Tapi, apa benar komunisme membenci agama? Mari kita telusuri sejarah dan pandangan para pemikir komunisme terhadap agama.
Pandangan Karl Marx tentang Agama
Karl Marx sering dihubungkan dengan pernyataan kontroversialnya, "Agama adalah opium rakyat."Pernyataan ini berasal dari Critique of Hegel's Philosophy of Right (1844), di mana Marx menggambarkan agama sebagai "keluhan makhluk yang tertindas, hati dari dunia tanpa hati, dan jiwa dari kondisi tanpa jiwa."
Menurut Marx, agama adalah pelipur lara dalam dunia yang penuh penindasan, tetapi sekaligus mencerminkan keterasingan manusia dalam masyarakat kapitalis.
Marx tidak sekadar mengkritik agama, tetapi melihatnya sebagai produk dari ketidakadilan sosial.
Dalam pandangan Marx, agama adalah manifestasi dari realitas yang terdistorsi. Ketika ketidakadilan dan alienasi dihilangkan melalui revolusi sosial, Marx percaya bahwa kebutuhan akan agama juga akan menghilang.
Lenin dan Pandangan Anti-agama

Gambar: Lukisan Lenin deklarasi kemenangan revolusi, 1917. (D. Nalbandyan, 1950?)
Vladimir Lenin, tokoh penting dalam sejarah komunisme dan pendiri negara Soviet, mengembangkan pandangan Karl Marx tentang agama dengan pendekatan yang lebih praktis dan strategis.
Dalam esainya yang berjudul Socialism and Religion (1905), Lenin menyebut agama sebagai "salah satu bentuk penindasan spiritual."
Ia menegaskan bahwa agama adalah produk dari penderitaan dan eksploitasi kelas pekerja, sebuah "kabut" yang menghalangi rakyat untuk melihat kenyataan sosial mereka yang sebenarnya.
Menurut Lenin, agama tidak hanya menenangkan penderitaan tetapi juga memperkuat struktur kapitalisme dengan mengajarkan kepasrahan dan penghargaan terhadap penderitaan sebagai jalan menuju surga.
"Agama adalah semacam candu spiritual," tulisnya, yang digunakan oleh kelas penguasa untuk menjaga status quo.
Lenin menekankan pentingnya pemisahan gereja dan negara sebagai langkah mendasar dalam revolusi sosialis. Ia menuntut agar semua subsidi negara untuk lembaga-lembaga keagamaan dihentikan, dan bahwa agama harus menjadi urusan pribadi individu.
"Kebebasan beragama adalah prinsip mutlak," ujar Lenin, tetapi ia juga menekankan bahwa Partai Sosialis tidak boleh menganggap agama sebagai urusan pribadi dalam konteks perjuangan ideologis.
Lenin mengadvokasi penggunaan pendidikan dan propaganda untuk menghapus "kabut agama." Dalam pandangannya, perjuangan melawan agama harus dilakukan melalui penyebaran pengetahuan ilmiah dan materialisme.
Ia menolak pandangan bahwa agama dapat dihilangkan hanya melalui larangan atau kekerasan, tetapi ia menegaskan bahwa akar sosial dan ekonomi dari agama harus dihancurkan terlebih dahulu.
Berbeda dengan Marx yang lebih filosofis, Lenin mengambil langkah praktis untuk menyingkirkan pengaruh agama dalam kehidupan masyarakat.
Dengan pendekatan ini, Lenin memberikan dasar ideologis dan praktis bagi kebijakan ateisme negara yang kemudian diterapkan di Uni Soviet setelah Revolusi Bolshevik.
Kebijakan ini mencakup penghapusan subsidi negara untuk gereja, penyitaan properti gereja, dan penyebaran propaganda ateisme melalui organisasi seperti Liga Godless Militan.
Eropa Timur di Bawah Komunisme
Di Eropa Timur, kebijakan anti-agama diterapkan secara sistematis oleh rezim-rezim komunis, terutama oleh Partai Bolshevik di Uni Soviet.Pada tahun 1920, Kongres Kedelapan Partai Komunis Rusia secara resmi menetapkan kebijakan anti-agama, menegaskan bahwa komunisme tidak cukup hanya dengan pemisahan gereja dan negara, tetapi harus secara aktif menghancurkan pengaruh agama di masyarakat.
Aleksandr Solzhenitsyn, seorang penulis dan pembangkang terkenal dari Uni Soviet, menggambarkan kebijakan ini sebagai bagian inti dari ideologi komunis.
"Dalam sistem filosofis Marx dan Lenin, kebencian terhadap Tuhan adalah kekuatan pendorong utama," tulis Solzhenitsyn. Ia beragumen bahwa ateisme militan bukan hanya efek sampingan, tetapi inti dari kebijakan komunisme.

Foto: Katederal Christ the Savior dihancurkan atas perintah Bolsheivik, 1931. (Domain Publik)
Selama Revolusi Bolshevik, gereja-gereja di Rusia disita, properti mereka dirampas, dan banyak pemimpin agama dipenjara atau dieksekusi. Misalnya, antara 1920 dan 1930, lebih dari 28 uskup dan 1.200 imam Ortodoks dibunuh di Uni Soviet.
Lenin menggambarkan agama sebagai "salah satu bentuk penindasan spiritual" yang harus dihilangkan demi membebaskan rakyat dari keterbelakangan.
Tidak hanya gereja Ortodoks yang menjadi sasaran, tetapi juga komunitas agama lain seperti Muslim dan Yahudi. Pada tahun 1930, lebih dari 10.000 masjid di Uni Soviet telah ditutup, dan upaya serupa dilakukan terhadap sinagog-sinagog Yahudi.
Kebijakan ini dilanjutkan dengan pembentukan organisasi seperti Liga Godless Militan pada tahun 1925, yang bertujuan untuk mempromosikan ateisme dan menghapuskan semua bentuk kepercayaan religius melalui propaganda, pendidikan, dan terkadang kekerasan.
Salah satu langkah signifikan adalah penerapan "Rencana Lima Tahun untuk Ateisme" pada 1932, yang bertujuan untuk menutup semua rumah ibadah di Uni Soviet pada akhir 1937.
Kebijakan ini berujung pada penangkapan lebih dari 140.000 tokoh agama, dengan lebih dari 85.000 di antaranya dieksekusi.

Foto: Masjid Kubelie di Albania sebelum dihancurkan. (Domain Publik)
Di Albania, Enver Hoxha mendeklarasikan negara tersebut sebagai negara ateis pertama di dunia pada 1967. Gereja dan masjid dihancurkan, sementara ulama dan pendeta dipenjarakan.
Di Bulgaria, rezim komunis memaksa Muslim untuk meninggalkan identitas mereka, termasuk melarang penggunaan nama-nama Muslim.
Kasus Berbeda: Pandangan PKI terhadap Agama

Foto: DN Aidit dalam Kongres Nasional V Partai Komunis Indonesia. (Domain Publik)
Partai Komunis Indonesia (PKI) berbeda dengan Soviet, mengambil pandangan yang lebih pragmatis, menyadari bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamais.
Dalam wawancaranya dengan majalah Pembina pada tahun 1964, DN Aidit menegaskan bahwa PKI menghormati Pancasila, termasuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia menekankan bahwa agama adalah urusan pribadi, dan PKI tidak melarang anggotanya untuk memeluk agama.
Namun, dalam pandangan Aidit, Marxisme adalah alat untuk memahami akar sosial dari agama. Ia menyatakan bahwa "agama yang progresif dapat menjadi kekuatan revolusioner melawan kolonialisme dan feodalisme."
Oleh karena itu, PKI berusaha berkolaborasi dengan partai-partai berbasis agama yang memiliki tujuan bersama untuk melawan imperialisme dan membentuk masyarakat tanpa kelas.
Aidit juga mengkritik keras penggunaan agama sebagai alat penindasan. Dalam pidatonya yang terkenal, ia berkata:
"Jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, maka agama itu revolusioner. Tetapi jika dipakai untuk memperkuat penindasan, maka hanya orang gila yang akan membela agama seperti itu."
Selain itu, Aidit menulis bahwa agama dalam masyarakat kelas sering kali berfungsi sebagai alat legitimasi bagi penguasa yang menindas.
Dalam buku Tentang Marxisme (1962), ia menjelaskan bahwa untuk membangun masyarakat yang adil, agama harus dipisahkan dari negara dan pendidikan.
Aidit juga menyoroti bahwa PKI tidak anti-agama, tetapi anti terhadap manipulasi agama oleh elit untuk kepentingan kapitalis dan feodal.
Dalam praktiknya, PKI mendukung kader-kadernya yang berlatar belakang agama untuk tetap mempraktikkan keyakinan mereka, asalkan sejalan dengan nilai-nilai perjuangan kelas.
Pendekatan ini menjadi landasan penting bagi PKI untuk merangkul masyarakat luas, termasuk kelompok-kelompok religius, selama mereka memiliki tujuan yang sama dalam melawan imperialisme dan feodalisme.
Pada akhirnya, perlakuan komunis terhadap agama tergantung pada masing-masing partai dan seberapa besar kekuasaan mereka di suatu negara.
Baca Juga:
Mengenal Juche, Ideologi Korea Utara yang Menjaga Otoritas Dinasti Kim
Cek Berita dan Artikel yang lain di