Guru SMAN 1 Tambun Bekasi, Jawa Barat, Dian Rosalina Sihotang, saat memberikan pembelajaran daring. Foto: Medcom.id/Ilham Pratama Putra
Guru SMAN 1 Tambun Bekasi, Jawa Barat, Dian Rosalina Sihotang, saat memberikan pembelajaran daring. Foto: Medcom.id/Ilham Pratama Putra

Pontang-panting Merancang Pembelajaran Daring

Citra Larasati • 17 November 2020 19:38

Meminjamkan gawai

Diakui Dian, sebagian besar siswa merupakan siswa dari keluarga kelas menengah, sehingga siswa tersebut tidak banyak menemui kendala infrastruktur pembelajaran daring. Seperti tidak memiliki gawai, tidak memiliki pulsa kuota internet dan sebagainya, tidak terjadi di sebagian besar siswa.
 
Namun, ada sekitar 25 persen siswa lainnya yang mengalami gangguan PJJ daring. “Sekitar 25 persen itu malah membutuhkan bantuan gawai, karena ada beberapa anak tidak pernah mengikuti Zoom.Ternyata dia mengalah, gawainya digunakan adiknya belajar daring,” terang Dian.
 
Kondisi itulah yang membuat sekolah membuat kebijakan untuk meminjamkan gawai kepada siswa yang benar-benar membutuhkan. “Sekolah akhirnya membeli 25 gawai semacam tablet yang bisa dipinjamkan dengan persyaratan tertentu. Misal, kondisi tidak mampu, gawai rusak, anak ini dalam kondisi yang perlu ditolong,” ujar Dian.

Siswa yang membutuhkan peminjaman gawai tinggal mengajukan surat peminjaman ke sekolah. Lalu siswa akan difoto bersama gawai pinjaman tersebut untuk didokumentasikan pihak sekolah. Kemudian gawai pun bisa langsung dibawa pulang.
 
Tidak hanya PJJ daring, Dian pun tak segan-segan turun ke lapangan melakukan PJJ luring ke rumah siswa saat diperlukan. “PJJ luring pernah, sempat seperti itu karena ada satu dua anak yang benar-benar pelajarannya mereka tidak paham,” terang lulusan Teknologi Pendidikan di Pascasarjana UNJ ini.
Pontang-panting Merancang Pembelajaran Daring
Siswa SDdi Toraja Utara, Sulawesi Selatan, tengah belajar daring. Foto: MI/Usman Iskandar
 
Untuk PJJ daring, SMAN 1 Tambun langsung membentuk sejumlah tim sejak hari pertama. Yakni, terdiri atas tim daring, tim manajerial, dan koordinator kantor. “Ditanya ada ide apa, punya aplikasi apa yang pernah dipakai. Ada Webex, Google Classroom, Quizizz, dan lainnya. Pernah pakai WhatsApp (WA), tapi akhirnya handphone hang. Selain itu dengan WA kelemahannya adalah kehadiran siswa tidak terdeteksi, begitu juga yang mana menyalin tugas teman tidak terdeteksi,” beber Dian.
 
Lalu Dian mencoba Webex, namun diurungkan karena mahal. Akhirnya menggunakan Google Classroom. “Kami tidak berani gelar pelatihan online. Karena dengan kecepatan daya ingat yang berbeda di antara para guru. Jadi, kami terus trial error. Itu luar biasa selama satu bulan pertama pontang-panting, sampai sempat muncul jengah,” terangnya.
 
Persoalan tidak berhenti pada pemilihan aplikasi, sosialisasi model PJJ daring ini juga tak terbilang keribetannya. “Ada yang paham, ada yang tidak. Belum lagi menanggapi komplain orang tua, sudah bayar SPP tapi kok belajar di rumah pakai Zoom. Sempat hopeless, mau menyerah,” tuturnya.
 
Namun seiring dengan berjalannya waktu, seluruh warga sekolah mulai menemukan ritme PJJ daring yang menyenangkan. Dian, misalnya, sudah menyiapkan pertanyaan untuk siswa untuk dibahas di pertemuan Zoom pekan depan.
 
Dengan metode tersebut, siswa memiliki waktu untuk belajar di rumah sebelum masuk ke kelas daring. “Jadi saat ketemu di kelas kami langsung nyambung, jadi efektif belajarnya, dan mereka bisa tidak terlalu lama terpapar radiasi komputer. Pelajaran pun kami batasi, tidak lebih dari tiga mata pelajaran dalam sehari. Sedangkan ujian, kami gunakan aplikasi Quipper, ” terang dia.
 




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan