Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Yulia Sofiatin mengatakan, vaksin covid-19 menjadi harapan untuk mendorong tubuh menciptakan antibodi sehingga mampu melawan serangan virus korona. Pasalnya, berbagai kebijakan pengendalian covid-19 sampai saat ini belum efektif mencegah penularan baru.
Mengutip The Conversation, kata Yulia, walau sudah sampai di Indonesia, vaksin sebenarnya belum selesai pada uji tahap akhir sebelum diproduksi massal. Penggunaan vaksin covid-19 saat ini, baik di Tiongkok maupun Indonesia dalam waktu dekat, baru pada tahap pemakaian dengan izin darurat untuk kelompok berisiko tinggi, seperti petugas kesehatan.
"Dua studi terakhir menunjukkan antibodi terhadap covid-19 hanya bertahan tiga sampai empat bulan pada orang yang sudah sembuh. Karena itu terjadi beberapa reinfeksi (orang yang sudah sembuh kemudian sakit lagi)," kata Yulia dalam siaran pers Unpad, Kamis, 31 Desember 2020.
Ia menjelaskan, sejarah vaksinasi menunjukkan ada jenis vaksin yang hanya butuh diberikan sekali untuk seumur hidup. Ada yang perlu setiap 10 tahun, dan ada juga yang harus diberikan setiap tahun.
Keamanan Vaksin dan Efektivitasnya
Vaksin dinyatakan aman jika tidak ada efek samping atau ringan. Kemudian, jika tidak ada kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI), atau hanya ringan seperti demam dan nyeri. Namun, sebenarnya tidak ada zat yang sama sekali aman. Bahkan, kata Yulia, air dan oksigen saja bisa menimbulkan bahaya pada keadaan tertentu."Keamanan vaksin dapat kita lihat pada laporan uji klinik fase satu dan dua. Tanpa bukti hasil uji klinis fase satu dan dua yang baik, maka uji klinis fase tiga tidak dapat dilaksanakan," ujar Yulia.
Artinya, jika sebuah vaksin sedang atau akan menjalani uji klinis fase tiga, seperti vaksin Sinovac di Bandung yang melibatkan lebih dari 1.600 relawan, dapat diduga bahwa vaksin tersebut terbukti aman. Menurut anggota tim uji klinis vaksin covid-19 Unpad ini, dalam uji ini akan terjawab berapa banyak orang yang mendapat vaksin terkena penyakit covid-19 dibandingkan dengan orang yang mendapat plasebo (vaksin kosong).
Baca: GeNose Ditargetkan Bisa Rapid Test 1,2 Juta Orang per Hari
Yulia menuturkan, jika mereka yang mendapat vaksin covid-19 jauh lebih sedikit mengalami sakit dibandingkan dengan mereka yang mendapat vaksin kosong, dan secara statistik perbedaannya signifikan, maka vaksin tersebut efektif dalam situasi penelitian. Efektivitas dalam masyarakat umum masih harus dibuktikan lebih lanjut.
Jika sebagian besar populasi disuntik vaksin, berapa lama vaksin tersebut akan memberikan perlindungan kepada semua populasi? Untuk menjawabnya, diperlukan pemahaman akan sejarah vaksin sepanjang masa.
Frekuensi Vaksinasi
Pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Divisi Epidemiologi dan Biostatistika FK Unpad ini menjelaskan, vaksin yang sampai saat ini paling efektif dalam sejarah adalah vaksin untuk mencegah penyakit cacar (smallpox). Ini vaksin paling awal yang merupakan cikal bakal teori vaksinasi.Vaksinasi yang berdasarkan pada metode vaksin ciptaan Edward Jenner pada 1798 ini telah berhasil menumpas virus cacar dari seluruh penduduk dunia pada 1977. Sejak itu, vaksinasi cacar tidak pernah lagi diberikan kepada penduduk.
Vaksin lain yang hampir berhasil menumpas penyakit adalah vaksin polio. Berbeda dengan vaksin cacar yang hanya diberikan sekali seumur hidup, vaksin polio harus diberikan berulang-ulang agar tercapai kadar antibodi yang memadai.
Meski Indonesia telah dinyatakan bebas polio sejak 2014, proses vaksinasi masih tetap jalan untuk pencegahan. Sebab, ternyata polio masih ada di Indonesia.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr. Yulia Sofiatin. Dok Humas Unpad.
Vaksin lain yang dianggap cukup efektif adalah vaksin BCG untuk mencegah TBC. Vaksin BCG digunakan sejak 1921. Berbagai riset memperlihatkan bahwa vaksin BCG yang diberikan kepada bayi baru lahir akan melindungi bayi] dari penyakit TBC paru dan TBC yang menyebar melalui pembuluh darah (TBC milier, salah satu bentuk TBC yang berat).
Beberapa riset juga memperlihatkan bahwa efek dari vaksin ini bertahan sampai 10 tahun di Inggris, 30-40 tahun di Norwegia dan 50-60 tahun di Alaska. Indonesia sendiri belum ada riset sejenis. Namun, vaksin BCG hanya diberikan sekali seumur hidup.
Setelah dewasa, perlindungan yang diberikan oleh BCG adalah perlindungan terhadap penyakit TBC berat saja. Artinya, mereka yang pernah mendapat vaksin BCG kemungkinan besar tidak akan mengalami TBC selaput otak (meningitis) atau TBC milier. Sampai saat ini, kata Yulia, perlindungan ini dianggap cukup memadai karena kedua jenis TBC ini yang menyebabkan kematian tertinggi.
Selain itu, pengobatan terhadap kuman TBC sudah ditemukan dan terus dikembangkan, terutama terhadap tuberkulosis yang resistan obat standar. Meski demikian, riset mengenai vaksin TBC masih tetap berjalan sampai sekarang.
Vaksin terhadap diferi (DPT atau DT) adalah contoh vaksin lain yang dianggap efektif. Namun, untuk mempertahankan efek maksimal dari vaksin ini, vaksinasi harus diulang setiap 10 tahun setelah pemberian pada masa bayi dan kanak-kanak.
Vaksin lain yang perlu dipelajari adalah vaksin influenza. Flu di negara empat musim sering menyebabkan kematian, atau minimal perawatan di rumah sakit.
Karena itu, vaksinasi terhadap flu sangat diperlukan, terutama untuk orang-orang yang mempunyai faktor risiko yang tinggi, misalnya lansia atau orang dengan gangguan paru. Karena virus-virus penyebab influenza mudah bermutasi dan kemudian tidak dikenali oleh sistem pertahanan tubuh, maka vaksin flu harus diulang setiap tahun.
"Vaksin terbaik diukur dari sudut keamanan, efek samping, pembentukan antibodi dan efikasinya," jelas Yulia.
Baca: UNS Kembangkan Kina dan Eukaliptus Sebagai Bahan Obat Covid-19
Efikasi adalah tingkat daya lindung vaksin pada kondisi uji klinis. Kondisi uji klinis sifatnya optimal dan terkendali, baik dari penyiapan vaksinnya, maupun dari faktor orang yang mendapat vaksinnya, yaitu orang yang sehat dan memenuhi berbagai kriteria yang ditentukan peneliti.
Efikasi didapat dari uji klinis fase 3, dengan menghitung risiko terjadinya penyakit pada kelompok orang yang mendapat vaksin dan yang tidak mendapat vaksin.
Jika dari 100 orang yang mendapat vaksin terdapat 5 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit dan pada 200 orang yang tidak divaksin terdapat 40 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit, maka efikasi dapat dihitung: ((40/200)-(5/100))/(40/200)= 0,8 atau 80%.
"Ini berarti kelompok yang mendapat vaksin mengalami sakit (terkonfirmasi) 80% lebih sedikit daripada yang tidak mendapat vaksin," paparnya.
Lalu, apakah vaksin Covid-19 nanti akan seperti vaksin cacar, polio, BCG, DPT atau influenza yang harus diulang setiap tahun? Yulia menuturkan, sampai kini belum ada jawaban atas pertanyaan itu. Semua pihak harus menunggu hasil akhir dari uji klinis vaksin fase 3 yang kini sedang berjalan di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang dimulai Agustus lalu.
Dalam uji klinis tahap tiga, peneliti memantau kadar antibodi yang terbentuk dan kejadian infeksi covid-19 pada relawan uji vaksin. Dengan mengukur kadar antibodi pada bulan pertama setelah vaksinasi, akan terlihat berapa banyak antibodi yang terbentuk pada bulan pertama. Lalu, akan dilihat lagi kadarnya pada bulan ketiga, semakin tinggi atau tetap.
Pemantauan berikutnya pada bulan keenam, apakah kadar antibodinya masih cukup tinggi atau sudah mulai menurun. Informasi-informasi tersebut akan menentukan apakah vaksin yang diuji cukup baik.
"Jika vaksin yang diuji saat ini hanya mampu melindungi kita selama, misalnya, tiga bulan, dengan efikasi yang tinggi, maka tetap akan lebih baik mendapat vaksin daripada tidak mendapat vaksin," ujar Yulia.
Jalan masih panjang
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan badan-badan sejenis di seluruh dunia mempunyai otoritas untuk memberikan izin penggunaan obat, termasuk vaksin baru, dalam keadaan darurat.Yulia menjelaskan, dengan mempertimbangkan keamanan dan efikasi serta faktor-faktor lainnya, Emergency Use Authorization (EUA) akan diberikan. Izin ini bersifat sementara dan dapat ditarik sewaktu-waktu.
Baca: Lima Ribu Unit GeNose Diproduksi Februari 2021
Salah satu contoh obat yang mendapat EUA dan kemudian dicabut adalah kina untuk mengobati Covid-19. Pemberian EUA pada vaksin covid-19 tidak akan menghentikan riset terhadap vaksin. Vaksin yang sedang dikembangkan saat ini sangat bervariasi.
Semua calon vaksin itu menunggu pembuktian keamanan dan efikasinya. Kita perlu waktu yang lebih panjang untuk mendapatkan vaksin yang terbukti aman, nyaman, dan efektif.
"Jadi, jalan menuju penghapusan covid-19 masih panjang," kata Yulia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News