Pagi itu, Rabu, 22 Maret 2017, salah satu karyawan menyambut kedatangan kami, lantas mempersilakan menunggu di ruang tamu. Tak lama sang atasan pun keluar menemui. Dia adalah Imam Haryanto, satu dari sepuluh komisioner LMKN.
"Ini kantor pribadi saya, tapi kita jadikan kantor operasional. Sebetulnya ada ruangan di Ditjen HAKI, tapi ya begitu," ucap Imam yang menyiratkan kurang memadainya ruang LMKN di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. "Paling untuk pertemuan-pertemuan saja."
Puluhan miliar rupiah dari royalti karya musik dikelola di sini. Setidaknya, pada 2016 lalu, dari rumah karaoke saja LMKN berhasil mengumpulkan Rp35 miliar hak para pencipta lagu, termasuk hak terkait para musisi dan produser. Itu baru dari karaoke kelas keluarga saja, belum dari karaoke kelas eksekutif yang ada di Jakarta, yang bila dihimpun bisa Rp30 miliar sendiri. Tapi, para bos rumah bernyanyi kelas elit di Jakarta itu menolak untuk membayar. "Alasannya tarif royaltinya dinilai terlalu tinggi," kata Imam.

Somasi
Betul! Saat kami konfirmasi ke Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija), organisasi yang membawahi pengusaha-pengusaha karaoke eksekutif di ibu kota, dikatakan tarif royalti yang ditetapkan pada 2016 tidak masuk akal.
"Pertengahan 2016 kemarin kami tiba-tiba ditagih, Rp50 ribu per ruangan per hari, dikalikan setahun. Sementara kami tidak pernah diberi tahu sebelumnya," ucap Ketua Umum Asphija Erick Halauwet kepada medcom.id pada hari yang sama.
Gayung bersambut. Kala itu, penolakan pengusaha untuk membayar royalti lagu berbuah somasi dari LMKN. Dua kali LMKN memberikan somasi kepada para pengusaha karaoke eksekutif. Sesuai prosedur, bila masih belum ada respon, maka akan diambil tidakan hukum.
Belum sempat langkah hukum diambil, Asphija mengundang LMKN untuk bermusyawarah. Mereka justru melayangkan protes lantaran baru mengetahui adanya lembaga ini, termasuk tarif-tarif royalti lagu yang saat itu baru ditetapkan.
Saat itu, 15 Desember 2016 di Hotel Amos Cozy, Kebayoran Baru, Asphija mengundang LMKN, Dirjen HAKI dan Dinas Pariwisata Pemprov DKI Jakarta. "Waktu itu kami bertanya, apa dasar penerapan aturannya? Bagaimana asal usul penentuan tarif royalti itu? Kenapa kami tida diajak berunding," ujar Erick.
Munculnya pertanyaan-pertanyaan itu dibenarkan Imam. Menurutnya, setelah dijelaskan, Asphija bisa menerima keberadaan LMKN. Tapi Imam mengakui bahwa pengusaha karaoke ekskutif tidak terlibat saat sosialisasi dan perundingan tarif.
"Yang lain ada. Asosiasi pengusaha karaoke juga ada, bukan eksekutif. Saat itu kami kesulitan mengundang bos-bos karaoke eksekutif itu. Susah ditemui. Kami minta maaf," aku Imam.
Sama lagu beda tarif
Asphija merasa diperlakukan tidak adil. Pasalnya, tarif royalti yang dikenakan kepada karaoke eksekutif jauh di atas karaoke keluarga. Padahal, lagu yang digunakan sama, musisinya pun sama.
Inilah yang menjadi salah satu pemicu munculnya sikap keberatan pengusaha karaoke eksekutif terhadap tarif royalti yang ditagihkan. Mereka beranggapan, seharusnya tarif royaltinya sama, tidak dikelas-kelaskan. Pada sisi lain, bagi Asphija, berdasarkan izin dari Dinas Pariwisata, karaoke itu hanya satu, tanpa klasifikasi keluarga ataupun eksekutif.
Saat kami konfirmasi hal ini kepada Imam, dengan nada rendah dia menjelaskan, "di manapun, perhitungan royalti itu didasarkan kepada pendapatan bisnis si pengguna komersial." Lagipula, sambungnya, memang awalnya di pariwisata tidak ada jenis karaoke keluarga atau eksekutif, tapi justru di antara pengusaha sendiri yang membuat perbedaan itu.
Meski begitu Imam mengakui bahwa ketidakpahaman ini merupakan salah satu kesalahannya sebagai pelaksana regulasi. Masih banyak orang, khususnya para pengusaha pengguna karya musik yang tidak memahami seluk beluk royalti.
"Ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi kami. Makanya hingga saat ini saya dan komisioner lain masih keliling untuk sosialisasi," tuturnya.
Ihwal penghitungannya, LMKN mengacu pada harga rata-rata sewa ruangan karaoke. Untuk karaoke keluarga misalnya, tarifnya Rp12.000, sesuai bandrol satu ruangannya. "Hanya ruangannya saja ya. Kami tidak menyoal rate jam per jamnya," kata Imam.
Begitu pula karaoke tanpa kamar alias aula (hall), tarifnya menyesuaikan harga sewa ruangan, bukan harga sewa per jamnya, yakni Rp20.000.
