Qin lebih memilih untuk bisa hidup di desa terpencil di Tiongkok (Foto: CNN)
Qin lebih memilih untuk bisa hidup di desa terpencil di Tiongkok (Foto: CNN)

Tua dan Terasing di Pedesaan Terpencil Tiongkok

Rona kisah
Dhaifurrakhman Abas • 24 Februari 2019 10:08
Tergerus kebijakan pemerintah Tiongkok membuat Qin Taixiao memilih tinggal di pedesaan. Ia pun harus rela ditinggalkan anaknya lantaran ingin mengais rezeki yang lebih layak di perkotaan.
 
Beijing:
Pria berusia 68 tahun itu memikul bundelan puluhan kilogram kayu untuk dibakar di rumah. Cukup berguna saat cuaca dingin menusuk badannya.
 
Puluhan kilogram kayu diambil dari hutan-hutan dekat pedesaan, dia bawa pulang dengan cara digendong. Kemudian, proses tersebut ia lakukan berulang-ulang hingga langit mulai memerah, pertanda senja mulai datang.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Akhir-akhir ini cuaca cukup dingin, biar enggak kedinginan saya membakar kayu untuk menghangatkan tubuh," ujar Qin Taixiao.

Baca juga: Tips Mendisiplinkan Anak dengan Sikap Diam

Qin memilih tinggal di desa. Ia bersama istrinya, Sun Sherong, menikmati masa tua di pedalaman Tiongkok bagian Utara. Sekitar 240 kilometer dari Beijing.
 
Kendati begitu, teknologi di sana sebetulnya tidak tradisional-tradisional amat. Malah mesin penghangat ruangan sudah masuk merambah ke desa tempat mereka tinggal.
 
Tapi mengambil kayu di hutan terus dilakukan untuk menghemat biaya yang semakin menipis di kantongnya. Lagipula dia tengah terserang penyakit paru emfisema dan kanker usus. Katanya duit yang ada, lebih baik diperuntukkan buat membeli obat-obatan saja. Lagipula sudah berhemat pun, hanya sedikit obat yang mampu Ia beli.
 
"Ya mau bagaimana lagi. Harus terus berjuang hidup bukan?" ujarnya tabah, sambil sesekali menyemburkan uap dingin dari mulutnya.
 
Melunak
 
Ketabahan hati baja Qin mulai memudar ketika diajak berbincang soal waktu yang bakal dihabiskan buat liburan Tahun Baru Imlek. Mimik wajahnya tetiba murung, teringat buah hati yang sudah melalang jauh ke negeri seberang.
 
Bagaimana tidak. Dulu Tahun baru Imlek dia habiskan seminggu penuh bersama isteri dan anaknya di desa. Namun seperti banyak pemuda lainnya di desa-desa Tiongkok, anak Qin turut meninggalkan kampung halaman buat mencari pekerjaan, bergabung dengan arus migrasi besar-besaran di Tiongkok yang didorong oleh ledakan ekonomi negara.
 
Tua dan Terasing di Pedesaan Terpencil Tiongkok
Qin bersama sang istri, Sun Sherong, menikmati masa tua di pedalaman Tiongkok bagian Utara. (Foto: CNN)
 
Kata Qin, sudah jutaan pemuda desa yang bermigrasi besar-besaran dalam beberapa dekade terakhir. Menyebabkan desa-desa sepi dari teriakan anak-anak muda. Apalagi mengharapkan suara dari tangisan bayi. Boleh dikata, nol besar.
 
“Jarang sekali bisa ditemukan pemuda yang mau menetap,” ucapnya geleng-geleng.
 
Apa yang dirasakan Qin, juga dihadapi kebanyakan keluarga di Tiongkok. Satu per satu pemuda Tiongkok pergi menjauh dari negeri Tirai Bambu. Tentu saja, yang menjadi pemicunya merupakan regulasi kebijakan keluarga berencana di Tiongkok.
 
Efek regulasi Tiongkok
 
Dalam regulasi tersebut, pemerintah membatasi jumlah anak dalam satu keluarga. Singkatnya, satu keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu anak. Kebijakan yang dikeluarkan pemimpin tinggi Deng Xiaoping pada 1979 itu dibuat untuk mengurangi populasi penduduk Tiongkok.
 
Dan bila membangkang, keluarga tersebut akan dikenakan denda. Bahkan bisa jadi kehilangan bonus dari tempatnya bekerja. Sayangnya kebijakan ini mendapatkan efek yang tak bisa dianggap remeh. Puluhan tahun pasca kebijakan itu diterapkan, Tiongkok kini tengah dilanda tebing demografi yang sangat besar.
 
Populasi pekerja berusia produktif menyusut, sebaliknya, populasi lansia kontan meningkat. Berdasarkan Komisi Kerja Nasional di negara itu, pada 2050 diperkirakan ada lebih dari 34% warga Tiongkok berusia lebih dari 60 tahun. Kalau dihitung-hitung, jumlahnya setara 500 juta orang.

Baca juga: Atraksi di Luar Nalar

Para ahli juga telah lama memperingatkan negara ini untuk mengubah kebijakan tersebut. Sebab populasi yang menua bisa menjadi hambatan pada pertumbuhan ekonomi. Dengan lebih sedikit pekerja yang berkontribusi pada kas pemerintah, tekanan pada keuangan negara ini juga dikhawatirkan akan menjadi semakin karut-marut.
 
"Untuk beberapa tahun ke depan, jumlah lansia akan bertambah hingga jutaan jumlahnya. Semakin sedikit orang yang berkontribusi pada kas negara. Sementara negara justru lebih banyak mengeluarkan duit buat kesejahteraan sosial untuk penduduk lansia," kata Yuan Xin, Direktur Pusat Penelitian Strategi dan Pengembangan dari Universitas Nankai.
 
Tidak hanya pemerintah yang bakal kerepotan mengeluarkan biaya kebutuhan buat lansia. Beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa warga negara itu sendiri tidak cukup menabung untuk masa pensiun mereka sendiri.
 
Menurut Kementerian Keuangan Tiongkok, pada akhir 2017, para pekerja secara kolektif hanya memiliki tabungan sekitar USD1 triliun. Hal ini sekitar USD4 ribu per orang saja ketika berusia di atas usia 60. Alhasil, lebih dari 26% dari PDB Tiongkok bakal dihabiskan hanya untuk perawatan lansia pada 2050.
 
Budaya orang tua
 
Salah satu alasan kurangnya tabungan pada usia senja juga berhubungan dengan budaya masyarakat di sana. Secara tradisional, para orang tua di Tiongkok masih bergantung pada keluarga atau anak mereka dalam menutup masalah keuangan ketika masa pensiun mereka tiba.
 
Anak-anak dan cucu-cucu secara finansial masih dianggap mampu mendukung kerabat mereka yang lebih tua. Sayangnya, dengan semakin sedikit jumlah pemuda di Tiongkok saat ini, beban buat generasi muda semakin tak tertahankan. Dalam editorial 2017 di Global Times mengatakan kebijakan satu anak telah memberikan tekanan besar pada para pemuda dalam mendukung beban orang tua mereka yang sudah lanjut usia.
 
"Bagaimana rasanya menjadi anak satu-satunya?' Ini membuat mereka mendapat tekanan seperti jangan mati, dan tak berani menikah jika jauh dari keluarga,” ujarnya.
 
Tak pelak. Banyak dari anak-anak muda hengkang meninggalkan desa selama beberapa dekade terakhir. Sama seperti anak Qin, mereka hanya bisa menemukan gaji yang lebih baik di perantauan. Hal ini dilakukan untuk mencari uang demi merawat kondisi keuangan orang tua mereka yang semakin sekarat.
 
Tapi di satu sisi, jauh dari anak membuat Qin mesti rajin menggotong kayu bakar setiap hari. Bukan mustahil jika Kanker yang menggerogoti tubuhnya kian lama makin memburuk. Sementara tak ada satupun pemuda yang bisa menolong kondisi desa yang makin disesaki oleh penduduk lansia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(FIR)


social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif