Dengan diluncurkannya Kurikulum Merdeka tersebut, sekaligus menandai bahwa Indonesia akan segera memiliki kurikulum nasional baru pengganti Kurikulum 2013. Kurikulum Merdeka ini rencananya akan mulai diterapkan secara nasional di tahun 2024.
Bagaimana wajah Kurikulum Merdeka ini nantinya? Medcom.id telah mewawancara Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo. Berikut petikan wawancaranya:
Apa urgensi Kurikulum Merdeka ini? Sampai-sampai Kemendikbudristek harus menyusun dan meluncurkan kurikulum saat ini juga, di tengah kerepotan pandemi, padahal semua orang sedang berjibaku PJJ, belajar daring, hingga PTM hanya untuk mendapat layanan pendidikan.
Justru karena pandemi itu kita menjadi sadar bahwa jantung pendidikan itu adalah pembelajaran. Apakah anak-anak belajar? itu yang bermasalah di sisi pendidikan kita.
Tapi sebenarnya masalah pembelajaran yang kita sebut krisis belajar itu terjadi bukan karena pandemi. Pandemi ini mungkin iya, memperparah, tapi pandemi ini juga membuka mata kita, memaksa kita mengakui itu, bahwa masalah itu serius.
Lalu tiba-tiba semua orang bicara learning loss, bicara tentang apa bahaya kehilangan kesempatan belajar yang signifikan karena pandemi? Tapi sebenarnya krisis belajar itu terjadi sejak lama, sejak puluhan tahun mungkin. Paling tidak kita punya data sejak tahun 2000.
Ada banyak studi internasional, dan itu sudah dianalisis peneliti dalam maupun luar negeri, bahwa dari 2000 sampai 2014 penguasaan matematika dasar anak-anak kita itu justru menurun.
Jadi misalnya, anak kelas 4 SD yang bisa menjawab matematika kelas 1 SD itu hanya sekitar 60 persen saja. Bahkan sudah naik tiga kelas, kelas dua, tiga dan empat, tapi diminta menjawab pertanyaan kelas 1 SD itu enggak 100 persen yang bisa, itu 60 persen.
Data PISA juga, sejak 2000 kita stagnan di situ saja skornya. Kalau kita konversi jadi kompetensi, skor PISA kita itu dari 2000 sampai sekarang menunjukkan hanya 30 persen anak-anak kita yang bisa membaca, bernalar kritis, secara matematika, punya literasi sains di kompetensi minimum di tingkat dasar.
Jadi krisis belajar ini yang membuat perubahan transformasi sistem pendidikan itu menjadi urgent. Poin saya di sini adalah, Kurikulum Merdeka ini harus dilihat sebagai upaya transformasi yang sistemik.
Jadi enggak berdiri sendiri perubahan kurikulum ini. Ini bagian saja dari banyak komponen Merdeka Belajar, tapi ini transformasi pendidikan yang mengarah pada penyelesaian krisis belajar itu tadi.
Perubahan kurikulum ini pasti akan bersinggungan dengan kebijakan lain, standar penilaian, standar kelulusan, aturan masuk ke perguruan tinggi, bagaimana Kemendikbudristek bakal mengharmonisasikannya? Mana dulu yang akan disentuh untuk penyesuaian itu?
Kurikulum ini kan malah episode ke 15 dari Merdeka Belajar. Jadi sebenarnya ada banyak aspek dari sistem pendidikan kita yang sudah kita sentuh.
Merdeka Belajar yang pertama itu memulai dengan mereformasi sistem dari evaluasi pendidikan kita. Jadi kita menghilangkan UN (Ujia Nasional), kita percayakan penilaian siswa kepada guru, karena itu wewenang guru untuk menilai siswanya.
Sedangkan pemerintah kita fokus pada melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikannya, itu yang kita buat sebagai AN (Asesmen Nasional). AN ini sedang kita selaraskan dengan aspek-aspek lain dari evaluasi dan penjaminan mutu pendidikan.
Misalnya evaluasi nasional itu akan digunakan untuk menerbitkan rapor pendidikan, rapor di tingkat sekolah dan rapor di tingkat pemda, bahkan secara nasional. Jadi tiap kepala sekolah akan terima rapor "semacam cermin" untuk mereka mengetahui sekolah saya tidak bagusnya di mana, kurangnya di mana, apa perbaikan yang perlu dilakukan.
Pemda juga seperti itu. Jadi kinerja Pemda kan evaluasi diri Pemda itu memerlukan kerangka pikir yang sama dengan AN. Dan evaluasi kinerja sekolah dan pemda juga menggunakan kerangka yang sama.
Pemda kan dievaluasi oleh Kemendagri. Pemda itu di bawah koordinasi Kemendagri ada yang namanya standar pelayanan minimum termasuk di bidang pendidikan.
Kemendagri akan mengevaluasi Pemda di bidang pendidikan itu dengan indikator-indikator yang diambil dari AN. Enggak cuma itu, akreditasi oleh BAN itu juga akan menggunakan indikator yang sama dengan AN. Itu dari sisi kerangka evaluasi dan kerangka evaluasi tersebut harus sejalan dengan kurikulumnya.
Jadi kalau di kurikulum kita nyatakan less is more. Semakin sedikit materinya itu semakin bagus. Karena guru bisa fokus pada pengembangan kompetensi dasar dan karakter anak-anak.
AN juga begitu, kita enggak lagi menguji materi yang banyak seperti UN. Sekarang yang diuji AN adalah kompetensi dasar dan karakater, literasi membaca, numerasi itu saja. Yang lain tentang kualitas sekolahnya.
Tapi kalau siswanya, hasil belajarnya itu kita fokus pada kompetensi dasarnya. Jadi kerangka konsep yang sama kita terapkan di AN akreditasi, evaluasi, evaluasi sekolah.
Tentu banyak program yang juga banyak terkait guru. Tranformasi guru banyak diliput ya, seperti ada guru penggerak, itu program yang sangat transformasional. Kerangka berpikirnya juga sama.
Mengajar itu fokusnya ada pada pembelajaran, bukan pada ketuntasan materi. Jadi tugas utama guru adalah memperhatikan kualitas pembelajaran muridnya, dan tugas utama kepala sekolah adalah menjadi pemimpin pembelajaran, instruksional leader itu jadi kerangka berpikirnya.
Di pelatihan guru, evaluasi, kurikulum juga ada banyak komponen yang kita kerjakan, yang dengan kerangka konseptual yang sama semua mengarah pada krisis belajar. Ada teknologinya juga yaitu platform Merdeka Mengajar.
Platfrom Merdeka Mengajar yang kemarin juga diluncurkan ini akan jadi pelangkap Kurikulum Merdeka?
Betul. Tapi tidak hanya untuk Kurikulum Merdeka. Platform Merdeka Mengajar itu bisa dipakai untuk pelatihan guru. Pelatihan yang ada di Merdeka Mengajar itu tentang pembelajaran, Jadi bukan tentang kurikulm saja. Kurikulum itu kan alatnya, alat untuk memperbaiki kualitas pembelajaran.
Sekolah yang tidak pakai Kurikulum Merdeka, tetapi pakai Kurikulum 2013 itu tetap saja bisa memanfaatkan pelatihan yang ada di Merdeka Mengajar. Misalnya, bagaimana menerapkan disiplin positif, supaya anak-anak itu perilakunya.
Perhatiannya berfokus pada pembelajaran tanpa menghukum mereka, tanpa menakut-nakuti mereka, tanpa merusak motivasi mereka, itu ada pelatihannya. Itu bukan hanya Kurikulum Merdeka, tapi berlaku di semua Kurikulum.
Mas Menteri (Nadiem Makarim), kemudian Anda juga sering mengidentikkan Kurikulum Merdeka ini dengan kata fleksibilitas. Ini juga katanya jadi keunggulan kurikulum baru ini. Seperti apa riilnya fleksibilitas ini?
Ada beberapa. Fleksebilitas ini datang dari materi yang berkurang tadi. Kurikulum Merdeka tadi kita mengurangi materinya, jadi guru lebih punya banyak waktu berkreasi, dalam merancang kurikulum itu ada tarik menarik antara keluasan dan kedalaman.
Keluasan itu banyaknya materi. Semakin luas semakin mengikat guru dalam hal kedalaman, dan (materi pelajaran) enggak bisa dalam, itu susah. Bagaimana bisa dalam, kalau materi banyak sekali bagi saya sebagai guru.
Respons rasional saya sebagai guru (ketika melihat materi ajar yang banyak) adalah mengajar dengan ceramah, karena itu paling efesien. Saya ceramah itu cepat banget, untuk menyelesaikan materi paling cepat dengan ceramah.
Ketika materi kita fokus pada hal yang esensial, guru akan ada fleksibilitas dalam metode pembelajrannya. Bisa pakai diskusi, dramatisasi, role playing, kerja kelompok. Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh guru, yang akan sulit dilakukan kalau materinya terlalu banyak. Itu fleksibilitas yang pertama
Dan by the way kita punya data menggembirakan dari Kurikulum Darurat selama pandemi. Kurikulum 2013 kita pangkas materinya, kita integrasikan jadi yang esensial saja, dan kita tawarkan ke sekolah. Ternyata sekolah yang menggunakan kurikulum yang disederhankan itu hasil belajarnya lebih bagus dari pada yang biasa.
Jadi ini data empiris yang kuat, untuk menunjukkan pentingnya kasih kepercayaan ke guru, waktu kepada guru, untuk melakukan pembelajaran.
Fleksibilitas kedua adalah di tingkat penyusunan kurikulum operasional di sekolah. Kalau sebelum ini jam pelajaran itu dikunci di setiap mata pelajaran itu seminggu sekian jam. Sekarang itu, satu tahun kita kunci sehingga kalau mau dipadatkan bulan pertama, misal kita bikin proyek kombinasi IPA, matematika, bahasa itu bisa.
Jadi menyelaraskan materi di sana, capaian tiga mata pelajaran itu satu bulan, dua bulan pertama. Setelah itu jalankan proyek IPS, pendidikaan moral pancasila dan Agama misalnya, itu bisa seperti itu.
Struktur kurikulum di tingkat sekolah juga fleksibel. Sekolah yang mau inovatif itu kita beri kesempatan. Ketiga, ini kembali ke pembelajaran lagi. Karena materinya sedikit dan capaian pembelajaran itu kita tetapkan per dua tahun sampai tiga tahun, tidak lagi per tahun.
Jadi tagihannya apa yang harus dicapai siswa itu kita tetapkan, misal di SD bukan di akhir kelas satu tapi di akhir kelas dua. Jadi guru punya waktu dua tahun untuk mencapai standar yang kita inginkan di Kurikulum Merdeka. Jadi mereka bisa mengatur kecepatan mengajarnya lebih leluasa.
Artinya setiap sekolah bisa punya cara mencapai hasil belajar yang berbeda?
Prosesnya bisa berbeda-beda, cara mencapai tujuannya. Tapi kalau tujuannya kita tetapkan dari pusat. Jadi dalam desain kebijakan kurikulum kita, semua mengacu pada standar kompetensi lulusan yang sama.
Jadi ujungnya di akhir SD, akhir SMP, akhir SMA apa yang harus diketahui dan bisa dilakukan siswa itu sama. Tapi jalannya yang bisa beda-beda, karena setiap sekolah beda kondisi dan kebutuhannya.
Dengan sistem yang sefleksibel itu, saya penasaran dengan bentuk rapor siswa akan seperti apa, dan apakah skema dan bentuk rapor sudah disiapkan?
Panduan penilaian untuk semester yang lalu sudah ada. Cuma komunikasi dan sosialisasinya harus kita tingkatkan lagi dan sekarang kita berusaha supaya itu terintegrasi di Dapodik. Semoga by sistem guru itu tidak lagi bingung kalau sekolah saya pakai Kurikulum Merdeka, pelaporannya seperti apa.
Tapi prinsipnya, penilaian di rapor sebisa mungkin kita sederhanakan. Jadi untuk satu mata pelajaran, cukup melaporkan satu angka saja, angka nilai akhirnya saja.
Jadi lebih sederhana dibandingkan kurikulum sebelumnya. Harapannya mengurangi beban administrasi guru. Sekarang kita percayakan pada guru proses penilaian itu, kita beri panduan tapi penerapannya di kelas tidak perlu dilaporkan ke ke kita.
Seperti ulangan harian satu, ulangan harian dua, ujian semester itu enggak perlu dilaporkan ke kita. Kita percaya guru punya otonomi dan kemampuan profesional melakukan penilaian, cukup laporkan ke Kemendikbudristek hasil akhirnya.
Jadi kita sederhanakan, dan insyaAllah semester ini sudah terintegarasi by sistem di Dapodiknya. Panduan penilaiannnya sudah ada di website, ini kita integrasikan ke sistem supaya tidak membingungkan lagi.
Kurikulum Merdeka akan diterapkan lebih masif lagi di tahun ajaran baru 2022/2023. Apa yang harus dilakukan sekolah jika ingin menerapkan Kurikulum Merdeka?
Konsepnya sama kayak kita mengajari anak-anak. Kita sendiri belajar bertahap. Kalau kita belajar berenang kan enggak langsung lompat ke laut. Belajar di kolam dulu, pakai pelampung dulu, belajar gerakan sederhana dulu.
Menerapkan kurikulum baru, mentransformasi pembelajaran di sekolah itu juga bertahap. Yang mahir melakukannya bisa nyebur duluan di kolam yang dalam, itulah kira-kira.
Yang masih belum siap, belum punya pengalaman dalam menyusun kurikulum operasionalnya sendiri itu kita sarankan untuk tidak tergesa-gesa mengganti kurikulum sekolahnya. Tapi bisa menggunakan beberapa aspek dulu dari Kurikulum Merdeka.
Mereka boleh mendaftar, ada asesmennya. Mereka akan diminta untuk bercermin terkait pengelaman terkait mengembangkan Kurikulum. Kalau pengalamannya minim, kita sarankan coba dulu terapkan beberapa aspek dari Kurikulum Merdeka.
Struktur kurikulumnya pakai Kurikulum 2013, bukunya pakai Kurikulum 2013, tapi coba untuk kelas tertentu bikin project based learning, tanpa mengubah keseluruhan kurikulum.
Atau coba terapkan asesmen diagnostic, untuk melakukan pembelajaran yang sesuai level siswanya, untuk asesmen tools yang ada di aplikasi Merdeka Mengajar itu kan ada alat asesmen literasi dan numerasinya. Jadi ada aspek-aspek kunci dari Kurikulum Merdeka yang bisa diterapkan oleh sekolah yang ingin mencoba.
Sambil selama setahun ke depan mempelajari konsepnya, ikut pelatihan yang ada di aplikasi Merdeka Mengajar. Tapi sekolah yang sudah advance langsung saja ganti seluruh kurikulumnya.
Karena mereka sudah punya pengalaman untuk mengadaptasi kurikulum. Sekarang perbedaan kunci dari Kurikulum 2013 dengan Kurikulum Merdeka ini menuntut sekolah untuk menerjemahkan kerangka kurikulum nasionalnya.
Jadi yang kita tetapkan di pusat adalah fleksibilitas. Sisi lain dari fleksibilitas itu adalah tanggung jawab sekolah untuk menerjamahkan, menjadi kurikulum yang operasional. Semakin fleksibel iya, tapi artinya ada tuntutan juga kepada sekolah untuk menerjemahkan dalam konteks mereka. Itu tahapan-tahapan yang kita sarankan.
Kualitas sekolah beragam, ada disparitas yang begitu besar. Seberapa optimistis Kemendikbudristek akan bisa mengantarkan Kurikulum Merdeka ini menjadi kurikulum nasional di 2024?
Ada dua hal. Pertama seperti yang saya sampaikan. Untuk menerapkan kurikulum itu tidak harus langsung secara keseluruhan, ada tahapan.
Jadi sekolah yang belum memiliki pengalaman dalam inovasi pengembangan kurikulum secara mandiri, mereka bisa bertahap. Kita sediakan alatnya untuk belajar, pelatihan-pelatihan kita sediakan gratis di aplikasi Merdeka Mengajar. Modulnya kita distribusi lewat aplikasi itu, lewat flash disk bagi yang kesulitan internet dan ada buku teksnya bisa dipelajari.
Dengan adanya waktu dua tahun ke depan, bukan berarti kita pede (percaya diri), justru karena kita sadar, bahwa proses untuk memahami dan menerapkan dengan baik itu butuh waktu. Makanya kita berikan waktu dua tahun.
Bayangkan, proses pergantian kurikulum yang kita rencanakan sejak awal dalam waktu tiga tahun dari 2021, diperluas ke 2024. Cek saja deh, perubahan kurikulum nasional yang sebelumnya, tidak pernah sebelumnya kita melewati tahapan yang hati-hati, demikian bertahap seperti ini.
Karena kita berhati-hati, kita ingin menerapkan di 2024, kalau enggak ya 2021 sudah siap kurikulumnya, kita tetapkan saja langsung sebagai kurikulum nasional, kalau kita mau pakai metode paksa-memaksa.
Kita ingin di 2024 cukup banyak sekolah yang sudah punya pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam tentang Kurikulum Merdeka di tiap daerah, mereka ini yang jadi sumber belajar bagi sekolah lain, untuk menularkan.
Poin kedua tentang disparitas. Penerapan di tahun 2021 itu sebagian besar berada di sekolah-sekolah yang fasilitasnya tidak bagus. Jadi bukan di sekolah-sekolah yang mewah, bukan di sekolah di kota besar.
Ada di sekolah kota besar juga, tetapi sebagian besar dari 3.400-an sekolah dari PAUD sampai SMK itu ada di wilayah yang bukan kota besar, kota kecil bahkan di desa dan daerah tertinggal.
Kita sering kali meremahkan, kalau tidak punya fasilitas bagus, kalau enggak di kota mereka akan kesulitan. Padahal kalau kita beri kepercayaan, kita beri pendampingan, yang dipandang sebelah mata itu justru lebih semangat melakukan perubahan dibandingkan yang sudah nyaman dengan status quo di kota besar, fasilitasnya bagus, tapi mindset dan mental berjuang transformasinya itu tidak kuat.
Jadi meski sudah jadi kurikulum nasional di 2024, bukan berarti semua sekolah harus sudah menerapkannya secara full?
Kalau sekarang ini kita buka opsi, sebagai pilihan bagi sekolah dan madrasah. Kalau nanti di 2024 ternyata pengalamannya bagus, menunjukkan dampak positif, ketika itu terjadi artinya kurikulum 2013 itu facing out. Jadi secara gradasi kita kurangi dan kita terapkan skema yang bertahap juga. Jadi tidak tiba-tiba 400 ribu sekolah langsung begitu, enggak juga.
Setiap bicara soal Kurikulum Merdeka, yang paling orang ingat adalah bagian penghapusan peminatan atau penjurusan jurusan IPA, IPS, Bahasa di jenjang SMA. Tapi masih ada kebingungan di kalangan guru, teknisnya akan seperti apa soal penghapusan peminatan ini?
Sebenarnya ini sudah dimulai dengan sejak kurikulum 2013, siswa itu boleh punya peminatan minor, dia IPA tapi boleh ambil mata pelajaran pilihan di IPS atau Bahasa. Bedanya sekarang kita lanjutkan lagi secara maksimal, kita optimalkan di tingkat mata pelajaran.
Sejak kelas 10 itu paket dipelajari semua, di kelas itu diharapkan mereka ekplorasi minatnya, kira-kira senang apa, mata pelajaran apa yang senang dan mata pelajaran mana yang mau aku drop di kelas 11 dan 12, karena misalnya mau fokus pelajaran yang cocok dengan minat dan aspirasi karierku.
Kenapa kita ubah penjurusannya, itu supaya anak-anak punya waktu dulu untuk eksplorasi minat dan kariernya, sebelum mereka memilik di kelas 11 dan 12-nya. Kalau sekarang semua ingin masuk IPA karena nanti pilihan jurusan di PTN lebih banyak.
Sekarang syarat jurusan masuk PTN akan kita hilangkan juga kita koordinasi dengan Dikti, jadi tidak perlu harus IPA untuk masuk teknik. Tapi syaratnya memiliki kemampuan pengetahuan yang diperlukan di jurusan itu. Mungkin kalau teknik ya perlu fisika atau matematika lanjut.
Any way, kembali pada penerapan di SMA, di kelas 12-nya siswa itu harus memilih mata pelajaran dari dua kotak, atau dari dua kategori. Bisa itu IPA dan IPS, atau IPA dan Bahasa, atau Bahasa dan IPS, atau Bahasa atau keterampilan vokasi.
Jadi kalau misalnya saya mau masuk kedokteran, ya sudah saya ambil yang penting kimia dan biologi dan saya lengkapi dengan Bahasa Inggris supaya saya bisa lebih banyak baca buku teks Bahasa Inggris.
Tapi kalau saya masih bingung dengan karier saya, saya ingin masuk bisnis tapi mau teknik juga. Teknik ini perlu matematika lanjut dan fisika, saya ambil matematika dan fisika sebagai perminatan pilihan dan saya ambil ekonomi sebagai perminatan lainnya dari IPS.
Ini memang bagi siswa sangat bagus. Ini tantangannya bagi guru dan sekolah dan pengorganisasian. Jadi butuh kreativitas dari sekolah, tapi bukan berarti tidak bisa. Ini melanjutkan prinsip di kurikulum 2013 di mana siswa memilih perminatan minor dan sekarang kita tingkatkan ke tingkat mata pelajaran.
Jadi sebenarnya enggak 100 persen baru, ini kita melanjutkan, menyempurnakan, optimalisasi yang prinsipnya sudah diterapkan di kurikulum sebelumnya.
Apakah dalam praktiknya nanti akan muncul paket-paket kecil yang berisi kombinasi mata pelajaran bagi siswa. Misal ada kelompok siswa yang memilih fisika, biologi, antropologi. Kemudian ada kelompok lain dengan paket mapel lainnya, begitu?
Ini harus bicara dengan kepala sekolah di bidang kurikulum. Kemungkinan akan ada mata pelajaran yang banyak dipilih oleh siswa, sehingga rombongan belajarnya harus dibuka lebih banyak.
Ada mata pelajaran yang rombongan belajarnya lebih sedikit. Tapi sekali lagi itu enggak berbeda dengan Kurikulum 2013 loh, Kurikulum 2013 kemarin coba cek di sebagian SMA rombel yang banyak itu untuk IPA, IPS sedikit, Bahasa sedikit sekali.
Kira-kira itu enggak akan jauh berbeda dengan Kurikulum Merdeka, nanti mata pelajaran IPA itu akan banyak, hanya antarjumlah rombel antar mata pelajaran IPA-nya itu bisa beda.
Ada jumlah minimal siswa untuk membuka rombel? Misalkan hanya lima orang yang minat mata pelajaran A akan tetap dibuka kelas atau seperti apa?
Kita sedang mengubah, menata regulasi dengan bertanya ke kepala sekolah, mengumpulkan kepala sekolah, bikin FGD, kumpulkan kepala sekolah yang sudah menerapkan sejak tahun lalu, dan kita cari model, skema yang bagus kita angkat ke regulasi.
Tapi prinsipnya, kalau peminat untuk mata pelajaran itu sedikit maka rombelnya kecil enggak apa-apa, rombel sedikit karena peminatnya sedikit itu enggak apa-apa. Tapi kalau misalnya peminatnya banyak kemudian dipecah, peminatnya 100 orang misal, terus kemudian jadi 20 kelas masing-masing lima siswa, itu enggak boleh, karena kan enggak efesien.
Dan saya rasa sekolah sudah paham, kalau peminatnya banyak ya harus dioptimalkan. Kalau enggak salah antara 24 sampai 30 jadi ada minimalnya kalau peminatnya banyak. Tapi kalau untuk Bahasa asing peminatnya cuma lima orang ya enggak apa-apa dibuka saja. Sekolah membuka rombel kecil bukan atas keinginan mereka, karena memang peminatnya sedikit itu boleh.
Tadi Anda menyebut sedang ada sinkronisasi dengan Dikti terkait kebijakan masuk perguruan tinggi, utamanya PTN. Memilih prodi tertentu besok tidak lagi berdasarkan jurusan di sekolah, untuk mengharmonisasikan ini dengan PTN seperti apa?
Untuk komunikasi tentu sudah mulai ya, jadi Pak Nizam Dirjen Diktiristek membantu untuk komunikasi ke Majelis Rektor PTN kemudian ke LTMPT (Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi). Ini kita koordinasikan terus untuk mendapatkan skema yang sesuai dengan Kurikulum Merdeka, tapi juga melayani apa yang dibutuhkan perguruan tinggi.
Contoh skemanya, ya jadi enggak ada lagi yang namanya salah jurusan. Karena jurusan IPA-nya sudah dihapus, tapi kalau jurusan membutuhkan pengetahuan tetap tertentu, mereka bisa memberikan tes calon mahasiswa itu fisika dan matematikanya, atau ya hitung nilai rapor untuk mata pelajaran tersebut.
Jadi ini skema yang kita bicarakan, yang jelas akan ada penyesuaian di seleksi masuk PTN agar sejalan dengan konsep kurikulum dan pembelajarn yang baru.
Komunikasi sudah dilakukan, respons PTN seperti apa? Adakah kekhawatiran dari PTN?
Ada kekhawatiran tentu saja. Tapi kita mencoba mencari solusi bersama, secara umum sudah ada titik temu-titik temu yang perlu kita finalisasi nanti yang akan masuk regulasi juga, dan akan ada pengumumannya juga nantinya ketika sudah final.
Sebagai negara hukum saya kira ini pertanyaan mendasar yang penting. Apakah Kurikulum Merdeka ini sudah ada payung hukumnya?
Landasan regulasinya pertama Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan yang baru, jadi PP nomor 57 tahun 2021 itu mengatur ada perubahan yang cukup mendasar terkait standar nasional pendidikan bahwa kurikulum perlu mengacu pada empat standar, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar penilaian, standar proses.
Atas PP itu kami menyusun peraturan Permendikbudristek tentang standar nasional pendidikannya, kita sudah menerbitkan standar yang baru untuk standar kompetensi lulusan dan standar isi. Ini yang paling penting untuk dijadikan rujukan untuk kurikulum.
Ini sudah keluar bisa dicek di kurikulum.kemdikbud.go.id sudah ada Permendikbudnya. Kemudian Permendikbud itu digunakan sebagai acuan oleh semua kurikulum yang ada, kurikulum 2013 itu mengacu pada empat standar itu.
Sekarang Kurikulum Merdekanya sendiri. Itu sejak 2021, itu landasan hukumnya adalah keputusan menteri tentang program Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan. Kenapa bukan regulasi khusus kurikulum, karena pada waktu itu masih diterapkan terbatas pada Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan.
Tapi ke depan akan diterapkan ke semua sekolah yang berminat, tidak lagi dibatasi di sekolah penggerak, karena itu kita mengubah Keputusan Menterinya tentang pemulihan pembelajaran, itu sudah dalam tahap final, dan dalam berapa hari ini akan muncul juga di website, dan sudah ditandatangani Pak Menteri sebetulnya. Jadi ini tinggal teknis saja dimasukkan ke website. Jadi ada Keputusan Menteri yang khusus menjelaskan Kurikulum Merdeka ini.
Penegasan saja, Jadi nanti di regulasi baru itu tertulis dengan jelas nomenklatur Kurikulum Merdeka? Di regulasi apa persisnya?
Kalau di (Permendikbud) Standar Isi, itu acuan bagi semua kurikulum, makanya dia tidak menyebutkan nama kurikulum (tertentu). Yang menyebut nama Kurikulum Merdeka itu adalah Keputusan Menteri tentang kurikulum, ini saya tanya ke tim, di sini nomor 56/M/2022 tanggal 10 Februari tentang pedoman penerapan kurikulum dalam rangka pemulihan pembelajaran.
Jadi di situ menyebutkan nama kurikulumnya disebutkan secara spesifik, Kurikulum Merdeka.
Ini yang publik, orang belum tahu, sebenarnya ada beberapa level regulasi. Ada PP tentang Standar Nasional Pendidikan, ada Permendikbud tentang Standar Nasional Pendidikan, kemudian baru ada regulasi tentang kurikulum. Jadi standarnya itu adalah acuan bagi pengembangan kurikulum nasional.
Ramai jadi perbincangan di kalangan guru, dengan lahirnya Kurikulum Merdeka ini nantinya akan meniadakan PPKn dan diganti dengan Pendidikan Pancasila?
Ini untuk nomenklatur baru mata pelajaran. Itu untuk menekankan Pancasila adalah kerangka sekaligus landasan filosofis kita dalam berbangsa dan bernegara. Ketika kita belajar tentang kewarganegaraan kita menggunakan Pancasila sebagai kerangka nilai, moral maupun landasan filosofis berbangsa dan bernegara.
Muatannya itu mengombinasikan Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dengann kewarganegaraan. Ini bagaimana kita memahami, menghayati dan menerapkan nilai Pancasila dalam keseharian kita sebagai warga negara yang demokratis yang plural.
Ya, ada pergeseran orientasi atau penekanan dalam mata pelajarannya. Bukan berarti ada dua mata pelajaran ya, ini tetap akan ada satu mata pelajaran yaitu Pendidikan Pancasila.
Yang mengajarkann tetap guru yang sama, mereka punya kompetensi yang sudah diperlukan, memadai sesuai dengan nomenklatur dan konsep yang baru ini. Memang perlu ada konten baru, framing baru, tapi saya yakin mereka menguasai, kalau guru PPKn tentu sudah menguasai Pancasila, UUD.
Ini kita bertahap akan mengembangkan buku yang baru, tapi untuk sementara tidak perlu ada kecemasan bagi guru. Guru yang tadinya ngajar PPKn itu tetap sah untuk mengajar Pendidikan Pancasila. Kalau belum ada bukunya yang baru, pakai saja buku lama. Selalu ada transisi dalam perubahan.
Penghapusan PPKn dan digantikan dengan Pendidikan Pancasila, mulai diterapkan kapan?
Ini akan diterapkan mulai tahun ajaran baru 2022/2023. Kalau Kurikulum Merdeka diterapkan, sudah langsung kita sesuaikan. Buku teksnya sudah dengan frame yang baru, kalau Kurikulum 2013 ini masih harus disesuaikan.
Guru ini kan jebolan LPTK, di LPTK ini prodinya masih PPKn, nanti harmonisasi dengan LPTK akan seperti apa, apakah nama prodi akan berubah juga?
Enggak harus ada perubahan nama prodi kok. Itu tinggal kita sesuaikan di Permendikbudnya, linearitas pendidikan. Jadi guru lulusan prodi PPKn bisa mengajar Pendidikan Pancasila.
Kalaupun ada perubahan itu gradual, transisi saja, teman-teman LPTK perlu lihat standar yang baru, pergeseran orientasinya seperti apa dari PPKn ke Pancasila itu dan mungkin materi kuliahnya disesuaikan, tapi enggak perlu perubahan prodi segala.
Apakah penghapusan PPKN dan kemunculan Pendidikan Pancasila Ini akan berpengaruh pada sertifikasi guru? Karena aturan anggaran di kita itu kan sangat peka dengan urusan penamaan.
Ya, itu yang kita coba diskusikan dengan GTK. Jadi nanti ada aturan Perdirjen tentang linearitas, itu yang kita sesuaikan.
Jadi dijamin tidak akan ada masalah terkait tunjangan guru dan sebagainya?
Ya.
Perubahan dari PPKn ke Pendidikan Pancasila ini disebut-sebut berbau politis ketimbang alasan akademisnya, Tanggapan Anda soal ini?
Pertimbangan pergantian ini merespons perkembangan zaman, ya. Untuk bisa menghadapi perubahan nilai, teknologi yang sangat pesat, kita perlu punya pemahaman yang lebih kuat kepada nilai kebangsaan kita yang itu terinstalisasi dalam Pancasila.
Jadi, belajar kewarganegaraan itu bukan lagi belajar teori-teori kewarganegaraannya, abstrak. Tapi kita belajar tentang Pancasila. Kenapa kok founding fathers para pendiri bangsa kita mengkristalisasi nilai-nilai warisan kebudayaan kita, warisan peradaban nusantara itu dalam lima sila ini.
Proses perdebatannya seperti apa, dan pemahaman historis itulah yang ingin kita kedepankan, agar anak-anak kita punya akar identitas yang lebih kuat dalam melihat jati diri dan identitas kebangsaan.
Kalau politis kan konotasinya seolah ini negatif. Tapi kita ingin membentuk karakter kepribadian bangsa yang kuat, supaya kita memiliki identitas yang kita banggakan sekaligus kita tidak minder dengan perubahan yang terjadi karena kita punua warisan nilai yang luar biasa dan itu relevan di jaman sekarang.
Munculnya Kurikulum Merdeka ini dijanjikan tidak akan mengganggu urusan tunjangan sertifikasi guru. Namun ada kekhawatiran dari guru sejarah jam mengajar guru sejarah akan berkurang, tanggapan Anda?
Mata pelajaran sejarah akan tetap wajib sampai kelas 12 kok. Jadi itu harusnya enggak berubah. Kalau ada guru-guru yang jam mengajarnya berkurang, mereka itu bisa melengkapinya dengan memfasilitasi pembelajaran berbasis projek, jadi fasilitator dan menjadi koordinator di sekolah.
Nanti bisa dilihat ada Keputusan Menteri-nya sudah diunggah, dihargai dua jam pelajaran per minggu untuk satu kelas. Intinya itu cukup. Jadi sekolah harusnya memprioritaskan guru yang jam pelajarannya berkurang di mata pelajaran untuk menjadi fasilitator dan koordinator di pembelajaran berbsais proyek.
Itu akan membuat yang tadinya sudah memenuhi syarat minimum itu akan harus tetap bisa memenuhi syarat minimum dengan menjalankan peran-peran baru di dalam Kurikulum Merdeka itu.
Itu kita arahkan di keputusan menterinya, dan tentu saja ini perlu dikomunikasikan. Jadi keberhasilan dari implementasi ini sangat tergantung dalam sosialisasi dan dialog pada sekolah dan dinas pendidikan.
Jadi memang kita harus engage dengan kepala dinas pendidikan seluruh Indonesia, supaya mereka tahu bagaimana mengarahkan kepala sekolahnya untuk menerjemahkan itu. Kita juga punya help desk, yang akan mendampingi Pemda, jadi kalau ada problem di lapangan itu masuk ke base kita, kalau perlu dieskalasi ke eselon satu untuk revisi regulasi hingga sosialisasi peraturan.
Seberapa optimistis Kemendikbudristek dengan Kurikulum Merdeka akan menyelamatkan skor PISA Indonesia yang akan kembali diukur 2023?
World Bank itu estimasinya kita turun 25 sampai 35 poin. 25 sampai 35 poin itu banyak, ekuivalen dengan satu tahun pembelajaran. Jadi ibaratnya hilang satu tahun ajaran itu. Dan ini bukan hanya di Indonesia, tapi dampak ini juga dirasakan oleh seluruh dunia karena pandemi.
Yang kita lakukan di Kemendikbud ini apa? Ya, mengatasi seluruh krisis belajar ini mulai dari kurikulum, AN. Tapi ini sekali lagi ini bukan sesuatu yang dampaknya akan bisa langsung menyelesaikan masalah hasil belajar. Enggak ada magic bullet dalam pendidikan, enggak ada obat yang kita minum hari ini besok sudah sembuh sistem pendidikan kita. Akan butuh waktu.
Jadi kita sudah memitigasi dengan berbagai cara, banyak kurikulum darurat kemarin itu menunjukkan dapat memitigasi sekitar 70 sampai 80 persen dampak negative dari learning loss akibat pandemi.
Kita punya data, apa yang kita lakukan ini ada dampak positifnya untuk mengurangi dampak dari pandemi itu. Tetap ada learning loss, tapi learning loss-nya itu berkurang 70 sampai 80 persen, itu hal yang signifikan.
Jadi meski dipastikan ada penurunan skor PISA, setidaknya tidak terlalu jeblok begitu ya?
Secara relatif ya, selalu kita perbandingannya yang penting. Kalau tidak kita mitigasi mungkin dropnya sekian, kalau kita mitigasi mungkin juga akan drop tapi tidak separah seperti kita tidak
melakukan apa-apa yang fokusnya pada pembelajaran seperti sekarang. Kita sama-sama berharap semoga ada manfaatnya.
Keberhasilan program-program Kemendikbudristek, sangat tergantung dari respons masyarakat. Jadi saya melakukan ini supaya masyarakat supaya publik lebih paham kebijakannya, niatnya seperti apa. Sehingga ketika memberikan masukan itu berdasarkan informasi yang tepat.
Kita sangat sadar program, dan kebijakan kita itu perlu terus dikritik, tapi kita juga perlu umpan balik yang bermakna. Dan itu hanya bisa terjadi kalau yang memberikan umpan balik itu memahami juga.
Semoga ini menjadi bagian dari komunikasi itu, supaya kita punya visi yang sama tentang perubahan. Jadi sistem pendidikan telah mengalami krisis sejak lama dan itu adalah prioritas tertinggi. Kita harus kembali jantung pendidikan yaitu pembelajaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id