Itu satu sisi wajah Harry. Ada sisi lain dari status-status Instagramnya yang lebih humaniora. Di Instagram (IG), fokus tulisan Harry—selalu gunakan bahasa Indonesia—adalah tentang kegiatan keluarga, terutama kiprah anak-anaknya. Selain Anisah dan Sarah, tiga lainnya adalah: Muhammad Umar Salih (lahir 2002), Aminah Kaitlyn Latifah (2004) dan Inara Maryam Sakura (2012).
Terasa sekali Harry sebagai seorang ayah yang bangga, penuh perhatian, selalu mendorong buah hatinya untuk berani mencoba pengalaman baru. “Empat anak perempuan saya selalu saya ajarkan mandiri. Saya lihat banyak KDRT berlangsung berlarut-larut karena posisi si perempuan yang sangat tergantung pada pasangan hidupnya,” kata dia.
Jika kita intip IG
Story Harry yang bisa tampilkan banyak klip video dalam satu hari, isinya lain lagi. Selalu cuplikan kelakar, membuat yang melihat tertawa segar. Kenapa? “Sebenarnya klip-klip itu juga buat istri dan anak-anak saya. Tetapi jika orang lain jadi terhibur,
alhamdullilah juga,” ujarnya. Nah, jika Anda butuh
refreshing sila meluncur ke IG: @sufehmi secepatnya.
Sampai di sini, Anda pasti mengambil kesimpulan bahwa Harry Sufehmi adalah seorang pakar IT yang humoris dan
family man. Kesan yang tidak keliru. Tetapi, apakah Harry tumbuh dalam suasana serupa seperti anak-anaknya sekarang?
“Berbeda sekali. Waktu kecil saya introvert. Selalu menjadi korban
bully teman sekolah. Setiap istirahat saya lebih suka ke perpustakaan ketimbang main. Semua buku di perpustakaan saya sikat semua,” ujar sulung dari empat saudara yang menimba ilmu di Al Azhar Pusat, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, dari TK sampai SMA.
Satu ketika Harry terlibat perdebatan sengit dengan sang ayah yang menuduhnya melakukan satu kesalahan besar. Harry membantah keras sehingga perdebatan memanas. Semakin ayahnya menekan, semakin ngotot pula dirinya melawan. “Esok harinya ada komputer baru di rumah. Ayah bilang untuk saya. Ternyata itu cara beliau minta maaf karena telah menuduh saya untuk sesuatu yang tidak saya lakukan,” kenang Harry. “Komputer pertama itu yang menyiapkan jalan hidup saya ke masa depan.”
Mendapatkan mesin pintar membuat Harry semakin tenggelam dalam dunianya sendiri yang tak peduli sekitar. “Saya install program
Microsoft Flight Simulator. Ini bukan
software game tetapi betulan simulasi pilot karena buku panduannya tebal sekali. Waktu luang saya habis untuk mempelajari itu,” ujarnya. Tak lama kemudian ada iklan lowongan untuk pilot dari Merpati (Nusantara Airlines, sudah berhenti beroperasi sejak 2014).
Merasa paham cara menerbangkan pesawat, Harry nekat mengirim surat lamaran. Eh, dipanggil. Satu demi satu tes dilaluinya dengan sukses, termasuk ujian fisik di
Hyperbaric Chamber (Ruangan Udara Bertekanan Tinggi/RUBT) yang membuat peserta lain atau kelelahan. Harry terus melaju sampai tahap terakhir yang menyisakan tiga peserta. “Penguji lalu bertanya apakah saya punya ‘surat sakti’? Saya bengong. Masih SMA enggak ngerti apa itu ‘surat sakti’. Saya dinyatakan gagal. Stres sekali. Pekerjaan sebagai pilot dengan gaji besar itu
dream job saya. Kalau tidak bisa jadi pilot, saya mau jadi apa?”
Frustasinya berkurang ketika seorang paman menghiburnya. “Nasibmu mungkin tidak jadi pilot, Har. Kamu suka sekali komputer, itu bisa menjadi masa depanmu,” Nasihat sang paman menancap di kepalanya sehingga begitu tamat SMA dia tak mengincar PTN seperti kawan-kawannya. “Saya pilih Universitas Budi Luhur yang sudah dikenal program komputernya.”
Lulus kuliah, dia bekerja di Asuransi Takaful. Dalam tiga tahun mampu menjadi Head of IT Department. Lalu terjadilah Reformasi 1998. Nilai dolar melejit liar. “Karena saya punya tabungan dolar, saya dapat rezeki nomplok. Saya gunakan untuk lanjutkan kuliah ke Inggris,” kata dia. Di usia 24, dia tinggalkan istri yang baru dinikahi tahun sebelumnya dan bayi sulungnya yang masih berumur beberapa bulan. Di Birmingham, selain kuliah Harry bekerja sebagai staf IT di kantor wali kota. “Saya tak punya visa kerja, jadi harus hati-hati meski teman-teman sekantor baik sekali,” ujarnya. Untung prestasi kerjanya moncer.