Jakarta: Akhir pekan lalu Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi meluncurkan program Merdeka Belajar Episode 15 bertajuk Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Kurikulum Merdeka ini merupakan nama baru dari Kurikulum Prototipe yang sejak Juli 2021 lalu sudah diujicobakan secara terbatas di 2.500 SMA dan 900 SMK Pusat Keunggulan.
Dengan diluncurkannya Kurikulum Merdeka tersebut, sekaligus menandai bahwa Indonesia akan segera memiliki kurikulum nasional baru pengganti Kurikulum 2013. Kurikulum Merdeka ini rencananya akan mulai diterapkan secara nasional di tahun 2024.
Bagaimana wajah Kurikulum Merdeka ini nantinya? Medcom.id telah mewawancara Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo. Berikut petikan wawancaranya:
Apa urgensi Kurikulum Merdeka ini? Sampai-sampai Kemendikbudristek harus menyusun dan meluncurkan kurikulum saat ini juga, di tengah kerepotan pandemi, padahal semua orang sedang berjibaku PJJ, belajar daring, hingga PTM hanya untuk mendapat layanan pendidikan.
Justru karena pandemi itu kita menjadi sadar bahwa jantung pendidikan itu adalah pembelajaran. Apakah anak-anak belajar? itu yang bermasalah di sisi pendidikan kita.
Tapi sebenarnya masalah pembelajaran yang kita sebut krisis belajar itu terjadi bukan karena pandemi. Pandemi ini mungkin iya, memperparah, tapi pandemi ini juga membuka mata kita, memaksa kita mengakui itu, bahwa masalah itu serius.
Lalu tiba-tiba semua orang bicara learning loss, bicara tentang apa bahaya kehilangan kesempatan belajar yang signifikan karena pandemi? Tapi sebenarnya krisis belajar itu terjadi sejak lama, sejak puluhan tahun mungkin. Paling tidak kita punya data sejak tahun 2000.
Ada banyak studi internasional, dan itu sudah dianalisis peneliti dalam maupun luar negeri, bahwa dari 2000 sampai 2014 penguasaan matematika dasar anak-anak kita itu justru menurun.
Jadi misalnya, anak kelas 4 SD yang bisa menjawab matematika kelas 1 SD itu hanya sekitar 60 persen saja. Bahkan sudah naik tiga kelas, kelas dua, tiga dan empat, tapi diminta menjawab pertanyaan kelas 1 SD itu enggak 100 persen yang bisa, itu 60 persen.
Data PISA juga, sejak 2000 kita stagnan di situ saja skornya. Kalau kita konversi jadi kompetensi, skor PISA kita itu dari 2000 sampai sekarang menunjukkan hanya 30 persen anak-anak kita yang bisa membaca, bernalar kritis, secara matematika, punya literasi sains di kompetensi minimum di tingkat dasar.
Jadi krisis belajar ini yang membuat perubahan transformasi sistem pendidikan itu menjadi urgent. Poin saya di sini adalah, Kurikulum Merdeka ini harus dilihat sebagai upaya transformasi yang sistemik.
Jadi enggak berdiri sendiri perubahan kurikulum ini. Ini bagian saja dari banyak komponen Merdeka Belajar, tapi ini transformasi pendidikan yang mengarah pada penyelesaian krisis belajar itu tadi.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan