Aksi unjuk rasa menolak program Dokter Layanan Primer (DLP) dilakukan Sejumlah dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumut pada 24 Oktober 2016. (ANTARA/Irsan Mulyadi)
Aksi unjuk rasa menolak program Dokter Layanan Primer (DLP) dilakukan Sejumlah dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Sumut pada 24 Oktober 2016. (ANTARA/Irsan Mulyadi)

Kapan Kuliah Dokter Bisa Murah?

Medcom Files dokter dan kesehatan
Surya Perkasa, Mohammad Adam • 30 Januari 2017 21:59
medcom.id, Jakarta: Sudah 71 tahun usia negara Republik Indonesia. Tetapi, masih banyak warganya yang belum bisa mendapatkan akses layanan kesehatan. Sebuah ironi. Tapi, ini fakta.
 
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkapkan data jumlah dokter di Tanah Air sampai dengan 31 Desember 2015 hanya 109.597 orang. Dengan jumlah penduduk melebihi 250 juta jiwa, maka rasionya belum ideal untuk memenuhi kecukupan pelayanan kesehatan di negara ini.
 
Rasionya masih 40 dokter per 100.000 penduduk, atau satu berbanding 2500 penduduk. Jika dibandingkan dengan Malaysia, di mana rasio dokter di negeri Jiran itu satu berbanding 500 jiwa, maka jelas terlihat ketertinggalan Indonesia dalam hal perbaikan kualitas layanan dan peningkatan kepuasan pasien.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Kualitas pelayanan ini pula yang menyebabkan banyak pasien berbondong-bondong ke luar negeri misalnya ke rumah sakit di Singapura, Malaysia, dan Tiongkok. Wajar, pasien-pasien di sana bisa terlayani dengan baik. Baca: Nyaman Berobat di Negeri Jiran
 
Wakil Ketua Umum PB IDI, Daeng Mohammad Faqih, pernah menuturkan kepada medcom.id bahwa persoalan sekaligus tantangan besar saat ini adalah tingkat kepercayaan masyarakat tengah menurun terhadap tenaga medis. Namun, ini bukan berarti kualitas dokter menurun. Masalahnya, bukan pada kompetensi dan ketrampilan dokter. Tetapi lebih pada keterbatasan fasilitas, termasuk ketersediaan teknologi.
 
"Tidak perlu jauh-jauh, potret saja Puskesmas kita, kenapa pelayanannya lemah. Jangan mengatakan karena kualitas dokter, itu kesimpulan tanpa melakukan kajian. Tidak menilai fasilitas, variabel tenaga, variabel sarana, variabel ketersediaan obat, alat kesehatan yang serba terbatas, termasuk reward-nya," kata Faqih.
 
Baca: Dokter, Pengabdian, dan Kepercayaan
 
Kekurangan dokter masih sulit terpenuhi karena tidak banyak perguruan tinggi yang membuka fakultas kedokteran. Faktor inilah yang menurut IDI menjadi kendala mengatasi kesenjangan pelayanan kesehatan, persebaran dokter di Indonesia yang tidak merata, apalagi dokter spesialis.
 
Ketiadaan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai dan sumberdaya kesehatan yang terbatas dan berkualitas rendah menyebabkan dalam setahun hampir 1 juta orang Indonesia berobat ke luar negeri dengan uang yang dibelanjakan ke luar negeri untuk kepentingan berobat mencapai angka Rp20 triliun.
 
Pemborosan
 
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis menyatakan solusi atas masalah penyebaran dokter yang tidak merata di Indonesia adalah regulasi. Maksudnya, pemerintah mesti membuat distribusi tenaga medis tidak timpang antara wilayah satu dengan lainnya.
 
Dengan kata lain, perlu regulasi untuk meningkatkan mutu dokter di Indonesia sekaligus untuk menjawab kebutuhan dokter di era jaminan kesehatan nasional dan persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Bahkan, diperlukan perubahan skema pendidikan dokter. Dalam hal ini, IDI mendesak pemerintah merevisi UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter (UU Dikdok).
 
IDI menilai program studi baru bernama Dokter Layanan Primer (DLP) yang dimunculkan melalui UU Dikdok itu merupakan suatu kejanggalan. Alasannya, DLP merupakan suatu program studi yang muncul karena asumsi keliru. Baca: Bukan Masalah Pendidikan Dokter
 
"Ini bukan soal kompetensi atau pendidikan lemah,” kata Marsis kepada medcom.id, Jumat (28/1/2017).
 
Tetapi, persoalan sarana prasarana. Hasil kajian yang dimiliki IDI, sekitar 50% puskesmas yang ada tidak memiliki sarana-prasarana yang lengkap. Entah tragis atau miris, dari 9.815 puskesmas di Indonesia masih terdapat 938 puskesmas yang tidak memiliki dokter umum. Padahal puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat jelata.
 
Terlepas soal kekurangan dokter umum, sebanyak 4.121 puskesmas juga tidak memiliki dokter gigi, 255 puskesmas tidak memiliki perawat, dan 364 puskesmas tidak memiliki bidan.
 
Selain itu, kehadiran UU Dikdok dengan program DLP di dalamnya dianggap menimbulkan tumpang tindih regulasi mengenai jenis profesi kedokteran, kewenangan profesi, organisasi profesi, serta standar pendidikan kedokteran.
 
Program DLP malah memunculkan tiga kelompok dokter yang bekerja di pelayanan kesehatan. Yaitu dokter umum, dokter keluarga, dan dokter layanan primer. Nah, IDI menilai ini berpotensi terjadi "konflik horizontal" yang dapat mengganggu terwujudnya peningkatan mutu pelayanan kesehatan bagi rakyat Indonesia.
 
IDI berharap, Kementerian Kesehatan mengkaji ulang program DLP yang dinilai sebagai pemborosan, baik sebagai individu dokter yang menempuh pendidikan, maupun negara, di mana waktu pendidikan menjadi lebih lama.
 
Biaya kuliah yang terlampau tinggi membuat fakultas kedokteran hanya dapat diisi oleh orang-orang dari strata sosial tertentu, sudah menjadi persoalan yang menyumbang pada karut marutnya masalah kesehatan di Indonesia.
 
Maka, jika tidak boleh disebut komersialisasi atau membuat pendidikan dokter semakin mahal, menghadirkan DLP sebagai program studi baru dinilai sebagai kebijakan yang memboroskan anggaran negara. Sebab, dalam perkiraan IDI pemborosan APBN untuk program DLP ini diperhitungkan bisa mencapai Rp500 miliar per tahun.
 
Alih-alih, anggaran sebesar itu dihabiskan hanya untuk mengubah sistem pendidikan dokter dalam bentuk kerja sama dengan sejumlah kampus, mestinya dipergunakan untuk pengembangan fasilitas kesehatan.
 
Ibaratnya, menurut Marsis, ketika ada perang tentara mestinya dikirim ke medan perang. Bukannya disuruh sekolah lagi.
 
Kapan Kuliah Dokter Bisa Murah?
 
Seiring MEA, sejumlah tantangan diprediksi akan dihadapi oleh kalangan dunia kesehatan di Indonesia. Era pasar bebas ASEAN dipahami tidak hanya menyentuh aspek-aspek komersial dan perdagangan, namun lebih dari itu perkembangan regional ini juga akan berdampak signifikan terhadap sektor-sektor kehidupan lainnya, khususnya sektor kesehatan.
 
Ditengarai, berbagai perkembangan baru di bidang kesehatan yang sebelumnya belum pernah ada akan bermunculan. Seperti bertambahnya jumlah fasilitas kesehatan yang dikelola oleh pihak asing lewat keberadaan rumah sakit internasional dan tenaga kesehatan asing yang juga memiliki kesempatan untuk dapat menjalankan profesinya di Indonesia. Oleh karenanya kesiapan dari tenaga kesehatan akan benar-benar diuji untuk menghadapi persaingan di era pasar bebas ASEAN.
 
Menghadapi persaingan bebas regional ASEAN itu, seorang dokter harus siap bersaing pada standar profesi dengan dokter dari ASEAN yang mau praktek di Indonesia. Maka, dalam pengabdian pada profesinya dokter harus mengembangkan kompetensi dan profesionalitasnya. Sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat terus berkembang ke arah yang lebih baik. Termasuk, siap bila ditempatkan diberbagai wilayah di Indonesia.
 
Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dibandingkan negara ASEAN lainnnya, menjadikan Indonesia sebagai lahan potensial bagi negara tetangga dalam era perdagangan bebas. Di bidang kesehatan, muncul kekawatiran akan serbuan dokter asing.
 
IDI pun menilai kurikulum pendidikan dokter sudah mengacu pada program standar internasional yang ditetapkan World Federation of Medical Education (WFME). Artinya, lulusan dari pendidikan kedokteran Indonesia telah memiliki kompetensi untuk dapat menyelesaikan 144 penyakit yang termasuk dalam tingkat dokter umum yang menangani secara mandiri dan tuntus. Kompetensi tersebut sangat memadai untuk memberikan layanan kesehatan berkualitas terhadap pasien di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Jadi, kenapa mesti memunculkan DLP?
 
Maka, pemerintah diminta mempertimbangkan kembali program DLP. "Itu sangat tidak berdasar," kata Marsis.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan