Yogyakarta: Iring-iringan mobil jeep berisi orang-orang berkebaya dan berpakaian adat khas jawa membentuk garis memanjang di jalan menuju Dusun Kinahrejo, Sabtu 6, April 2019.
Kendaraan roda dua dari para tim pengamanan jalan dan masyarakat umum yang ikut, berada di belakang barisan mobil jeep yang membelah aspal.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Tiba di gerbang Dusun Kinahrejo, iring-iringan kendaraan yang berawal di kantor Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, berhenti.
Rombongan pengawal berpakaian adat yang memegang tongkat langsung mengambil barisan. Disusul rombongan yang bertugas memanggul gunungan, rombongan Muspida, dan masyarakat umum.
Diiringi tabuhan musik pasukan kerajaan, semua rombongan berjalan menuju Petilasan Mbah Maridjan di mana prosesi seserahan labuhan diinapkan, sebelum dibawa ke Sri Manganti di lereng Merapi, Minggu 7 April 2019 pagi.
(Para kerabat Keraton Yogyakarta dan keluarga Petilasan Mbah Maridjan mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dalam prosesi Labuhan Hargo Merapi. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)
Labuhan dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta, yang sudah dijalankan oleh Sultan Hamengku Buwono I, sejak Kesultanan Yogyakarta berdiri di tahun 1755.
“Labuhan digelar untuk memperingati tingalan jumenengandalem atau ulang tahun kenaikan tahta Sri Sultan Hamengkubuwono X yang ke-31 berdasarkan kalender Jawa pada 29 Rejeb 1952 Be yang bertepatan dengan 5 April 2019," ucap juru kunci Hargo Merapi, Mas Kliwon Surakso Hargo atau Mbah Asih.
"Sekaligus ucapan syukur kepada Tuhan atas berkat yang diberikan dan semoga dijauhkan dari mara bahaya dan bencana,” tambahnya lagi.
Prosesi labuhan diawali dengan serah terima ubo rampe (perabot kelengkapan) oleh perwakilan Keraton Yogyakarta, KRT Widyo Bayu Kusumo, kepada Camat Cangkringan Mustadi, di kantor kecamatan, dan selanjutnya kepada juru kunci Hargo Merapi.
Ubo rampe berisi delapan jenis kain berupa Sinjang Cangkring, Sinjang Kawung Kemplang, Semekan Gadhung, Semekan Bangun Tulak, Kampuh Poleng Ciut, Semekan Gadhung Mlathi, Dhestar Dara Muluk dan Paningset Udaraga.
Selain itu, ada pula iisah konyong (minyak wangi), yatra tindhih (uang tindih), ses wangen (rokok harum), ratus (taburan kemenyan) dan sela (kemenyan). Ubo rampe ini disimpan dalam kotak kecil.
(Prosesi Labuhan Hargo Merapi menjadi tontonan warga dan para pelancong yang berkunjung ke Kinahrejo. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)
(Baca juga: Merapi Belasan Kali Erupsi di Awal Maret)
Prosesi Wilujengan
Usai serah terima ubo rampe, prosesi dilanjutkan dengan gelar budaya Labuhandalem di halaman pendopo Petilasan Mbah Maridjan.Antusias penduduk untuk meyaksikan prosesi ini sangat tinggi. Bahkan, wisatawan yang sedang melancong di daerah wisata Merapi, banyak yang mengabadikan momen tersebut.
Gelar budaya diisi dengan pertunjukan tarian yang diiringi musik gamelan. Selain itu, gunungan yang dibawa ke Petilasan Mbah Maridjan, diperebutkan di penghujung acara gelar budaya.
Prosesi lanjutan adalah acara Wilujengan yang berisi tembang Mocopat dan kenduri, pada pukul 19.00 WIB. Mulai pukul 21.00 WIB, pagelaran wayang kulit dimulai dengan Dalang Ki Abu.
Wayang kulit dilakukan hingga Minggu dini hari, yang dilanjutkan dengan dibawanya ubo rampe oleh juru kunci Hargo Merapi ke Sri Manganti di lereng Hargo Merapi pada pukul 06.30 WIB.
Prosesi labuhan selesai ditandai dengan pembagian sedekah labuhan dan kembali ke petilasan Mbah Maridjan di Kinahrejo.
(Petilasan Mbah Maridjan. Lukisan dan foto Mbah Maridjan yang berada di petilasan yang disimpan dalam pendopo. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus)
Petilasan Mbah Maridjan
Nama Mbah Maridjan sebagai juru kunci Merapi sangat dikenal masyarakat sejak kejadian Gunung Merapi akan meletus di tahun 2006.Bernama asli Raden Ngabehi Surakso Hargo, amanah juru kunci diperoleh dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX, di tahun 1982. Sebelumnya, ia menjabat wakil juru kunci sejak 1970.
Mbah Maridjan meninggal pada 26 Oktober 2010, akibat semburan awan panas Gunung Merapi yang meluncur hingga ke Dukuh Kinahrejo di mana rumahnya berada. Ia ditemukan dalam kondisi bersujud saat meninggal dunia.
Kini, rumahnya di Kinahrejo banyak dikunjungi para wisatawan yang ingin melihat benda-benda sisa letusan Gunung Merapi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)