medcom.id, Jakarta: Kejaksaan Agung telah menyiapkan tim peneliti guna mengkaji berkas dari Badan Reserse Kriminal Polisi RI (Bareskrim Polri) mengenai kasus dugaan korupsi di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Amir Yanto, Senin (14/9/2015), menjelaskan, Kejaksaan Agung sudah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) nomor: R/87/VIII/2015/Dit Tipideksus tanggal 28 Agustus 2015 dari Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. SPDP itu diterima Bidang Tindak Pidana Khusus pada Senin (7/9/2015).
"Bidang Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah mengusulkan beberapa Jaksa Peneliti apabila berkas perkara nantinya diserahkan kepada Kejaksaan Agung RI," ujar Amir di Kejaksaan Agung, Jakarta.
Berkas yang dimaksud adalah hasil kerja tim penyidik Bareskrim Polri dalam mengusut perkara tindak pidana pencucian uang yang dicurigai terjadi pada proyek pengadaan sepuluh unit mobile crane (alat bongkar muat) di Pelindo II untuk tahun anggaran 2012.
Dalam upaya mengungkap kasus ini, penyidik Bareskrim Polri dibantu petugas dari Polda Metro Jaya dan Polres Tanjung Priok telah menggeledah kantor Pelindo II di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (28/8/2015). Penggeledahan juga menyasar ruangan Direktur Utama Pelindo II, Richard Joost Lino.
Siapa tersangka dalam kasus ini masih simpang siur informasinya. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan pernah meralat pernyataan soal sudah ada tersangka kasus ini. Ia bahkan menegaskan kepolisian belum menetapkan tersangka.
"Jadi, belum ada ya (tersangka)," kata Anton di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (11/9/2015).
Menurut Anton, sebanyak apa pun alat bukti jika tak berkaitan satu sama lain, tetap tak bisa menjadi dasar penetapan tersangka terhadap seseorang. Penetapan tersangka juga harus dilakukan setelah gelar perkara. Sudah atau belumnya gelar perkara dilaksanakan hingga saat ini tak terungkap.
Tahapan dalam penetapan tersangka pun, imbuh Anton, tak bisa dilakukan sembarangan. Butuh kehati-hatian karena status tersangka menyangkut reputasi seseorang.
Namun, dalam kesempatan terpisah, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Kombes Golkar Pangraso memberikan pernyataan yang tak senada.
Golkar menegaskan, penyidik memang sudah menetapkan tersangka dalam kasus ini. "Sudah, kita sudah tetapkan tersangka, tapi tidak diumumkan," katanya.
Hanya itu yang bisa ia sampaikan. Golkar enggan memberikan keterangan lebih banyak. Bahkan, penyidik belum tahu kapan akan memeriksa saksi kasus dugaan korupsi mobile crane ini. "Nantilah diagendakan," kata dia.
Sebelumnya Komjen Budi Waseso (Buwas) saat menjabat sebagai Kepala Bareskrim Polri pernah membeberkan soal adanya tersangka terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mobile crane di Pelindo II. Namun dia enggan membeberkan siapa tersangka tersebut.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat diisukan meminta Budi Waseso agar kasus tersebut tak diusut. Pemerintah pun dituding intervensi dalam upaya pengungkapan kasus ini. Isu pencopotan Budi Waseso muncul beberapa hari setelah Bareskrim menggeledah PT Pelindo II. Menteri BUMN Rini Soemarmo sempat menelepon Kapolri Jenderal Badrodin Haiti terkait penggeledahan ini.
Sementara ini, penyidik Bareskrim Mabes Polri masih mengembangkan kasus tersebut. Pemanggilan terhadap Lino untuk kepentingan pemeriksaan masih menunggu pengembangan penyidik.
Drama penggeledahan
Akhir Agustus kemarin, pelabuhan Tanjung Priok kembali disasar. Belasan penyidik Bareskrim Polri menggeledah gedung kantor PT Pelindo II di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (28/8/2015). Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipid Eksus) Bareskrim Polri Brigjen Victor Edison Simanjuntak menyatakan penggeledahan tersebut terkait penyidikan kasus yang sedang ditanganinya di perusahaan pelat merah itu.
"Ada pengadaan mobile crane, yang diduga tak sesuai aturan," ujar Victor saat dikonfirmasi.
RJ Lino sempat menolak Bareskrim Polri menggeledah ruang kerjanya. Polisi sempat ditolak kehadirannya untuk mengambil dan memeriksa sejumlah dokumen penting terkait indikasi tindak pidana pencucian uang dalam pengadaan sepuluh unit mobile crane di perusahaan pelat merah itu.
RJ Lino bahkan mengadu kepada Sofyan Djalil dalam perbincangan via telepon yang dapat didengar oleh para wartawan saat itu. Ia memprotes dan memperatanyakan apa maksud polisi melakukan penggeledahan di kantornya tersebut.
Namun, Victor dan tim Bareskrim yang melakukan penggeledahan tersebut tak mempedulikan penolakan Lino. "Saya menggeledah sendiri di ruangan RJ Lino, saya menemukan dokumen hasil audit internal mereka. Di sana ada jelas-jelas pelanggaran yang mengakibatkan kerugian negara. Itu jelas dokumennya fotokopian, tapi kopnya asli," kata Victor.
Penggeledahan ini merupakan tindak lanjut hasil penyelidikan yang dilakukan kepolisian jauh hari sebelumnya. Polisi mempunyai bukti kuat untuk melakukan penggeledahan guna mengembangkan kasus tindak pidana pencucian uang dalam pengadaan sepuluh unit mobile crane termasuk keterkaitannya dengan kasus Dwelling Time.
Kasus ini bermula dari laporan yang masuk ke Bareskrim Polri dengan nomor LP-A/1000/VIII/2015/Bareskrim tertanggal 27 Agustus 2015.
Pada 2012, Pelindo II membeli sepuluh unit mobile crane senilai Rp45 miliar untuk mendukung kegiatan operasional di delapan pelabuhan cabang Pelindo, yaitu di Bengkulu, Teluk Bayur, Palembang, Banten, Pontianak, Jambi dan Cirebon. Namun, sepuluh mobile crane yang diterima Pelindo sejak 2013 belum bisa dioperasikan dan mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok.
Victor mengatakan pihaknya telah mengamankan beberapa dokumen penting terkait indikasi tindak pidana pencucian uang dalam pengadaan sepuluh unit mobile crane yang dibeli PT Pelindo II pada 2013. Penyidik akan memeriksa Direktur utama Pelindo II dan sejumlah saksi lain sebagai tindak lanjut penggeledahan.
Menurut Victor, ada 26 bundel dokumen penting yang telah diamankan dan nantinya akan dikaji untuk pengembangan kasus. Hal ini guna mengetahui keterkaitan pengadaan mobile crane dengan kasus lain.
Polisi juga akan memeriksa pejabat PT Pelindo II, termasuk direktur utamanya, RJ Lino. "Tentu pengambil keputusan yang akan dimintai pertanggung jawaban. Nanti semua saksi akan kita periksa, karena itu dari ruangan beliau, kami akan klarifikasi dan akan kami periksa," kata Victor.
Tidak wajar
Proses pengadaaan sepuluh unit mobile crane tahun anggaran 2012 dinilai tidak wajar. Berdasarkan hasil penelusuran tim penyelidik, diketahui harga satuan mobile crane sesuai dengan spesifikasi barang yang dibeli Pelindo II hanya sekitar Rp2,4 miliar per unit.
"Kalau kita pergi ke distributor, barang spesifikasi itu paling tinggi harganya Rp2,4 miliar. Kalau 10 unit berarti sekitar Rp24 miliar. Itu proyeknya senilai Rp 45,5 miliar," kata Victor.
Dokumen Rencana Kerja dan Syarat (RKS) menyebutkan pengadaan mobile crane dengan kapasitas 25 ton dan 65 ton merupakan kebutuhan cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon, dan Jambi. Pengadaan tersebut seharusnya terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pihak pelabuhan. Namun, yang menjadi masalah adalah pejabat berwenang masing-masing pelabuhan yang akan ditempatkan crane itu tidak pernah mengajukan kebutuhan spesifikasi teknisnya.
Jadi, kata Victor, Pelindo II tak mengikuti prosedur dalam pengadaan barang tersebut. Karena, pelaksanaan pengadaan barang tersebut sejak mulai perencanaan seharusnya pelabuhan yang mengajukan kebutuhannya apa. Namun, kebutuhan untuk pelabuhan di Bengkulu, Jambi, Palembang, Teluk Bayur, Banten, Cirebon, dan Pontianak dibuat sendiri oleh Pelindo II.
Surat pengajuan pengadaan barang tak ditandatangani general manager di pelabuhan terkait, melainkan hanya oleh Manager Teknik Pelindo II. "Itu sudah salah," katanya.
Selain itu, disebutkan pula mobile crane untuk mengangkut beban 65 ton ke atas sudah menjadi kebutuhan kedelapan pelabuhan tersebut. Tapi, crane yang Pelindo II berikan adalah yang hanya bisa mengangkut beban 45 ton. Pelabuhan-pelabuhan yang disebut tadi pun jadi tak mau menerimanya. Walhasil, ketika kesepuluh crane yang diimpor dari Tiongkok tersebut sudah datang, kedelapan pelabuhan menolak untuk dikirimkan. Sehingga, sampai saat ini crane yang dibeli menjadi malfungsi dan mangkrak di Tanjung Priok.
“Pengadaaan barang dan jasa itu seharusnya efisien murah dan itu akan berhasil guna. Sampai sekarang barang itu belum pernah digunakan padahal dibeli dengan mahal,” imbuh Victor.
Sebagai Dirut Pelindo II, Lino seharusnya melakukan kajian terlebih dahulu apakah kedelapan pelabuhan itu membutuhkan 10 crane yang diadakan atau tidak. Lino juga tidak melakukan pengecekan terkait kebutuhan crane di masing-masing pelabuhan yang pastinya berbeda-beda.
Berdasarkan kejanggalan-kejanggalan yang ada, penyidik menduga bahwa Lino telah melalakukan proses lelang yang tidak sesuai prosedur. Seperti halnya penunjukkan langsung vendor Guangxi Narishi Century Equipment Co, Ltd (Guangxi) yang mendapat perlakuan khusus. Padahal, sebagai pemenang tender, Guangxi tidak memenuhi syarat regulasi untuk pengadaan barang dan jasa. Hal ini dikarenakan Guangxi baru dua tahun berkecimpung di bidang pengadaan crane tersebut. Sedangkan menurut ketentuan yang berlaku, minimal lima tahun.
Victor optimistis pengusutan kasus pengadaan sepuluh mobile crane ini akan menjadi jalan masuk dalam penuntasan kasus korupsi besar di Pelindo II. Ia pun menyadari banyak pihak yang merasa terancam dengan pengusutan kasus-kasus di Pelindo II ini. Namun, ia meminta agar penyidikan di Pelindo II bisa jelas dan terang benderang. Untuk itu, Polri perlu bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Anaisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengetahui aliran dana dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menentukan kerugian negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News