Baiklah kita tidak meniru India. Sepanjang 71 tahun negara itu telah lebih 100 kali mengamendemen konstitusi mereka. Jangan juga ikuti Prancis. Sejak 1958, negara itu setiap dua tahun memutakhirkan konstitusi mereka. Kiranya bolehlah dipertimbangkan untuk mengagumi rasa cinta Amerika Serikat kepada konstitusi mereka. Sejak 1788, selama 233 tahun, hanya 27 kali mereka mengamendemen konstitusi.
Mengubah konstitusi semata untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), pengganti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), kiranya pikiran yang 'terlampau jauh meleset dari sejarah' bila mengira Indonesia dikhawatirkan oleng akibat hidup tanpa haluan buatan MPR. Negara oleng di ujung kekuasaan Pak Harto dan dia ditumbangkan bukan karena selama dia berkuasa kita tak punya GBHN, melainkan akibat krisis moneter dan dia terlalu lama berkuasa. Kendati negara tidak dalam keadaan oleng dan punya GBHN, Gus Dur ditumbangkan dalam tempo singkat karena persekongkolan elite di MPR. Kelak, bila GBHN atau apa pun nama penggantinya itu termaktub di dalam konstitusi, dia dapat menjadi pintu masuk untuk MPR menumbangkan presiden dengan alasan tidak melaksanakan haluan negara.
Kiranya jemawa mengatakan bahwa amendemen dapat dilakukan terbatas hanya menambah satu pasal dalam konstitusi mengenai PPHN. Adalah jemawa amat sangat menjamin bahwa amendemen itu tak bakal membuka kotak pandora mengubah pasal lain.
Satu orang yang keliru dapat merusakkan banyak hal yang baik, kata orang suci. Kesabaran mencegah kesalahan-kesalahan besar, tambahnya. Maka timbanglah mendalam 50 tahun setelah euforia reformasi, timbanglah menyeluruh dengan kesabaran panjang di dalam hidup berbangsa dan bernegara, untuk berkesimpulan kita perlu amendemen.