“Kayaknya itu kesedihan saya terdengar ke langit, jadi hujan juga itu,” kenang Kevin dikutip dari laman lpdp.kemenkeu.go.id, Senin, 9 Juni 2025.
Kevin selalu menyempatkan diri belajar hingga larut sepulang bekerja. Hal itu dilakukan di tengah kesibukannya di proyek pengembangan pabrik pengolahan nikel.
Dia mulai belajar Juli 2022. Pada tes pertama, September gagal, Desember gagal lagi, Januari 2023 masih gagal.
"Baru Februari, tepat tiga hari sebelum deadline LPDP, saya lolos skor IELTS. Gagal tiga kali, setiap kali cuma kurang 0,5. Rasanya pahit banget,” ujar Kevin.
Kevin sejak awal ingin menembus kampus top dunia dengan beasiswa LPDP. Gagal tiga kali, teman mentornya sudah menyarankan mengambil kesempatan pendidikan lain yang tak kalah bagus. Namun, dia tak mau menyerah begitu saja.
Beasiswa kuliah S1 dan lulus Cum Laude
Kevin tumbuh dengan minim kemewahan. Ia adalah anak kedua dari dua bersaudara yang lahir dan besar di Bandung di keluarga dengan ekonomi menengah yang menjunjung tinggi pendidikan meski kedua orang tuanya hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).Orang tuanya selalu menanamkan nilai bersekolah harus setinggi-tingginya. Mereka tidak memaksakan pilihan karier, melainkan mendukung minat dan passion anak-anaknya.
Sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Santo Aloysius Bandung, Kevin menunjukkan kecerdasan dan prestasinya dengan selalu mendapatkan beasiswa dari sekolah. Dia merupakan juara nasional olimpiade kimia dan karya ilmiah termasuk memenangkan kompetisi tingkat nasional yang diadakan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dengan torehan prestasi tersebut, Kevin merasa yakin diterima lewat jalur undangan ke ITB. Takdir berkata lain. Ia tersisih dan harus bertarung di jalur tes tulis dengan persiapan hanya dua minggu.
Kevin percaya doa tanpa usaha adalah sia-sia. Meskipun, soal tes sangat sulit dan banyak yang pesimis karena kursi terbatas dan persaingan ribuan pendaftar.
Dia membayar tuntas tantangan tersebut dengan lolos seleksi masuk jurusan Metalurgi di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) ITB Tahun 2016. Salah satu jurusan bergengsi dengan persaingan ketat.
Beban biaya kuliah yang mencapai Rp10 juta per semester, yang berarti Rp80 juta untuk delapan semester terasa berat bagi Kevin dan keluarga. Tidak mau membebani orang tuanya, ia mengajukan lamaran dan berbagai syarat yang diminta untuk bisa mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kemendikbudristek dan akhirnya berhasil.
Kevin keluar sebagai mahasiswa pertama yang lulus Cum Laude dalam waktu 3,5 tahun, tercepat dari 343 mahasiswa angkatannya. Gelar itu tak datang begitu saja. Ia aktif di himpunan, memimpin berbagai proyek, dan tetap menjaga indeks prestasi akademik yang nyaris sempurna.
Awalnya, Kevin diterima di perusahaan tambang tak lama setelah lulus tahun 2020. Namun, covid-19 membuyarkan karier perdananya itu. Berkat rekomendasi pembimbing skripsinya, Kevin direkomendasikan bekerja di Salim Group dan diterima.
Sempat kaget dengan penempatan kerja di Kalimantan dengan ritme delapan minggu kerja di hutan dan dua minggu libur. Ternyata, penempatan Kevin bukan di Kalimantan, melainkan di Purwakarta.
Di PT Indo Mineral Research Purwakarta, Kevin bekerja di bagian riset dan dipercaya membangun tim riset sendiri, bahkan ketika laboratoriumnya belum memiliki bangunan. Ia mengevaluasi pekerjaan laboratorium untuk prekursor baterai mobil listrik, khususnya nikel sulfat heksahidrat.
Kevin diberi amanah besar membangun laboratorium penelitian dari nol. Bukan pekerjaan mudah. Ia harus mengintegrasikan aspek teknis metalurgi, membangun tim, dan menavigasi urusan finansial, manajerial, hingga politik perusahaan.
"Awalnya saya kira ini hanya soal riset. Ternyata ini tentang leadership," tutur dia.
Dunia kerja menuntut Kevin belajar cepat dan berpikir strategis. Di tengah sibuknya mengembangkan laboratorium dan fasilitas pengolahan nikel untuk baterai mobil listrik, ia merasa ada lubang pengetahuan yang perlu ditambal.
Ia butuh pemahaman lebih dalam, terutama di persimpangan antara metalurgi dan finansial industri. Kevin memutuskan melanjutkan studi S2 setelah tiga tahun berkarier di Salim Group.
Tiga kali gagal IELTS
Sejak mengetahui rekan kerjanya lulusan Imperial College London, sejak itulah mimpi Kevin mengikuti jejaknya. Kevin sudah pernah mendapat beasiswa unggulan saat S1 dan tahu beasiswa LPDP adalah satu-satunya jalan bila ia ingin melangkah lebih jauh.“LPDP bukan hadiah. Ia tanggung jawab. Saya merasa, kalau saya mendapat kepercayaan dari negara, maka saya juga harus menyiapkan diri menjadi orang yang layak dipercaya,” tutur dia.
Persyaratan IELTS untuk studi di luar negeri minimal 6.5, atau 7. Bahasa Inggris menjadi tembok pertama yang harus ia dobrak, terutama kemampuan speaking yang masih kurang.
Di tengah kesibukannya memimpin perencanaan pembangunan pabrik dan mendelegasikan tugas, ia membagi waktu untuk belajar bahasa Inggris setiap hari setelah pulang kerja, dari jam 5 sore hingga 11 malam.
Pada September 2022, skor IELTS-nya kurang 0.5 poin dan kemudian kembali gagal di bulan Desember dengan skor yang malah menurun. Pada tes di bulan Januari 2023, ia kembali gagal dengan kurang 0.5 poin.
Ia bahkan mencoba melakukan re-check ke IELTS Australia untuk rekaman speaking-nya, namun hasilnya tetap sama.
Dengan batas waktu pendaftaran LPDP di bulan Februari, Kevin harus kembali tes IELTS di awal Februari. Temannya yang sudah mendapatkan LPDP sempat menyarankannya menyerah dengan mengatakan 'tidak semua orang sukses harus sekolah di Inggris'.
Namun, Kevin teringat kegigihan ilmuwan Thomas Alva Edison yang gagal seribu kali sebelum menemukan lampu. Dia merasa kegagalannya baru tiga kali belum seberapa.
Ia percaya pada kekuatan doa dan usaha, serta pentingnya bantuan orang lain. Akhirnya, pada tes keempat, nilainya sesuai persyaratan.
Kevin menceritakan perjalanan hidupnya secara detail saat seleksi wawancara LPDP, termasuk tantangan yang dihadapi di Salim Group tempatnya bekerja. Pewawancara sangat terinspirasi oleh ceritanya, terutama latar belakang keluarganya yang tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi namun menanamkan pentingnya pendidikan.
Bahkan, pewawancara mengatakan bila Kevin diterima, ia harus mengingat janjinya membuat Indonesia lebih baik. Esai Kevin mengenai nikel ia terapkan dalam penelitiannya di Inggris, yang kemudian dihargai.
Tembus beasiswa LPDP dan raih prestasi membanggakan
Kevin diterima di Imperial College London dan UCL dan memilih Imperial College yang saat itu merupakan universitas terbaik kelima di dunia. Ia mengambil program double degree yang berkolaborasi antara Royal School of Mines (bidang pertambangan) dan Imperial College Business School.Beban studinya berat, dengan 15 sub-modul ujian, jauh lebih banyak ketimbang program lain yang hanya memiliki tiga atau empat ujian.
Dalam sebuah acara di London, Kevin bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ia sempat bertanya mengenai kebijakan finansial di Indonesia, khususnya hilirisasi nikel dan investor asing hingga mendapat pesan yang membuatnya terngiang sekaligus terlecut.
“Jangan puas hanya karena dapat IPK 4. Itu bukan akhir,” ucap Sri Mulyani kepada Kevin.
Kevin fokus pada risetnya yang beririsan dengan kondisi Indonesia, yaitu evaluasi dampak teknis dan finansial dari penelitian nikel. Risetnya menggabungkan model statistik yang inovatif, yaitu mean reverting model, yang belum pernah diterapkan sebelumnya dalam evaluasi tambang.
Model ini memungkinkan simulasi ratusan ribu kali untuk menentukan kelayakan proyek, sebuah penemuan baru yang bisa diterapkan di seluruh dunia.
Kevin berhasil lulus dengan predikat Distinction (Cum Laude) di Imperial College London dan menjadi satu-satunya mahasiswa Indonesia di angkatannya yang mendapatkan penghargaan tersebut. Tesisnya yang dinilai sangat baik, tidak hanya dalam teknis tetapi juga analisis finansial, membuat namanya dikenal sebagai ahli yang langka di Indonesia.
Dia mengakui ada tawaran menggiurkan untuk bekerja di Inggris. Namun, sejak awal tekadnya adalah pulang. Loyalitas dan pengabdiannya untuk pekerjaannya masih lebih besar ketimbang iming-iming karier di luar negeri.
Kabar membanggakan datang lagi saat Kevin telah berada di Indonesia dan sedang sibuk di laboratorium. Tesisnya mendapat penghargaan Curry MSc Prize, sebuah penghargaan untuk tesis geologi paling berpengaruh di seluruh Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
Ini adalah prestasi yang tak cuma menggembirakan diri, tetapi juga bagi Imperial College lantaran untuk kali pertama memenangkan penghargaan tersebut setelah terakhir kali hanya runner-up pada 2016.
Profesor pembimbingnya bahkan kaget karena ia tidak mendaftarkan Kevin, melainkan penelitiannya dipilih sebagai yang terbaik dari semua program master di sekolah pertambangan. Penghargaan ini membuatnya mendapat keanggotaan gratis di organisasi geologi Inggris dan asosiasi material, pertambangan, dan metalurgi.
Kini, Kevin telah berkarya kembali di Tanah Air meneruskan proyeknya dengan segudang ilmu yang telah didapat dari Inggris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id