Dengan adanya waktu dua tahun ke depan, bukan berarti kita
pede (percaya diri), justru karena kita sadar, bahwa proses untuk memahami dan menerapkan dengan baik itu butuh waktu. Makanya kita berikan waktu dua tahun.
Bayangkan, proses pergantian kurikulum yang kita rencanakan sejak awal dalam waktu tiga tahun dari 2021, diperluas ke 2024. Cek saja deh, perubahan kurikulum nasional yang sebelumnya, tidak pernah sebelumnya kita melewati tahapan yang hati-hati, demikian bertahap seperti ini.
Karena kita berhati-hati, kita ingin menerapkan di 2024, kalau enggak ya 2021 sudah siap kurikulumnya, kita tetapkan saja langsung sebagai kurikulum nasional, kalau kita mau pakai metode paksa-memaksa.
Kita ingin di 2024 cukup banyak sekolah yang sudah punya pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam tentang Kurikulum Merdeka di tiap daerah, mereka ini yang jadi sumber belajar bagi sekolah lain, untuk menularkan.
Poin kedua tentang disparitas. Penerapan di tahun 2021 itu sebagian besar berada di sekolah-sekolah yang fasilitasnya tidak bagus. Jadi bukan di sekolah-sekolah yang mewah, bukan di sekolah di kota besar.
Ada di sekolah kota besar juga, tetapi sebagian besar dari 3.400-an sekolah dari PAUD sampai SMK itu ada di wilayah yang bukan kota besar, kota kecil bahkan di desa dan daerah tertinggal.
Kita sering kali meremahkan, kalau tidak punya fasilitas bagus, kalau enggak di kota mereka akan kesulitan. Padahal kalau kita beri kepercayaan, kita beri pendampingan, yang dipandang sebelah mata itu justru lebih semangat melakukan perubahan dibandingkan yang sudah nyaman dengan status
quo di kota besar, fasilitasnya bagus, tapi
mindset dan mental berjuang transformasinya itu tidak kuat.
Jadi meski sudah jadi kurikulum nasional di 2024, bukan berarti semua sekolah harus sudah menerapkannya secara full?
Kalau sekarang ini kita buka opsi, sebagai pilihan bagi sekolah dan madrasah. Kalau nanti di 2024 ternyata pengalamannya bagus, menunjukkan dampak positif, ketika itu terjadi artinya kurikulum 2013 itu
facing out. Jadi secara gradasi kita kurangi dan kita terapkan skema yang bertahap juga. Jadi tidak tiba-tiba 400 ribu sekolah langsung begitu, enggak juga.
Setiap bicara soal Kurikulum Merdeka, yang paling orang ingat adalah bagian penghapusan peminatan atau penjurusan jurusan IPA, IPS, Bahasa di jenjang SMA. Tapi masih ada kebingungan di kalangan guru, teknisnya akan seperti apa soal penghapusan peminatan ini?
Sebenarnya ini sudah dimulai dengan sejak kurikulum 2013, siswa itu boleh punya peminatan minor, dia IPA tapi boleh ambil mata pelajaran pilihan di IPS atau Bahasa. Bedanya sekarang kita lanjutkan lagi secara maksimal, kita optimalkan di tingkat mata pelajaran.
Sejak kelas 10 itu paket dipelajari semua, di kelas itu diharapkan mereka ekplorasi minatnya, kira-kira senang apa, mata pelajaran apa yang senang dan mata pelajaran mana yang mau aku
drop di kelas 11 dan 12, karena misalnya mau fokus pelajaran yang cocok dengan minat dan aspirasi karierku.
Kenapa kita ubah penjurusannya, itu supaya anak-anak punya waktu dulu untuk eksplorasi minat dan kariernya, sebelum mereka memilik di kelas 11 dan 12-nya. Kalau sekarang semua ingin masuk IPA karena nanti pilihan jurusan di PTN lebih banyak.
Sekarang syarat jurusan masuk PTN akan kita hilangkan juga kita koordinasi dengan Dikti, jadi tidak perlu harus IPA untuk masuk teknik. Tapi syaratnya memiliki kemampuan pengetahuan yang diperlukan di jurusan itu. Mungkin kalau teknik ya perlu fisika atau matematika lanjut.
Any way, kembali pada penerapan di SMA, di kelas 12-nya siswa itu harus memilih mata pelajaran dari dua kotak, atau dari dua kategori. Bisa itu IPA dan IPS, atau IPA dan Bahasa, atau Bahasa dan IPS, atau Bahasa atau keterampilan vokasi.
Jadi kalau misalnya saya mau masuk kedokteran, ya sudah saya ambil yang penting kimia dan biologi dan saya lengkapi dengan Bahasa Inggris supaya saya bisa lebih banyak baca buku teks Bahasa Inggris.
Tapi kalau saya masih bingung dengan karier saya, saya ingin masuk bisnis tapi mau teknik juga. Teknik ini perlu matematika lanjut dan fisika, saya ambil matematika dan fisika sebagai perminatan pilihan dan saya ambil ekonomi sebagai perminatan lainnya dari IPS.
Ini memang bagi siswa sangat bagus. Ini tantangannya bagi guru dan sekolah dan pengorganisasian. Jadi butuh kreativitas dari sekolah, tapi bukan berarti tidak bisa. Ini melanjutkan prinsip di kurikulum 2013 di mana siswa memilih perminatan minor dan sekarang kita tingkatkan ke tingkat mata pelajaran.
Jadi sebenarnya enggak 100 persen baru, ini kita melanjutkan, menyempurnakan, optimalisasi yang prinsipnya sudah diterapkan di kurikulum sebelumnya.