Sementara untuk karaoke eksekutif, LMKN mengaku cukup kesulitan dalam menentukan tarif royaltinya. Pasalnya, karaoke eksekutif tidak memiliki harga sewa ruangan. Yang ditawarkan adalah sistem pembayaran paket. Artinya, pembayarannya per sekali masuk tanpa perhitungan jam per jam. Harganya paling murah mencapai Rp1,5 juta. Maklum, layanannya pun VIP.
Karena itulah LMKN mencoba menyesuaikan tarif royalti untuk karaoke eksekutif dengan tarif royalti karaoke serupa di Malaysia atau Singapura, kemudian sedikit diturunkan. "Lagi pula dari paket Rp1,5 juta paling kecil, kok nggak mau mengeluarkan Rp50 ribu saja untuk pencipta lagu dan musisi kita," tutur Imam.
Bahkan, Imam mengklaim bahwa pengusaha karaoke eksekutif di daerah tidak masalah dengan tarif tersebut. Sebagian sudah membayar tagihan tahun 2016. "Ya mungkin karena jumlah ruangannya lebih sedikit, tidak banyak seperti di Jakarta."
Tapi dia memaklumi bila pengusaha karaoke eksekutif di Jakarta keberatan. Boleh jadi, katanya, karena selama ini tidak pernah membayar royalti. “Giliran sekarang angkanya jauh beda. Mungkin ini bikin shock," kata Imam. "Padahal kan itu hanya satu persennya. Seperti karaoke keluarga kan paling berapa persennya saja. Kecil, tapi semangat berbaginya kan yang penting," lanjutnya.
Meski begitu Asphija tetap menyayangkan model penentuan tarif itu. Setidaknya, bagi Erick, LMKN seharusnya melakukan penelitian terlebih dahulu mengenai bisnis karaoke eksekutif.
"Memang harga karaoke eksekutif mahal dibanding yang lain, tapi kan turn over pengunjungnya tidak membeludak seperti karaoke keluarga, antreannya panjang," kata dia.
Dengan kata lain, sambung Erick, bila dihitung, pendapatan antara bisnis karaoke keluarga dengan eksekutif sebetulnya tidak jauh berbeda. Apalagi pengeluaran karaoke eksekutif bisa lebih tinggi. Jumlahnya pun lebih sedikit dibanding karaoke keluarga.
Selain itu, Erick juga menolak bila dikatakan pengusaha tidak pernah membayar royalti lagu. Dia mengatakan sejak 15 tahun lalu pun pengusaha karoke sudah memenuhi kewajiban itu. Mereka mengaku sudah membayarnya melalui KCI (Karya Cipta Indonesia).
“Sejak zamannya Bang Enteng Tanamal, terus Candra Darusman, Asphija tidak pernah absen. Rp10 sampai 15 juta per tahun. Tiba-tiba ada LMKN ini, tarifnya berkali-kali lipat. Jadi, kami bukan tidak pernah bayar," ujar Erick.
Alhasil musyawarah yang digelar berkali-kali tidak menghasilkan titik temu alias deadlock.

Tawar menawar
Asphija tidak bisa apa-apa soal tarif royalti ini. Negara sudah menetapkannya. Mau tidak mau mereka harus menerimanya, dengan catatan, LMKN harus mensosialisasikannya ke masyarakat. Maksudnya, bila pengusaha menaikan tarif karaoke, pengunjung bisa menerima harga barunya.
Meski begitu Asphija tetap menolak untuk membayar tagihan tahun 2016. Alasannya, saat ditetapkan, tahun sudah berjalan setengah kalender. Lagipula mereka sudah tutup buku bila dipaksa untuk tetap membayarnya saat ini. Selain itu, menurut Erick, LMKN belum memenuhi hasil kesepakatan soal sosialisasi ke publik ihwal tarif royalti baru itu.
Sementara LMKN tetap ngotot. Pengusaha karaoke eksekutif tetap harus membayar tagihan tahun 2016. Tapi LMKN mengaku terbuka untuk bernegosiasi soal tarif 2016.
"Saya sudah berapakali juga pertemuan dengan mereka, kalau aturan mereka sudah setuju. Hanya negosiasi di tarif 2016, mereka inginnya tidak penuh," ucap Imam.
Dalam negosiasi terakhir, LMKN bersedia memberikan potongan tarif. Asphija cukup membayar sekitar Rp3,6 juta per kamar. Bila totalnya ada 1.000 ruangan karaoke eksekutif di Jakarta, maka Asphija harus membayar sekitar Rp3,6 miliar. Diberi waktu hingga 31 Desember 2017 mendatang.
Tapi negosiasi tetap alot. Asphija berharap LMKN memberikan tarif Rp1,8 juta per kamarnya, atau Rp1,8 miliar untuk 1.000 ruangannya. Sementara LMKN berharap keputusannya di atas Rp2 miliar.
"Kita masih diskusikan, belum ada titik temu. Secara konsep tadi setuju, hanya angkanya yang terlampau tinggi. Masa tidak bisa ada keringanan, pajak saja ada tax amnesty," kata Erick.
Sementara Imam beranggapan, walaupun belum ada titik temu, namun sudah ada langkah maju. "Prinsipnya sudah bagus ya, ada keinginan membayar, meninggikan penghargaan untuk seniman. Hanya sedikit upaya menawarlah, tidak apa-apa," kata Imam.
Dirinya pun yakin bahwa LMKN dan Asphija dapat menyelesaikan persoalan ini. "Pada dasarnya kita, antara pencipta lagu, musisi juga pengguna komersial kan saling bermitra," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News