Menguji Konsistensi MK
Menguji Konsistensi MK ()

Menguji Konsistensi MK

18 Juni 2018 07:29
KETENTUAN ambang batas pencalonan presiden kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Para penggugat diwakili kuasa hukum Denny Indrayana yang juga mantan menteri era Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka mengaku siap dengan argumen baru. Bukan pertama kalinya ketentuan yang tertuang dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut digugat. Sebelumnya, sejumlah partai baru mengajukan uji materi pada pasal yang sama. Hasilnya pada Januari lalu MK menolak permohonan itu.
 
Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan pasangan calon diusulkan partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
 
Dalam pertimbangannya, MK menilai presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden selaras dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia. Sistem itu bisa kuat bila mendapat dukungan yang cukup dari partai politik yang memperoleh kursi di DPR. MK juga berpendapat pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang diselenggarakan, baik terpisah maupun serentak, tidak menjadi soal bagi hadirnya ketentuan ambang batas pencalonan presiden.
 
Gugatan terhadap ketentuan ambang pencalonan presiden, meski dipoles dengan dalih demi kepentingan rakyat, selalu ada motif politis di baliknya. Sesungguhnya tidak mudah bagi partai politik untuk membangun koalisi dengan parpol lain agar dapat mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Parpol yang kukuh mengedepankan ego mereka bakal tersingkir dari bursa pencalonan capres dan cawapres, kecuali parpol yang mendapatkan dukungan minimal 20% jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Wajar bila partai yang mendapat dukungan yang besar dari rakyat bisa mengusung sendiri pasangan capres dan cawapres. Sayangnya, saat ini tidak ada parpol yang memenuhi syarat itu sehingga mereka harus berkoalisi. Parpol yang kesulitan berkoalisi akan mencari jalan lain, seperti menggugat ke MK walau bakal membentur tembok.
 
Dalam menguji ketentuan ambang batas pencalonan presiden, MK boleh dibilang sangat konsisten. Ambang batas 20% tersebut sudah berlaku sejak penerapan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dua kali ketentuan dalam UU No 42/2008 itu digugat dan MK tetap pada putusan menolak permohonan penggugat.
 
Memang sah-sah saja bila kemudian materi yang sama kembali digugat. Berdasarkan peraturan MK, permohonan uji materi terhadap suatu produk hukum bisa dilakukan berkali-kali, alias tidak berbatas, asalkan argumen yang diajukan berbeda dengan yang telah diajukan sebelumnya.
 
Kini, dengan telah dimasukkannya permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu, bola kembali berada di tangan MK. Bila mengikuti konsistensi putusan, MK akan kembali menolak permohonan tersebut. Di sisi lain, tetap ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan.
 
Apa pun keputusan itu, MK diharap dapat memperhitungkan risiko yang ada. Permohonan uji materi yang terbaru sangat mepet dengan waktu pendaftaran calon presiden dan cawapres yang dibuka kurang dari dua bulan lagi. Tahapan Pemilu 2019 pun praktis sudah dimulai.
 
Dengan begitu, putusan yang mengabulkan gugatan sekaligus dan berlaku seketika akan membuat persiapan pemilu morat-marit. Ibarat pertandingan sepak bola, pemain kesebelasan sudah masuk ke lapangan, mendadak aturan diubah. Kegaduhan jelang pemilu yang telah di ambang pintu sebaiknya dihindari melalui konsistensi keputusan MK.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase mahkamah konstitusi

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif