Kalaulah ritual pemotongan hewan kurban dilaksanakan, kita harus menjaganya agar tak tercipta kerumunan. Panitia harus melarang orang menyaksikan pemotongan hewan kurban. Panitia harus door to door, mendatangi dan memberikan langsung daging kurban kepada mereka yang berhak mendapatkannya.
Bahkan, dalam konteks mengubah dari kurban konsumtif menjadi kurban produktif, sebagai satu ijtihad, mengapa kita tidak ‘mengurbankan’ hewan hidup. Kita menyerahkan hewan dalam keadaan hidup, bukan dalam keadaan ‘mati’, kepada fakir miskin untuk diternak supaya menghasilkan.
Berkurban dengan menyembelih hewan ternak pada hakikatnya mengorbankan yang kita miliki. Hewan ternak boleh jadi hanyalah salah satu yang kita miliki. Kita memiliki hal-hal lain, misalnya harta, termasuk pahala.
Di masa pandemi covid-19, kita dituntut kerelaan untuk mengorbankan pahala kita. Kita dituntut tidak salat Idul Adha berjemaah di masjid atau lapangan dan menggantinya dengan salat berjemaah bersama keluarga. Kebanyakan umat Islam meyakini salat Idul Adha berjemaah di masjid atau lapangan pahalanya lebih besar jika dibandingkan dengan salat berjemaah di rumah.
Padahal, boleh jadi pahala salat Idul Adha berjemaah di rumah lebih besar jika dibandingkan dengan di masjid atau lapangan di tengah situasi pandemi covid-19 sekarang ini. Dalam Islam, satu kaidah fikih mengatakan menolak bahaya lebih utama daripada mengambil manfaat. Salat Idul Adha berjemaah di rumah lebih utama karena demi menghindari bahaya covid-19 daripada salat Idul Adha berjemaah di masjid atau lapangan yang katanya manfaat pahalanya lebih besar.
Selamat menyambut Hari Raya Kurban di tengah keprihatinan. Mari kita berkurban tanpa menjadi korban.