Massa Front Pembela Islam (FPI) dan Front Pancasila membakar kain bersimbol komunis di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Massa Front Pembela Islam (FPI) dan Front Pancasila membakar kain bersimbol komunis di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Polemik Kebangkitan Komunisme

Medcom Files komunisme
Coki Lubis • 16 Mei 2016 23:27
medcom.id, Jakarta: Sejak Reformasi 1998, 17 tahun lebih Indonesia berada di masa keterbukaan informasi, bebas bersuara, menyampaikan pemikiran kritis dan sebaliknya menerima wacana-wacana baru. Termasuk wacana 'kiri', yang sempat tabu di masa Orde Baru, di era Reformasi bebas muncul di permukaan.
 
Saat ini, memasuki usia 18 tahun Reformasi, isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) mendadak muncul. Sejumlah kelompok atau organisasi masyarakat ramai "menyisir" simbol-simbol PKI, yang dianggap pemicu berkembangnya ideologi komunis. Pemutaran film dan diskusi yang dianggap berbau kiri dipaksa bubar, dituding gerakan baru dari PKI.
 
Disinyalir, fenomena "Awas PKI" ini muncul seiring digelarnya Simposium 65 beberapa waktu lalu, sebuah forum inisiatif yang mendorong dibukanya fakta genosida 1965 dalam konteks pelanggaran HAM. Forum ini semakin kontroversi ketika wacana rekonsiliasi kembali dimunculkan. Kelompok masyarakat yang kontra rekonsiliasi mengkhawatirkan Simposium 65 menjadi angin segar kebangkitan partai berhaluan Marxis-Leninis itu.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Ternyata, kecemasan masyarakat akan munculnya PKI itu justru menjadi kekhawatiran baru bagi pemerintah. TNI dan Polri, atas instruksi Presiden Joko Widodo, giat melakukan penertiban simbol-simbol komunis. Masyarakat yang menggunakan atribut yang diduga terkait paham komunis, ditangkap dan dimintai keterangan. Buku-buku 'kiri', yang pasca reformasi banyak beredar, kini kembali disita. Di Mojokerto, Jawa Timur, dalam sebuah pementasan musik, grup band yang menyanyikan lagu "Genjer-genjer" ditahan. Sementara di Jakarta, kaus bergambar grup band metal asal Jerman, yang didapati ada simbol Palu dan Arit, juga disita.
 
"Kalau polisi tidak menyikapi, dikhawatirkan masyarakat main hakim sendiri. Karena itu, polisi dengan instrumen hukum menindak supaya tidak kebablasan dan tidak dimanfaatkan pihak tertentu," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di PTIK, Jakarta Selatan, Kamis (12/5/2016).
 
Berlebihan
 
Di tengah penertiban "palu-arit" ini, Istana memberikan peringatan kepada Kapolri dan Panglima TNI agar penyikapannya tidak berlebihan. Juru Bicara Presiden Johan Budi SP meminta TNI dan Polri tidak menyalahartikan instruksi Presiden Joko Widodo dalam mengusut penyebaran paham komunis di Indonesia.
 
Menurut Johan, Presiden sudah menelepon Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, berpesan agar penertiban dilakukan dengan memperhatikan hak asasi dan kebebasan berpendapat.
 
"Presiden langsung menelepon, memerintahkan Kapolri ke Panglima TNI untuk melihat tadi, tetap menghormati hak asasi kebebasan berpendapat. Saya kira Panglima TNI dan Kapolri bisa menerjemahkan itu dengan baik," tutur mantan Plt pimpinan KPK ini di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/5/2016).
 
Senada, Wakil Presiden Jusuf Kala mengatakan komunisme merupakan sebuah paham yang terbukti gagal. Artinya, aparat tak usah reaktif.
 
"Komunisme sudah tidak ada lagi, ada partainya (di beberapa negara) tapi mereka sudah demokratis dalam tingkat tertentu," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (12/5/2016).
 
Orang nomor dua ini menegaskan bahwa dirinya tak khawatir dengan fenomena "Awas PKI". Kalla yakin, paham ini tak lagi ada di Indonesia.
 
Masyarakat juga diharapkan tidak memberikan reaksi berlebihan atas munculnya fenomena ini. Selama induk hukumnya jelas, yakni TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang pembubaran PKI (sebagai organisasi terlarang) dan larangan penyebaran paham Komunis/Marxisme-Leninisme, biarkan aparat yang menindaknya.
 
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengatakan, bila ada masyarakat yang masih menganggap komunisme adalah ancaman, itu adalah hak. Tapi, tambahnya, jangan terlalu reaktif dan melakukan tindakan sendiri yang justru melanggar hukum.
 
"Kita juga harus hormati yang menganggap ini ancaman, ini kan demokrasi. Ada tipe orang yang paranoid, melihat cicak seperti buaya, tidak apa-apa, jangan dimarahin. Tapi yang terpenting lakukan pendekatan hukum, tidak perlu melakukan tindakan2 anarkis," ucap Hasanuddin kepada medcom.id, Jumat (13/5/2016).
 
Soal mengindahkan hukum, Hasanuddin juga mengingatkan kepada aparat agar tetap bertindak sesuai ketentuan hukum. "Dalam hal ini, soal penegakkan hukum, adalah Polri dan Kejaksaan, bukan TNI," katanya.
 
Bukan isu besar
 
Bila Jusuf Kalla menganggap munculnya lambang palu arit di beberapa daerah merupakan upaya untuk mencari perhatian, TB Hasanudin menegaskan upaya itu tampaknya tidak berhasil.
 
Hasanuddin membuktikan bahwa fenomena itu tidak menghinggapi seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, fenomena ini boleh jadi hanya heboh dikalangan perkotaan atau masyarakat yang memiliki akses informasi yang mumpuni.
 
"Di Dapil saya (Tasikmalaya, Jawa Barat), contohnya, tidak ada tuh masyarakat yang bicara soal itu (PKI). Justru yang ramai jadi pertanyaan adalah persoalan cocok tanam, menghadapi cuaca, dll. Lalu persoalan harga naik, seperti daging dan ayam, bagaimana nanti di Hari Raya," ujarnya.
 
Jadi, ia melanjutkan, bila memang ada indikasi partai terlarang muncul kembali, serahkan pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Harapannya, bangsa Indonesia tetap fokus pada tujuannya.
 
"Ancaman yang paling nyata untuk Indonesia saat ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Yang perlu segera dibereskan hari ini adalah korupsi, narkoba. Bangsa ini harus tetap fokus pada permasalahan itu. Bila ada yang menganggap ini ancaman besar, ya itu tidak masalah, serahkan saja pada hukum yang berlaku," kata Hasanuddin.
 
Tidak paham
 
Meski fenomena "awas PKI" kembali muncul dan langkah penegakan hukumnya sudah diambil, tentu langkah preventif juga perlu dilakukan.
 
Dalam sejumlah kasus penertiban simbol-simbol komunis, rata-rata yang terjaring adalah usia remaja. Dalam keterangannya, banyak yang mengaku tidak bermaksud menyebarkan paham komunis. Bahkan, ada pula yang sama sekali tidak mengetahui apa itu komunis.
 
Boleh jadi remaja yang dimintai keterangan baru mengetahui TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 saat ia ditahan karena memakai logo palu-arit. Yang mereka ketahui hanya "gagah-gagahan", pop culture, tampil menggunakan simbol-simbol paham "kiri" yang memang sempat tren di kalangan muda.
 
Contohnya, sosok Ernesto 'Che' Guevara, revolusioner Amerika Latin itu wajahnya ada dimana-mana, sempat jadi simbol grup band di Amerika Serikat, dikomersialisasikan laiknya wajah artis Hollywood. Namun, belum tentu remaja Indonesia yang menggunakannya memahami perjuangan Che yang berideologi Marxis.
 
Dari fenomena ini, mungkin sudah saatnya larangan itu disosialisasikan kembali beserta alasan-alasannya. Tentu di era pos modernisme saat ini, tindakan represif dianggap usang dan mundur ke masa lalu. Sementara, tindakan persuasif lebih mendapat tempat di masyarakat.
 
Tantangannya, TAP MPRS yang melarang penyebaran dan mengembangkan paham komunis saat ini berhadapan dengan kemudahan mengakses informasi. Artinya, penyebaran sudah pasti terjadi, maka, yang paling bisa dilakukan adalah sosialisasikan larangan dan batasan-batasannya.
 
"Anak-anak muda mungkin tidak tahu kalau komunis sebagai ajaran yang dilarang. Soal ini keluarga harus berperan. Yang paling penting, tugas pemerintah memberitahu," tandas Hasanuddin.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan