Ketiga kakak beradik tersebut adalah M kelas 5 SD (14 tahun), Y kelas 4 SD (13 tahun), YT kelas 2 SD (11 tahun). Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019, lalu tahun ajaran 2019/2020, dan tahun ajaran 2020/2021.
Tinggal Kelas Kali Pertama (2018-2019) Dianggap Absen tanpa keterangan
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti menyebut sekolah diduga menganggap, ketiga anak tersebut tidak hadir tanpa alasan selama lebih dari tiga bulan. Padahal, ketiga anak tersebut tidak hadir karena dikeluarkan dari sekolah dan baru dapat kembali setelah penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda.Pada 15 Desember 2018, keputusan sekolah secara resmi mengeluarkan ketiga anak dari sekolah. Sejak saat itu, ketiga anak tidak diperbolehkan ikut kegiatan belajar mengajar. Kemudian pada 16 April 2019, melalui penetapan PTUN Samarinda (putusan sela) ketiga anak dikembalikan ke sekolah, hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Pada Kenaikan kelas tahun ajaran 2018-2019, anak-anak tersebut dinyatakan tinggal kelas. Lalu, pada 8 Agustus 2019, Putusan PTUN Samarinda membatalkan keputusan sekolah, karena terbukti melanggar hak-hak anak atas pendidikan dan kebebasan melaksanakan keyakinannya.
Mengeluarkan anak-anak dari sekolah, menghukum mereka, menganggap pelaksanaan keyakinannya sebagai pelanggaran hukum adalah hal yang tidak sejalan dengan perlindungan konstitusi atas keyakinan agama dan ibadah.
"PTUN memutuskan mengembalikan anak ke sekolah. Meski hak-hak ketiga anak atas keyakinan beragama dan pendidikan dihormati dan diteguhkan di PTUN, sehingga mereka kembali ke sekolah, namun mereka diperlakukan secara tidak adil karena tidak naik kelas untuk alasan yang tidak sah,” ungkap Retno.
Tinggal Kelas Kali Kedua (2019-2020) : Tidak diberikan pelajaran Agama dan tidak punya nilai Agama
Sejak ketiga anak kembali ke sekolah melalui putusan PTUN Samarinda, ketiga anak tidak diberikan akses pada kelas pendidikan Agama Kristen yang disediakan sekolah. AT (orang tua ketiga anak korban) telah berulangkali meminta agar anak-anak diberikan pelajaran Agama Kristen, agar bisa naik kelas, namun itu dipersulit dengan berbagai syarat yang tidak berdasar hukum.Baca juga: 3 Siswa SDN 051 Tarakan 3 Kali Tak Naik Kelas, Diduga karena Kepercayaan yang Dianut
“Selama tahun ajaran 2019-2020, Bapak AT terus berupaya meminta agar ketiga anaknya diberikan akses pendidikan Agama dari pihak sekolah. AT tidak pernah menolak kelas Agama Kristen tersebut, bahkan memintanya. Anak terus dibiarkan oleh sekolah hingga akhir tahun ajaran, ketiga anak tidak naik kelas karena tidak punya nilai pelajaran Agama Kristen,” ujar Retno.
Retno menambahkan, sekolah mensyaratkan agar AT mendapatkan rekomendasi dari Bimans Kristen Kota Tarakan agar anaknya mendapatkan akses pelajaran Agama Kristen di sekolah. Guru Pendidikan Jasmani dan Pembimbing Pendidikan Agama Kristen SDN 051, DR mengaku bahwa sejak awal tahun 2019, AT sudah terus menemuinya untuk memohon agar ketiga anaknya dilibatkan dalam pelajaran Agama di sekolah.
Namun dirinya keberatan karena adanya perbedaan akidah dan ajaran antara keyakinan agama kristen dan Saksi-saksi Yehuwa.
Karena ketiadaan pelajaran Agama, Sidang Jemaat Kristen Saksi-Saksi Yehuwa Tarakan pernah mengeluarkan surat tertanggal 20 Juli 2021, yang menerangkan bahwa selama tahun ajaran 2019-2020, ketiga anak tersebut belajar Agama di tempat ibadahnya. Meskipun seharusnya itu bisa dipertimbangkan sebagai sumber pendidikan Agama dari Lembaga masyarakat (non-formal), namun sekolah mengabaikannya dan tetap memutuskan agar ketiga anak tidak naik kelas.
“Sekolah telah melanggar hukum dengan sama sekali tidak memberikan pelajaran Agama, menetapkan syarat-syarat yang tidak berdasar hukum, serta mempersoalkan keyakinan Agama dari ketiga anak,” ujar Retno.
Retno menambahkan, sekolah bukan hanya tidak mampu memberikan pendidikan Agama dari guru yang seagama bagi ketiga anak tersebut, sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundangan. Namun dengan aktif menghalangi ketiga anak mendapatkan pembelajaran agama.
Pada kasus kedua ini, PTUN Samarinda memutuskan bahwa keputusan sekolah untuk membuat ketiga anak tidak naik kelas karena pelajaran Agama adalah keputusan yang keliru. Sebab tindakan sekolah dinilai memiliki latar belakang pada tindakan diskriminatif yang tidak menghormati hak ketiga anak atas keyakinan agama dan pendidikan yang berkelanjutan.
Atas keputusan PTUN tersebut, sekolah mengajukan banding atas putusan tersebut dan sekarang sedang dalam proses Kasasi. Meski tahun ajaran 2019-2020 berakhir, ketiga anak tersebut masih belum naik kelas.
Tinggal Kelas Kali Ketiga (2020-2021) : Nilai Agama rendah /lagu rohani
Kali ini, meski telah diberikan pelajaran Agama (karena permohonan orang tua), ketiga anak diberikan nilai Agama yang rendah sehingga tidak naik kelas. Ketiga anak dipaksa menyanyikan lagu rohani, meskipun sang guru tahu bahwa itu tidak sesuai dengan akidah dan keyakinan agamanya."Karena tidak dapat melakukannya, ketiga anak diberi nilai rendah dan tidak naik kelas lagi," ujar Retno.
Sejak awal tahun ajaran, ketiga anak masih tidak diberikan pelajaran Agama. Pada 17 Maret 2021. Surat permohonan orang tua agar diberikan pelajaran Agama Kristen oleh sekolah. Kemudian, pada 25 Maret 2021. Ketiga anak diijinkan ikut pelajaran Agama, yang diajarkan oleh Deborah.
Pada 6 Mei 2021, orang tua ketiga anak itu kembali mengajukan permohonan untuk ujian susulan tengah semester 1 dan akhir semester 1 bagi tiga anaknya. Hal ini dimohonkan karena anak-anak baru diberikan pelajaran Agama setelah semester 1 berlalu, sehingga perlu ujian susulan agar tidak ada alasan tidak naik kelas.
Lalu, 21 Juni 2021, setelah berbagai komunikasi, akhirnya ketiga anak diberikan ujian susulan. Selanjutnya pada 24 Juni 2021, Ujian praktek pelajaran Agama, anak-anak diminta menyanyikan lagu rohani.
Karena tidak sesuai dengan akidah agamanya, ketiga anak menawarkan lagu rohani lain, sesuai dengan Alkitab, namun ditolak. Komunikasi mengenai hal ini terus berlanjut melalui WhatsApp, hingga akhirnya mereka semua tidak naik kelas lagi.
Akhirnya pada 31 Juli 2021, rapot ketiga anak terbit. Mereka mendapatkan rapor, setelah berminggu-minggu tahun ajaran baru mulai dan ketiga anak tidak diperbolehkan masuk kelas, ketiga anak kembali tidak naik kelas.
"Kegiatan belajar mengajar, tugas yang mereka (tiga siswa) kerjakan, kelas yang mereka hadiri, semuanya sia-sia hanya karena mereka mempertahankan dan menjaga keyakinan agamanya mengenai lagu rohani. Di sisi lain, sekolah mengabaikan semua hal itu serta bahkan tidak mempertimbangkan sama sekali keyakinan Agama dan ibadah dari ketiga anak tersebut atas lagu rohani," tutup Retno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News