Sesuai dengan instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, daerah yang berada di zona oranye dan merah covid-19 harus melaksanakan imbauan belajar dari rumah. Keputusan itu ditindaklanjuti Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Nahdiana, melalui Surat Edaran Nomor 32/SE/2020 tentang Kebijakan Belajar dari Rumah di Masa Darurat Covid-19 selama dua pekan, 16-29 Maret 2020.
Namun hari itu, dengan penuh keterpaksaan, kepala sekolah meminta seluruh guru SMAN 77 untuk tetap masuk. Meski, tak satu pun siswa berada di sekolah. Kepsek menambahkan perintah agar seluruh guru membawa serta laptop. Semua serba tak biasa.
“Semua bawa laptop, kami mulai rapat dan merumuskan aplikasi apa yang akan kami gunakan untuk mendukung belajar dari rumah,” terang Sela, panggilan akrabnya ketika ditemui Medcom.id di Ruang Serbaguna SMAN 77 Jakarta.
Begitu banyak aplikasi yang mendadak harus dijelajahi. Mulai dari Zoom, Google Classroom, hingga SiPintar milik Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Rapat pertama itu hendak memutuskan aplikasi mana yang paling mudah diakrabi oleh siswa hingga guru untuk digunakan saat PJJ di masa darurat.
“Kami memilih mana yang dekat dengan guru, familiar dengan anak, dan bisa kami kembangkan terus. Akhirnya kami mengembangkan LMS (learning management system) yang sekolah punya. E-learning yang sudah sekolah miliki bernama Moodle,” ujar Sela.

Fajar Selawati, guru PPKn SMAN 77 Jakarta saat mengajar secara daring. Foto: Medcom.id/Ilham Pratama Putra
Persoalan memilih aplikasi selesai, muncul tantangan berikutnya, yakni mengatasi tak seragamnya daya adaptasi guru dalam menggunakan aplikasi pembelajaran. Maklum saja, tak semua guru datang dari kalangan milenial yang merupakan ‘penghuni asli’ era teknologi.
“Tapi saya salut, semua guru di sekolah ini berusaha keras untuk cepat beradaptasi. Semua belajar keras menggunakan teknologi pembelajaran yang mau tidak mau akan kami gunakan sepanjang PJJ,” terang Sela.
Saling menularkan kemahiran
Untungnya, SMAN 77 juga terbiasa menggunakan sistem tutor sebaya. Sistem ini digunakan untuk saling menularkan kemahiran dalam menggunakan berbagai alternatif media belajar daring. Kepala sekolah pun kemudian membagi guru ke dalam beberapa kelompok.Setiap guru diminta mengusulkan aplikasi belajar yang ia kuasai. Guru yang sudah mahir dengan aplikasinya tersebut diberikan kesempatan memberi materi dan melatih sesama guru. “Misal, gimana sih memasukkan bahan ajar, bagaimana cara bikin soal, cara absen seperti apa,” terangnya.
Awal pelaksanaan PJJ diakui Sela adalah yang terberat. Tak satu pun guru siap memasuki masa PJJ yang datang seiring dengan ditetapkannya PSBB di Ibu Kota tersebut.
Pembelajaran daring yang ideal pun urung terwujud. Guru kala itu masih sebatas mengunggah PPT (paparan menggunakan PowerPoint) atau memberi tugas-tugas harian kepada siswa.
“Karena memang tidak ada yang siap dan belum ada bahan ajar yang kami buat di YouTube. Semua belum terbiasa. Semua orang di sekolah dihadapkan pada kondisi yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya,” ucap Sela.

Fauzul Amni, siswa kelas XI IPS I SMAN 77 Jakarta, tengah mengikuti pembelajaran daring. Foto: Medcom.id/Ilham Pratama Putra
Persoalan tak selesai di situ, PJJ daring masih tertatih-tatih. Rumit, tak semudah dibayangkan. Pekan-pekan awal belajar mengunakan aplikasi pun tak berlangsung mulus. Banyak siswa telat login. Meski terbiasa bangun dan berangkat sekolah pagi, namun suasana belajar dari rumah memang menawarkan tantangan tersendiri.
“Banyak siswa bangun kesiangan, jadi kadang guru harus membangunkan. Mulai 05.30 WIB saya sudah ngomel di group WA (WhatsApp),” terang Sela.
Nyaman setelah tiga bulan
Di waktu yang sama, Sela dan para guru lainnya juga masih harus datang ke sekolah. Proses pelatihan memahirkan berbagai aplikasi belajar masih terus berlangsung. Sebagai guru milenial dan lumayan menguasai teknologi, Sela kedapatan tugas membantu guru-guru lain memperlancar cara memasukkan bahan ajar, membuat soal, dan sebagainya.“Memang sulit, kami lakukan bertahap. Tiga bulan pertama memang ujian terberat bagi guru, sekolah, juga anak-anak,” ujar lulusan Universitas Negeri Jakarta ini.
Kini saat memulai semester baru, tepatnya Juli 2020, sekolah, guru, siswa dan orang tua sudah lebih nyaman dengan PJJ. Sela dan guru-guru lain pun sudah mulai bisa berimprovisasi, tak lagi sekadar memberi tugas harian, namun juga bagaimana membuat PJJ utamanya yang digelar daring ini tak membuat siswa jenuh atau bahkan depresi.
"Karena kita tidak pernah tahu pasti kondisi anak. Kita harus mengontrol mereka, jangan sampai mereka stres. Saya pribadi sangat membuka diri. Bahkan di waktu libur saya suka kasih ide saja main game Among US sama mereka," kata dia.
Belum lagi memastikan bagaimana materi yang diajarkan benar-benar dapat tersampaikan dan diterima dengan baik oleh siswa. “Setiap menutup laptop perasaan saya itu campur aduk. Apakah anak-anak memahami pelajaran yang saya sampaikan atau tidak,” tuturnya.

Muhammad Farrel Ritonga, siswa kelas 11 IPA I SMAN 1 Tambun. Foto: Medcom.id/Ilham Pratama Putra
Setali tiga uang dengan Sela, guru lain di SMAN 1 Tambun Bekasi, Dian Rosalina Sihotang juga mengalami hari-hari yang berat di awal penerapan PJJ. “Hari pertama cukup chaos, membuat kami cukup panik, jungkir balik,” kata guru Biologi ini.
Namun kemudian, kata Dian, seluruh guru dan kepala sekolah berpikir bahwa proses pembelajaran tidak boleh kalah oleh pandemi. Sekolah pun mengumpulkan wali kelas, bergegas membuat pola narahubung untuk menjembatani komunikasi antara sekolah dengan siswa, bahkan orang tua.
Meminjamkan gawai
Diakui Dian, sebagian besar siswa merupakan siswa dari keluarga kelas menengah, sehingga siswa tersebut tidak banyak menemui kendala infrastruktur pembelajaran daring. Seperti tidak memiliki gawai, tidak memiliki pulsa kuota internet dan sebagainya, tidak terjadi di sebagian besar siswa.Namun, ada sekitar 25 persen siswa lainnya yang mengalami gangguan PJJ daring. “Sekitar 25 persen itu malah membutuhkan bantuan gawai, karena ada beberapa anak tidak pernah mengikuti Zoom.Ternyata dia mengalah, gawainya digunakan adiknya belajar daring,” terang Dian.
Kondisi itulah yang membuat sekolah membuat kebijakan untuk meminjamkan gawai kepada siswa yang benar-benar membutuhkan. “Sekolah akhirnya membeli 25 gawai semacam tablet yang bisa dipinjamkan dengan persyaratan tertentu. Misal, kondisi tidak mampu, gawai rusak, anak ini dalam kondisi yang perlu ditolong,” ujar Dian.
Siswa yang membutuhkan peminjaman gawai tinggal mengajukan surat peminjaman ke sekolah. Lalu siswa akan difoto bersama gawai pinjaman tersebut untuk didokumentasikan pihak sekolah. Kemudian gawai pun bisa langsung dibawa pulang.
Tidak hanya PJJ daring, Dian pun tak segan-segan turun ke lapangan melakukan PJJ luring ke rumah siswa saat diperlukan. “PJJ luring pernah, sempat seperti itu karena ada satu dua anak yang benar-benar pelajarannya mereka tidak paham,” terang lulusan Teknologi Pendidikan di Pascasarjana UNJ ini.

Siswa SDdi Toraja Utara, Sulawesi Selatan, tengah belajar daring. Foto: MI/Usman Iskandar
Untuk PJJ daring, SMAN 1 Tambun langsung membentuk sejumlah tim sejak hari pertama. Yakni, terdiri atas tim daring, tim manajerial, dan koordinator kantor. “Ditanya ada ide apa, punya aplikasi apa yang pernah dipakai. Ada Webex, Google Classroom, Quizizz, dan lainnya. Pernah pakai WhatsApp (WA), tapi akhirnya handphone hang. Selain itu dengan WA kelemahannya adalah kehadiran siswa tidak terdeteksi, begitu juga yang mana menyalin tugas teman tidak terdeteksi,” beber Dian.
Lalu Dian mencoba Webex, namun diurungkan karena mahal. Akhirnya menggunakan Google Classroom. “Kami tidak berani gelar pelatihan online. Karena dengan kecepatan daya ingat yang berbeda di antara para guru. Jadi, kami terus trial error. Itu luar biasa selama satu bulan pertama pontang-panting, sampai sempat muncul jengah,” terangnya.
Persoalan tidak berhenti pada pemilihan aplikasi, sosialisasi model PJJ daring ini juga tak terbilang keribetannya. “Ada yang paham, ada yang tidak. Belum lagi menanggapi komplain orang tua, sudah bayar SPP tapi kok belajar di rumah pakai Zoom. Sempat hopeless, mau menyerah,” tuturnya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, seluruh warga sekolah mulai menemukan ritme PJJ daring yang menyenangkan. Dian, misalnya, sudah menyiapkan pertanyaan untuk siswa untuk dibahas di pertemuan Zoom pekan depan.
Dengan metode tersebut, siswa memiliki waktu untuk belajar di rumah sebelum masuk ke kelas daring. “Jadi saat ketemu di kelas kami langsung nyambung, jadi efektif belajarnya, dan mereka bisa tidak terlalu lama terpapar radiasi komputer. Pelajaran pun kami batasi, tidak lebih dari tiga mata pelajaran dalam sehari. Sedangkan ujian, kami gunakan aplikasi Quipper, ” terang dia.
Merindukan tatap muka
Bahkan sejak Juli lalu, siswa hingga guru juga mulai dapat menikmati PJJ daring. Meski begitu, seluruh warga sekolah tetap merindukan dan menantikan pembelajaran tatap muka.“Sudah enggak sabar belajar tatap muka,” kata Muhammad Farrel Ritonga, siswa kelas 11 IPA I SMAN 1 Tambun.
Meski anak kedua dari tiga bersaudara ini cukup menikmati PJJ daring, namun baginya pembelajaran tatap muka adalah yang terbaik. Sebab, belajar dari rumah dengan mengandalkan jaringan internet sering kali menghadapi kendala.
“Kasian yang sinyal di rumahnya jelek, belum lagi susah konsen karena di rumah banyak gangguan. Vibes-nya beda kalau bangun tidur. Paling sedih sih uang jajan jadi dipotong,” seloroh Farrel.
Ia pun khawatir akan ketinggalan pelajaran, sebab tahun depan ia akan masuk ke kelas 12 dan bersiap untuk berkompetisi masuk perguruan tinggi negeri (PTN). “Khawatir ketinggalan pelajaran karena target belajar dan target masuk PTN juga tetap tinggi dan ingin dicapai,” tegas kelahiran 22 Januari 2004 ini.

Pendiri komunitas tunarungu atau komunitas kaleb Bitung, Donna Christha Renata, menyapa melalui aplikasi zoom meeting di Kota Bitung, Sulawesi Utara, Sabtu (7/11/2020). Foto: MI/Usman Iskandar
Hal senada juga disampakan Fauzul Amni, siswa kelas XI IPS I SMAN 77 Jakarta. Sebenarnya Zulam, sapaan akrabnya, mengaku sangat menikmati metode PJJ daring selama pandemi covid-19.
"Kalau belajar PJJ lebih enak sih, lebih nyantai. Kalau di sekolah harus bangun pagi, mandi terus ke sekolah. Kalau daring bangun pagi tinggal ke hadapan laptop, belajar," ujar Zulam.
Namun tetap saja, ia selalu merindukan dapat kembali belajar tatap muka di sekolah. Bertemu dengan teman-teman sekelasnya, juga dapat menanyakan langsung pelajaran yang kurang ia mengerti saat dijelaskan oleh guru.
Sebab saat belajar daring, Zulam kerap mengalami kesulitan saat harus belajar matematika dan bahasa Jepang. “Sebab, matematika itu banyak angka dan gambarnya, aplikasi di gawai dan laptop saya kesulitan membaca gambar,” ujat Zulam, yang merupakan siswa difabel netra ini.
Sudah tiga tahun ini Zulam tidak dapat melihat layaknya mata normal, sejak ditemukan adanya tumor di kepalanya. Namun, Zulam merupakan pembelajar Tangguh. Dalam tiga tahun saja ia sudah dapat menyesuaikan diri dengan kondisi baru di matanya.
Seluruh perangkat belajar, mulai dari laptop, jam tangan, hingga gawai yang telah diatur sedemikian rupa agar ramah tunanetra ini sudah dapat ia kuasai. Sehingga, Zulam sama sekali tidak menemukan kendala saat belajar, baik di sekolah maupun belajar dari rumah saat pandemi ini.
Bahkan, menurut Zulam, PJJ daring semakin memudahkan proses belajarnya. Sebab, pembelajaran banyak bertumpu pada suara lewat kelas daring. Lewat Zoom, Google Classroom, Moodle, maupun mendengar materi pembelajaran dari YouTube.
Tidak hanya itu, belajar dari rumah juga memberinya lebih banyak waktu luang untuk melatih kegemarannya bermain gitar. “Gitar tidak hanya hobi, tapi juga sarana terapi pengobatan yang disarankan dokter untuk Saya,” terang Zulam
Pertemuan sore itu di rumah Zulam pun ditutup dengan ‘konser mini’ gitar oleh Zulam. Permainan gitar Zulam begitu apik. Tak ada kunci gitar yang salah, tiap petikan jarinya pun tak meleset. ‘More Than Words’ dari Extreme dan ‘Jadilah Legenda’ besutan Superman Is Dead pun mengantarkan tim Medcom.id kembali pulang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News