Registrasi SIM card berbasis biometrik face recognition mulai diterapkan 2026 untuk menekan kejahatan digital dan penipuan online di Indonesia.
Registrasi SIM card berbasis biometrik face recognition mulai diterapkan 2026 untuk menekan kejahatan digital dan penipuan online di Indonesia.

Registrasi SIM Card Biometrik Face Recognition Mulai 2026

Cahyandaru Kuncorojati • 17 Desember 2025 16:39
Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) resmi menetapkan penerapan registrasi kartu SIM berbasis biometrik pengenalan wajah (face recognition) yang akan dimulai secara sukarela pada 1 Januari 2026. 
 
Kebijakan ini disiapkan sebagai langkah strategis untuk menekan maraknya kejahatan digital yang memanfaatkan nomor seluler sebagai pintu masuk utama.
 
Implementasi awal akan berlangsung dalam skema hybrid hingga akhir Juni 2026, sebelum diterapkan penuh mulai 1 Juli 2026 untuk pelanggan baru. 

Pengumuman tersebut disampaikan dalam talkshow bertajuk “Ancaman Kejahatan Digital serta Urgensi Registrasi Pelanggan Seluler Berbasis Biometrik Face Recognition” yang digelar Komdigi bersama Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) di Jakarta, Rabu (17/12/2025). 
 

Ancaman Kejahatan Digital Kian Serius

Komdigi menilai kebijakan ini krusial untuk memutus mata rantai penipuan digital. Hingga September 2025, jumlah pelanggan seluler tervalidasi tercatat lebih dari 332 juta.
 
Namun, Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat terdapat 383.626 rekening terlapor sebagai rekening penipuan, dengan total kerugian masyarakat mencapai Rp4,8 triliun.
 
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menyebut hampir seluruh modus kejahatan siber menggunakan nomor seluler sebagai instrumen utama.
 
“Kerugian penipuan digital ini sudah mencapai lebih dari Rp7 triliun. Bahkan setiap bulan ada 30 juta lebih scam call dan setiap orang menerima minimal satu spam call seminggu sekali. Hal tersebut yang membuat Komdigi membuat kebijakan registrasi SIM Card menggunakan face recognition,” ujar Edwin. 
 
Ia menambahkan, kebijakan ini juga ditujukan untuk menata ulang ekosistem nomor seluler nasional. Saat ini tercatat lebih dari 310 juta nomor seluler beredar, sementara populasi dewasa Indonesia sekitar 220 juta jiwa.
 
“Jadi sinyal frekuensi seluler para operator bisa dimanfaatkan oleh masyarakat yang benar-benar menjadi pelanggan loyal dan bukan digunakan oleh para pelaku tindak kejahatan digital,” lanjutnya. 
 

ATSI: Operator Seluler Sudah Siap

ATSI memastikan seluruh operator seluler telah siap menjalankan kebijakan registrasi berbasis biometrik tersebut. Direktur Eksekutif ATSI, Marwan O. Baasir, menjelaskan bahwa mulai 1 Januari 2026 pelanggan baru dapat memilih registrasi menggunakan NIK seperti saat ini atau langsung menggunakan verifikasi wajah.
 
“Ini hanya berlaku untuk pelanggan baru, sedangkan pelanggan lama tidak perlu registrasi lagi,” tegas Marwan. 
 
Menurutnya, mulai 1 Juli 2026 registrasi pelanggan baru akan sepenuhnya menggunakan biometrik murni. ATSI juga menegaskan bahwa kebijakan ini tidak bersifat memaksa pada tahap awal dan memberikan waktu adaptasi bagi masyarakat maupun operator.
 
ATSI menyebut operator telah menerapkan validasi biometrik pada layanan penggantian SIM card di gerai, menjalani perjanjian kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, serta menerapkan standar keamanan data internasional.
 
Dalam kesempatan yang sama, Komdigi dan Dukcapil juga menandatangani perjanjian kerja sama pemanfaatan data kependudukan untuk layanan di lingkungan Ditjen Ekosistem Digital. Dirjen Dukcapil Kemendagri, Dr. Teguh Setyabudi, M.Pd, menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan tersebut.
 
“Kami terbuka untuk membicarakan solusinya jika ada masalah dalam pengawasan data kependudukan dalam ekosistem digital ini,” ujar Teguh. 
 
Marwan dengan tegas menyatakan ATSI juga menekankan komitmen perlindungan data pelanggan.
 
“Tiga tahun terakhir kebocoran data ini tidak berasal dari operator seluler karena kami selalu upgrade semua sistem hingga data centernya. Operator sudah jalankan AI sejak 2021,” klaim Marwan. 
 
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut mendukung kebijakan ini. Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Rudi Agus Purnomo Raharjo, mengungkapkan bahwa penipuan melalui panggilan telepon palsu menjadi jenis penipuan dengan kerugian terbesar.
 
“Selama setahun ini, jumlah kerugian penipuan fake call paling besar yakni Rp1,54 triliun,” kata Rudi. Ia menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menekan kejahatan digital.
 
“Kami (OJK) tidak bisa sendirian menghadapi penipuan ini dan kami tidak ingin hanya sebagai cuci piring,” ujarnya. 
 
Data tambahan dari mantan Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih, menunjukkan Indonesia mencatat 85.908 laporan phishing, tertinggi kedua di ASEAN. Sebanyak 66 persen orang dewasa di Indonesia dilaporkan pernah menerima pesan scam.
 
“Prasyaratan-prasyaratan terkait registrasi SIM Card menggunakan Face Recognition ini harus segera terselesaikan untuk melindungi masyarakat,” tegas Alamsyah. 
 
Dengan dukungan pemerintah, operator, regulator, dan lembaga terkait, registrasi SIM card berbasis biometrik face recognition kini memasuki fase implementasi. Keberhasilan kebijakan ini akan bergantung pada kesiapan teknologi, sosialisasi kepada masyarakat, serta pengawasan ketat terhadap perlindungan data pribadi.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MMI)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan