"Menenun adalah menjaga budaya dan ngelakoni hidup dengan sabar," ujar Mbah Wardi pemilik Tenun Sari Puspa. (Foto: Dok. Arthurio Oktavianus Arthadiputra)

Aneka

Menjaga Budaya Lewat Tenun

Rona kisah
Arthurio Oktavianus Arthadiputra • 08 April 2019 09:00
Tenun Sari Puspa, sebuah tempat tenun tradisional yang bertahan sejak 1965. Berada di Desa Wisata Kerajinan Sangubanyu, Sumber Rahayu, Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Mbah Wardi, pemilik industri tenun ini pun masih setia menggunakan alat Hani (sekir) untuk menyusun benang yang terurai yang akan ditenun oleh pengrajin menjadi kain.
 

 
Yogyakarta:
Gempuran indutri tekstil tenun mesin cetak di era pasar bebas menjadi lawan tangguh para penenun tradisional. Banyak yang sudah gulung tikar menutup tempat usahanya, ada pula yang bertahan dengan napas yang tersisa. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Satu tempat tenun tradisional yang bertahan adalah industri Tenun Sari Puspa, yang berada di Desa Wisata Kerajinan Sangubanyu, Sumber Rahayu, Moyudan, Sleman, Yogyakarta.
 
Bunyi tok…tok… terdengar dari ruangan di bagian belakang rumah sederhana milik H. Suwardi (79), pemilik Industri Tenun Sari Puspa. 
 
Menjaga Budaya Lewat Tenun
(Mbah Sariyem (79) sedang menenun kain pel pada Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Foto: Dok. Arthurio Oktavianus Arthadiputra)
 
Bunyi itu menggema tanpa ada suara lain. Hanya bunyi dari kayu yang beradu dengan ritme yang konstan. Bahkan bunyi suara orang bercakap-cakap pun tak ada.
 
Masuk ke ruang produksi, bunyi tok…tok… itu berasal dari alat tenun Yudiah (65), yang sedang membuat serbet dan pel. Sedangkan pemilik industri tenun yang akrab dipanggil Mbah Wardi, tampak sibuk menyusun benang yang terurai di alat Hani (sekir). 
 
Juluran benang warna-warni itu mencapai jumlah 140 gulungan, yang akan membentuk boum (gulungan kain berwarna senada yang akan ditenun), untuk kemudian akan ditenun oleh pengrajin menjadi kain, sebelum masuk ke tahap pewarnaan.
 
“Harus sabar dan telaten, karena benang itu panjang kalau disulur. Agar boum tidak rusak. Kalau ada benang yang sudah habis atau putus dari gulungan, harus disambung dan segera diganti," ungkap Mbah Wardi, sambil terus memerhatikan satu per satu susunan benang pada alat Hani.
 
"Kalau tidak, hasil tenunan akan tidak beraturan,” tambahnya lagi.
 
(Baca juga: Melihat Prosesi Adat Labuhan Hargo Merapi)
 
Menjaga Budaya Lewat Tenun
(Mbah Kasinah (75) sedang mengerjakan kelos benang yang akan digunakan pada alat Hani. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus Arthadiputra)

Mulai tahun 1965

Mbah Wardi menjalankan industri tenun dibantu oleh Kasinah (75), istrinya. Usaha itu dijalankan sejak tahun 1965 dan dimulai dengan lima alat tenun tradisional yang manual dan terbuat dari kayu yang sangat sederhana. 
 
“Awalnya kita buat stagen. Karena banyak peminatnya, jenis kain tenun ditambah jadi serbet, kain pel, dan macam-macam kain lain, termasuk sorjan (baju adat jawa) dengan motif lurik,” tutur Mbak Kasinah. 
 
Sehari-hari, ia membantu sang suami membuat benang kelos dalam setiap gulungannya, yang akan digunakan pada Alat Hani. Kebanyakan duduk saat mengkelos benang, tak jarang membuat punggungnya sakit. 
 
Namun, selalu diabaikan karena harus menyelesaikan kain pesanan pelanggan dan toko-toko tetap dari Yogyakarta dan Magelang, yang mengambil kain pel dan serbet dari tempatnya.
 
Kain pesanan yang dikerjakan olehnya adalah gorden dan baju sorjan. Rendahnya permintaan pasar yang diserbu produk fesyen pabrikan, membuat produksi baju sorjan dan gorden buatannya tak bisa menembus pasar regional. Karenanya, Mbah Kasinah hanya membuat bila ada pelanggan yang memesan.

"Menenun adalah menjaga budaya dan ngelakoni hidup dengan sabar, kemauan kuat dan suatu ketaatan," ujar Mbah Wardi pemilik Tenun Sari Puspa. 


Menjaga Budaya Lewat Tenun

(Latifa, pengunjung dari Yogyakarta sedang melihat kain di gerai Industri Tenun Sari Puspa. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus Arthadiputra)

Masa keemasan

Produksi kain Industri Tenun Sari Puspa pernah mencapai puncak keemasan dari tahun 1980 hingga tahun 2000. Banyak pesanan toko dan galeri fesyen yang mengorder kain pada Mbah Wardi, baik dari Yogyakarta hingga beberapa kota besar di Indonesia. 
 
Bahkan, jumlah karyawan yang direkrut untuk berkerja mencapai 50 orang. Karyawan tersebut berasal dari kampung Sangubanyu sendiri. Alat tenun pun semakin bertambah. 
 
Awalnya hanya lima, menjadi 50 Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan 10 Alat Tenun Mesin (ATM). 
 
“Karyawan kita waktu itu juga tidak penuh waktu bekerja. Kalau ada kerja di sawah, mereka boleh tidak masuk dan berkerja di sawah. Begitu pula kalau ada warga yang punya hajatan dan harus gotong royong. Kita tidak melarang mereka untuk tidak masuk kerja,” tutur Mbah Kasinah.
 
Namun, semakin sepinya permintaan pasar akan kain tenun, banyak karyawan yang mulai berhenti dan berkerja di tempat lain.
 
Hingga tahun 2005, kemerosotan produksi semakin terasa. Hingga banyak ATBM dan ATM yang tidak dioperasikan lagi.
 
“Sekarang karyawan rutin hanya empat orang saja. Tiga di antaranya perempuan semua, Sariyem (79), Tuginem (70) dan Yudiah yang berkerja di bagian depan itu,” katanya. 
 
Saat ini, produksi kain pel yang dihasilkan setiap hari hanya sebanyak 50 helai dengan ukuran 60 sentimeter, guna memenuhi permintaan toko di Magelang yang mengambil tiap satu bulan sekali dan dari Yogyakarta yang mengambil dua sampai tiga kali dalam sebulan.      
 
 Menjaga Budaya Lewat Tenun
(H. Suwardi sedang menyusun benang di alat Hani untuk membuat boum. Foto: Dok. Arthurio Oktavianus Arthadiputra)

Filosofi menenun

Bagi Mbah Wardi, menenun bukan hanya sekadar menghasilkan kain yang kemudian dijual ke pasar agar asap dapur tetap mengepul. Lebih dari itu, menenun adalah menjaga budaya dan ngelakoni hidup dengan sabar, kemauan kuat dan suatu ketaatan. 
 
“Harus jadi orang sabar. Kalau benang ada yang putus, harus sambung dan susun kembali di letak yang terputus. Supaya nanti hasil boumnya mudah ditenun,” katanya. 
 
Menenun itu sulit, sambungnya. Karenanya dibutuhkan kemauan yang kuat menjalankan Alat Hani untuk memutar benang-benang yang berjumlah ratusan.
 
Ketelitian menjadi faktor utama agar benang tersebut berada di posisi yang benar. Selain itu, pekerjaan menenun butuh ketaatan untuk tepat waktu merampungkan pekerjaan.
 
Minimnya generasi muda yang turut bergerak dalam indsutri tenun, menurut Mbah Wardi, disebabkan banyak yang memilih berkerja ke luar dari kampungnya.
 
Padahal, upah yang diberikan untuk menenun di tempatnya terhitung lumayan, Rp40 ribu per hari, dengan jam kerja dari pukul 08.00-16.00 WIB. 
 
“Mungkin mereka lebih enak bekerja di toko atau di tempat yang membutuhkan keterampilan tertentu di luar kampung. Untuk kerja yang berat-berat, tidak mau,” tuturnya.
 


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(TIN)


social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif