Setelah lulus kuliah magister dalam setahun, seniornya di kantor berinisiatif untuk mengatasi masalah visa kerja dan semua kebutuhan administratif lainnya agar tenaga muda asal Indonesia itu bisa optimal. Istri dan anak sulungnya menyusul.Harry berkarier di Birmingham selama tujuh tahun. Tiga anaknya lahir di sana, yakni Sarah, Umar, dan Aminah. “Rumah kami di belakang stadion Villa Park, markas klub Aston Villa,” katanya. Tahun 2005 dia membawa keluarganya mudik ke Tanah Air. (Si bungsu Maryam lahir 2012).
Kembali ke Indonesia, Harry malang melintang di dunia IT yang juga sedang menggeliat. Dia ikut mendirikan Asosiasi
Open Source Indonesia (AOSI) dan menjadi motor Rimba Sindikasi Media, payung perusahaan
Open Source. Dia didapuk kawan-kawannya sebagai nakhoda RSM. Dia juga punya kesibukan lain yang tak kalah ruwet, yaitu merapikan sistem IT toko-toko milik ayahnya yang berasal dari Silungkang, Sumatra Barat. Toko apa saja? “Toko-toko di pasar becek,” celetuknya mengulum senyum. “Biasalah orang Minang. Jualan tekstil sampai alat tulis.”
‘Toko-toko di pasar becek’ inilah yang membuat sang ayah mampu membeli rumah di Pondok Indah dan membesarkan Harry serta ketiga adiknya di pemukiman prestisius di selatan Jakarta tersebut. Dari usaha keluarga ini muncul Ahad Swalayan, Ahad Komputer, yang bermetamorfosis menjadi Ahad Mart yang memiliki enam outlet mini market di Jabodetabek.
“Nama Ahad diberikan ayah karena beliau prihatin umat Islam semakin jarang menggunakan kata ini dan lebih suka menggunakan kata Minggu. Padahal nama hari-hari lainnya dari Senin sampai Sabtu tetap kata serapan dari bahasa Arab,” tuturnya. Ahad Mart dikelola dengan semangat Islam bukan hanya dari nama melainkan juga etos kerja. Toko harus tutup setiap salat Jumat dan baru beroperasi lagi sesudahnya. Mereka juga tak menjual makanan dan minuman yang haram dalam ajaran Islam.
Spirit keislaman dalam berniaga itu datang dari dua hal. Latar belakang kultural Minang dan hasil mengaji kepada Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. “Kami rutin ke tempat beliau di Bogor, selain saya dan ayah juga seorang kawan ayah yang selalu ikut kalau kami ke sana. Kawan ayah itu kemudian menjadi mertua saya setelah saya menikahi anaknya, Helen,” ujar Harry tertawa.
Waktu terus berlalu. Di tahun 2014, dia prihatin melihat kabar misinformasi dan disinformasi bersliweran di ruang publik kian menggila. “Ayah saya bertanya kenapa sejak era Jokowi jumlah hoax makin banyak?” ulang Harry. “Saya jawab, enggak Pa. Ini akumulasi dosa masa lalu karena kita enggak biasa berpikir kritis menyaring informasi, lemah dalam literasi. Lalu muncul kemudahan media digital dari FB, WA, di mana orang bisa posting apa saja. Meledaklah bom waktu itu dalam bentuk
kabar hoaks yang masif.”
Harry memutuskan berkiprah di KPU dan merancang sistem IT yang modern dan transparan. “Sistem IT pemilu Indonesia dalam satu hari adalah yang terbesar di dunia. Sistem IT pemilu AS juga besar tapi terpecah di banyak negara bagian. Sistem IT kita yang bisa melihat hasil sampai ke TPS-TPS membuat potensi kecurangan pada setiap rantai dari TPS, kelurahan, kecamatan, dan seterusnya, terpantau karena data TPS bisa diketahui masyarakat. Ternyata kami malah diserang hoaks gencar seperti server KPU disebut di Singapura, KPU memanipulasi data, dll. Padahal kami sudah bikin
open data. Untungnya ada inisiatif dari masyarakat yang gunakan
open data dengan membuat Kawal Pemilu seperti dilakukan Ainun Najib sehingga isu hoaks terbantahkan,” katanya.
Kelar pemilu 2014, Harry mengira problem hoaks selesai. “Ternyata justru menjadi-jadi. Bukan hanya soal pemilu melainkan keuangan, kesehatan, dan sebagainya. Polarisasi masyarakat semakin lebar. Makin banyak orang yang
hopeless, Saya merasa harus mencari jalan dari situasi itu dan teringat ayat Al-Qur’an yang berbunyi 'Wahai orang-orang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka' (QS 66:6). Maka saya buat Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (FAFHH) di FB dengan anggota pertama anak-anak saya sendiri. Mulainya September 2015. Saya tulis artikel tentang apa itu hoaks? Mengapa hoaks berbahaya? Itu semua untuk pendidikan untuk anak-anak saya agar mereka tidak gampang termakan kabar fitnah. Karena grup tidak saya kunci, akhirnya banyak yang bergabung.”
Suasana forum jadi dinamis karena anggota terlibat dalam debunking hoax (membongkar hoaks). Misalkan ada yang posting satu topik dan
nanya, “Ini hoaks atau bukan ya?” Lalu jawaban datang dari anggota lain yang memberi keterangan. “Salah satu contoh seru ketika beredar gambar sebuah gedung dengan tulisan Cina Mandarin di depannya. Caption foto itu berbunyi 'Inilah bukti Cina sudah invasi Indonesia dengan kantor pusat mereka di Jakarta'. Tapi dalam dua menit sudah ada jawaban dari anggota lain yang menjelaskan, ‘Oh, itu kantor Jawa Pos. Mereka punya surat kabar dalam bahasa Mandarin’. Akhirnya kita ketawa semua karena hoaks bisa sejauh itu,” kenang Harry terpingkal-pingkal.