutan nasib dari Uber dan Grab Car. Pemerintah masih mencari jalan keluar agar taksi beraplikasi daring bisa terus dinikmati masyarakat.
 
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, pemerintah tidak bisa sembarangan bertindak dalam membatasi teknologi daring.
 
"Kita tidak bicara blokir atau tidak blokir. Ini di luar semua itu, karena teknologi online itu netral sebenarnya," ujar Rudiantara dalam jumpa pers di Kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2016).
 
Lagi pula, menurut dia, keberadaan taksi beraplikasi daring masih dibutuhkan masyarakat. Hal ini karena masyarakat masih merasakan kenyamanan dalam menikmati fasilitas yang diberikan.
 
"Aspirasi baik dari masyarakat sebagai pengguna jasa yang menginginkan, mengharapkan adanya layanan transportasi umum yang lebih nyaman, yang dirasakan setidaknya yang saat ini aplikasi online yang lebih nyaman dan lebih terjangkau," kata dia.
 
Uber dan Grab dianggap bermasalah dalam hal legalitas perizinan, pajak, penanaman modal, serta syarat dan prasyarat lain yang telah diterapkan dalam tata aturan bisnis transportasi di Indonesia.
 
Industri model lama mulai digeser posisinya oleh model baru yang serba digital, kecanggihan mutakhir, dan jagat maya. Pesan dari lirik lagu Video Killed the Radio Star yang dipopulerkan The Buggles asal negeri Ratu Elizabeth II agaknya tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Pemain baru akan mematikan pemain lama.
 
Angin perubahan ini tidak hanya berhenti di sektor komunikasi dan informasi semata. Secara nyata digitalisasi industri mulai terjadi di sektor lain.
 
“Kita harus sepakat dulu bahwa bicara tentang sektor digital, itu tidak hanya bicara tentang satu sektor informasi saja,” kata Ketua Asosiasi Digital Entrepeneur Indonesia Bari Arijono ketika berbincang dengan medcom.id di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Kamis (17/3/2016).
 
Kelompok yang mampu membaca dan menunggangi angin perubahan era digital ini akan berjaya. Sedangkan yang tidak akan semakin tertekan dengan tuntutan zaman. Begitu yang terjadi di sektor bisnis perdagangan barang dan jasa.
 
Masyarakat Indonesia baru mulai mahfum dengan istilah e-commerce beberapa tahun belakangan. Padahal, gaya berdagang via dunia maya ini telah berkembang pesat di negara lain 10 tahun yang lalu.
 
Sebagian kecil masyarakat mampu melihat peluang dari model bisnis dengan membuka toko di dunia maya ini. Selain bermodal lebih sedikit ketimbang membuka toko fisik, potensi penjualan juga semakin meluas karena jual beli tak terbatas jarak.
 
Beberapa e-commerce bermunculan walau tak banyak yang bisa bertahan. Walau demikian, beberapa e-commerce asli Indonesia yang berhasil bertahan di tengah kepungan e-commerce asing. Beberapa juga mampu menunjukkan taringnya dan mendapat nama.
 
Keberhasilan e-commerce memacu arus barang dan jasa serta mendorong roda perekonomian, disebut sebagai titik awal digitalisasi bisnis mulai terjadi di Indonesia. Namun pada kenyataannya masih banyak yang belum sadar akan potensi luar biasa yang bisa dihasilkan dari melekatkan bisnis, teknologi dan digitalisasi.
 
“Kalau bicara bisnis digital, Indonesia kan baru mengenal satu model bisnis yaitu e-commerce. Ini menjadi tolak ukur utama dalam mengukur bisnis digital. Padahal e-commerce itu kan hanya salah satu bagian dari bisnis digital,” tutur Bari.
 
Diprediksi menembus semua lini
 
Bari yang gencar meningkatkan pelaku e-commerce bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ini menyebut, hampir semua lini akan mengalami digitalisasi. E-commerce yang kini sudah menjamur dan mulai dinikmati manfaatnya menjadi sebuah contoh konkrit. Siapa yang tak tahu Tokopedia, OLX, Bukalapak, Lazzada, Zalora, Mataharimall dan beragam situs e-commerce lain yang gencar berpromosi.
 
Beberapa komoditas tertentu pun, tambah dia, juga sudah mengalami pergeseran. Dulu kita hanya bisa menikmati musik dan film lewat kaset, kemudian berubah menjadi disc, lalu kini berubah lagi menjadi bentuk digital. Dengan sentuhan tangan, kini lagu-lagu bisa diunduh dengan mudah oleh siapan pun.
 
Bisnis transportasi daring pun kini semakin tumbuh di Indonesia. “Di bisnis transportasi digital. Saat ini ada Uber, Grab, kemudian Go-Jek dengan ojeknya,” kata Bari.
 
Warga kini telah bisa menikmati layanan ojek via aplikasi daring yang bebas ribet. Bahkan warga juga bisa memesan kendaraan roda empat berkelas untuk digunakan sebagai transportasi sehari-hari. Dengan standar harga yang pasti dan lebih terjangkau, kepastian keamanan bagi pengguna, juga layanan antar dan jemput ke rumah membuat warga semakin termanjakan.
 
Pemerintah dan beberapa pihak swasta juga tengah melirik potensi digitalisasi untuk kepentingan publik dan ekonomi. Di sektor pertanian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian sedang membuat aplikasi baru untuk digitalisasi pertanian. Tujuannya, membuat harga pangan yang kompetitif dan memotong mata rantai makelar yang menguasai harga. Harga komoditas akan coba dikontrol oleh pemerintah lewat teknologi digital.
 
Kemudian digitalisasi sektor perikanan juga tengah dicoba oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin Menteri Susi Pudjiastuti. Nelayan dimodali perangkat dan aplikasi untuk meningkatkan hasil tangkapan.
 
Sektor maritim dan sektor pariwisata juga tengah menggali manfaat digitalisasi dan teknologi untuk kepentingan mereka. Sektor pelayanan publik dan industri jasa juga mengalami digitalisasi.
 
“Artinya, sudah mulai sadar bahwa sektor riil terkait dengan ini, dan teknologi digital dapat memberi manfaat,” kata Bari.
 
Turut membawa efek negatif
 
Semakin terang cahaya semakin gelap pula bayangan yang dihasilkan. Begitu kira-kira digitalisasi industri yang terjadi. Di satu sisi konsumen dan pengusaha semakin mendapat keuntungan lebih, di sisi lain industri model konvensional justru akan terdampak.
 
Sebut saja efek kemunculan e-commerce yang banyak mematikan toko-toko di dalam mall dan sentra perdagangan. Mereka terpaksa gulung tikar atau beralih usaha karena penjualan menurun. Apalagi semakin banyak konsumen yang beralih belanja ke toko daring.
 
Tutupnya jaringan toko penjual kaset dan cd musik Disc Tarra nan raksasa puna menjadi contoh paling nyata. “Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja,” tegas Bari.
 
Hal serupa terjadi hampir di seluruh dunia. Bahkan di negara Amerika Serikat, toko jaringan sebesar Walmart terpaksa menutup 269 outletnya di seluruh dunia pada tahun lalu. Ini Menjadi bukti betapa teknologi dapat mengganggu (tech-disruption) sektor industri yang tidak mampu berdamai dengan digitalisasi.
 
Begitu pula yang terjadi di sektor transportasi Indonesia. Protes terhadap keberadaan aplikasi daring yang bertarif ala taksi, wujud nyata tentang betapa gagapnya pengusaha maupun pelaku industri konvesional menghadapi gejala tech-disruption.
 
Bari menilai wajar jika warga beralih jika pengusaha atau pemerintah tidak bisa memberikan jasa transportasi yang nyaman, aman, lagi murah untuk masyarakat. Pola yang sama akan terjadi di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Kalau semisalnya pun kini atau di masa yang akan bisa menyediakan, masyarakat akan sulit beralih lagi.
 
Aplikasi transportasi daring ini, kata pria jebolan Universitas Indonesia ini, sangat memanjakan konsumen karena pelayanan mereka yang baik dan tawaran beragam. Bukannya layanan transportasi konvensional tidak baik, tapi mereka terkesan tak inovatif dan terlalu kaku.
 
“Perlu ada inovasi baru. Tidak bisa hanya sekedar menyediakan taksi yang nyaman, kereta yang cepat, tapi juga akses yang mudah stasiun dan tiket murah. Itu baru bisa memberikan tambahan nilai agar bisa menjadi pesaing aplikasi daring yang ada,” terang Bari.
 
Pemerintah harus menjadi penengah
 
Industri transportasi dan teknologi transportasi yang sama-sama bergerak di jasa penyedia angkutan, sebenarnya memiliki model bisnis yang berbeda. Bari secara tegas menyatakan bahwa perusahaan Uber, Go-Jek, dan Grab bukan sebagai pelaku usaha transportasi.
 
Tiga kiblat teknologi transportasi ini hanya bekerja sebagai pengelola platform. Kendaraannya sendiri berasal dari pemilik kendaraaan yang bermitra dengan penyedia platform. Istilahnya, model transportasi ini menggunakan pola ride sharing.
 
“Sebenarnya ada dua model bisnis yang berbeda. Tapi karena mengganggu industri transportasi yang ‘tradisional’ ini menjadi tidak seimbang. Uber dan Grab semakin melejit karena pengguna semakin banyak, akhirnya pendapatan yang konvensional menurun pendapatannya. Sehingga, lama-lama perusahaan taksi ini akan tutup karena tidak mampu menutup biaya operasionalnya,” papar Bari panjang lebar.
 
Karena itu, perusahaan industri transportasi dan perusahaan teknologi informasi tidak bisa dinaikkan ke arena pertarungan yang sama. Medan peperangan keduanya sangat berbeda. Bari menyebut perusahaan taksi konvensional akan babak belur bila harus dibuat bersaing dengan perusahaan teknologi.
 
Perusahaan taksi konvensional perlu membiayai ongkos perawatan, gaji pegawai, belum sistem IT dibelakangan, dan itu tidak murah. Sedangkan perusahan teknologi transportasi ini kan tidak perlu biaya sebanyak industri konvensional. Selain itu ada perkara perizinan operasi dan pajak.
 
Konflik antara model baru dan model lama atau digital dan konvensional ini, perlu ditengahi oleh pihak yang paling bertanggung jawab. Pemerintah Indonesia.
 
Walau segala sesuatunya bertujuan untuk kepentingan konsumen, tapi industri konvensional dan industri digital tak boleh dibiarkan bertarung tanpa aturan. Harus ada aturan penyeimbang, jika tidak bisnis transportasi konvensional akan mati. Begitu juga bisnis dan industri lain yang akan melekat dengan digitalisasi.
 
Caranya bagaimana? Perusahaan transportasi online harus dipaksa memiliki izin usaha dengan membuka cabang di Indonesia. Minimal dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas. Dengan begitu, mereka bisa menjadi subjek pajak.
 
Kedua, dia harus punya kantor fisik dan karyawan di Indonesia. Bukan hanya konsultan dan virtual office yang isinya cuma satu-dua orang. Karyawan ini harus terdiri dari tingkat staf, manajemen, hingga direktur. Minimal ada yang mengurusi personalia, keuangan untuk urusan pajak, operasional teknis, bidang hubungan pemerintah, dan direktur yang bertanggungjawab untuk operasi di Indonesia.
 
“Sekarang, banyak pelaku usaha konvensional yang merasa pendapatannya menurun drastis karena Uber dan aplikasi sejenis. Pemerintah tidak bisa melarang perusahaan tersebut karena tidak ada arah yang jelas dari awal. Akhirnya jadi mengambil kebijakan yang beda-beda, tergantung permintaan. Yang ini minta tutup, ya ditutup. Yang ini minta buka, ya dibuka,” pungkas Bari.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan