Perbedaan tentang sastra kontekstual dan universal mencuat pada era 1980-an. Pemantiknya ialah dua cendekiawan papan atas di Tanah Air, Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Keduanya mengatakan sastra tidak boleh melangit, seperti pohon yang tumbuh di mana akarnya tidak menancap ke bumi, hanya menggapai-gapai ke langit.
Menurut Arief, sastra yang melangit itu audiensinya hanya orang Barat, sementara Barat pun tidak mengakuinya. Hal itu terbukti, kata sosiolog yang mengamati sastra ini, tidak ada satu pun sastrawan Indonesia yang menyabet Hadiah Nobel.
Sementara itu, penganut mazhab universalitas memandang sastra ialah pencapaian estetika yang agung. Karya seni itu menjangkau batas-batas geografi. Mereka berpandangan bahwa sastra tidak boleh menjadi alat politik apa pun untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Seni hanya mengabdi untuk seni (l’art pour l’art), slogan Prancis yang muncul sekitar abad ke-19.
Meskipun perdebatan kedua genre sastra di koran dan forum kesenian di Tanah Air kala itu tidak pernah usai, sastra kontekstual merebut perhatian publik. Sejumlah sastrawan mengambil ranah itu. Dialektika yang sehat dengan tradisi kritik sastra yang kuat memperkukuh karya-karya sastra yang berangkat dari kedua mazhab tersebut.
Melihat hal itu, tidak salah kiranya bila Media Indonesia menggelar Festival Bahasa dan Sastra pada 31 Oktober lalu dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober.
Perhelatan yang mengambil tema Sastra untuk selamatkan bumi bukan gagah-gagahan atau kegenitan karena isu kerusakan bumi sebagai dampak pembangunan yang tidak ramah lingkungan mengemuka di republik ini. Bukan pula karena isu perubahan iklim (climate change) atau efek rumah kaca yang ditandai kenaikan suhu di planet Bumi yang menjadi perhatian dunia.
Dunia memang tengah menuju net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon dengan jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap bumi.
Meski pegiat lingkungan melihat sejumlah negara masih basa-basi terkait dengan isu tersebut, tetapi ikhtiar menuju NZE terus bergelora. Misalnya, dengan jalan transisi energi, dari energi fosil yang menyumbang gas buang menuju energi baru dan terbarukan, seperti yang menjadi salah satu tema Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali pada 15-16 November mendatang.
Kembali ke laptop. Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia pada tahun ini ialah kali kedua. Sejumlah kegiatan digelar, seperti lomba menulis cerpen, diskusi tentang eksistensi bahasa gaul dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak malu-malu menyerapnya, dan puncaknya ialah pembacaan dan lelang puisi.
Sejumlah penyair tampil, seperti Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, Iwan Jaconiah, serta beberapa anggota kabinet dan tokoh masyarakat. "Saya mengapresiasi Media Group Network, khususnya Media Indonesia, yang menggelar festival ini. Ini membuktikan sastra masih mendapatkan tempat yang baik," kata Sutardji. Sastrawan kawakan Indonesia membacakan dua puisi, yaitu Wahai Pemuda, Mana Telurmu, dan Tanah Air Mata.
Menariknya, masih banyak generasi Z dan milenial menyukai sastra. Itu terbukti Sayembara Cerpen Nasional diikuti 486 peserta. "Jumlah peserta meningkat dari tahun lalu yang sekitar 340 cerpen," kata cerpenis Damhuri Muhammad.
Peserta berasal dari berbagai wilayah di Tanah Air, dari Aceh hingga Papua Barat, dengan dominasi daerah-daerah di Pulau Jawa serta Riau. Dari biodata yang disertakan, sebagian besar peserta merupakan penulis profesional. Ada juga PNS, ibu rumah tangga, mahasiswa, dan pelajar SMA/sederajat.
Sastra bisa menciptakan peradaban baru. Jutaan karya-karya besar sastra telah lahir di muka bumi. Puisi yang merupakan bagian dari sastra mampu memberikan energi bagi kehidupan. “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra akan meluruskannya,” kata John F Kennedy, Presiden ke-35 Amerika Serikat. Tabik!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Ade Alawi
Dewan Redaksi Media Group