Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Logistik, Carmelita Hartoto, menyatakan bahwa masalah buruknya layanan bongkar muat di pelabuhan nasional sebenarnya bukan masalah baru. Ini merupakan persoalan klasik. Sehingga, presiden diharapkan tidak hanya menyalahkan menteri atau pejabat terkait lantaran proses dwelling time amat lambat.
Menurut dia, ada banyak masalah yang harus dilihat terkait rendahnya pelayanan bongkar muat barang di pelabuhan. Importir tak bisa begitu saja dituding sebagai biang kerok penumpukan kontainer di pelabuhan. Upaya pemerintah menaikkan tarif progresif terhadap penumpukan peti kemas ternyata tak menyurutkan importir untuk menahan barangnya di terminal peti kemas.
“Pengusaha itu melihatnya bagaimana level of service pelabuhan, produktivitasnya, dan kebijakan tarifnya,” ujar Mey (sapaan Carmelita) kepada medcom.id, Selasa (24/6/2015). Menurut dia, percuma saja menaikkan biaya penumpukan kontainer di pelabuhan jika pemerintah tak punya komitmen serius untuk membenahi pelabuhan, layanan Bea Cukai, dan membangun infrastruktur pelabuhan.
“Jadi, presiden jangan salah tembak. Untuk apa mengomeli menteri-menterinya? Menteri sudah gonta ganti untuk membenahi masalah ini (dwelling time). Masalah ini disebabkan banyak pihak yang terkait di sini,” kata Mey.
Sektor maritim Indonesia sudah jauh tertiggal di bawah negara ASEAN yang lain. Berdasarkan data dari World Shipping Council 2013, Pelabuhan Tanjung Priok menduduki urutan ke-22 di bawah pelabuhan di Singapura dan Malaysia. Kondisi ini dipengaruhi kurangnya perhatian pemerintah pada sektor kemaritiman serta buruknya manajemen pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, ditambah dengan lamanya waktu bongkar muat barang hingga keluar pelabuhan (dwelling time).
Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha Pelindo II, Saptono R Irianto, menyatakan bahwa untuk keluar dari permasalahan ini, Indonesia perlu mereformasi kebijakan logistik kemaritiman secara nyata.
Sebab, dalam menghadapi era pasar bebas, pemerintah harus menyikapinya secara cerdas. Supaya tidak kehilangan peluang dan pasar. Pembenahan manajemen pelabuhan harus segera dilakukan untuk meningkatkan daya saingnya dengan negara-negara lain. Aspek yang harus difokuskan adalah pembenahan secara serius pada masalah dwelling time di pelabuhan, khususnya Tanjung Priok yang lebih dari 5,5 hari.
“Kontribusi perbaikan layanan pelabuhan seperti kemudahan fasilitas, transaksi dan birokrasi lebih singkat akan meningkatkan service level. Jika itu terjadi, peran pelabuhan memberikan kontribusi yang cukup signifikan sebesar 0,31 persen terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Dengan catatan, semua pihak harus bekerja sama dan menghilangkan ego sektoralnya,” ujar Saptono di Jakarta, Minggu (22/6/2015).

Pelayanan Satu Pintu
Masalah kurangnya koordinasi antar lembaga ini juga dipengaruhi oleh belum berjalanannya sistem pelayanan satu pintu atau Indonesia National Single Window (INSW) yang bekerja secara online. Sistem ini penting supaya para pemilik barang atau importir dapat memenuhi kelengkapan semua dokumen sebelum diserahkan ke bea cukai.
Sebab, pihak bea cukai tidak akan mengurus dokumen yang tidak lengkap. Sehingga, apabila semua tahapan pre-clearance dapat dilewati dengan baik, akan mudah dilanjutkan kepada tahapan custom clearance atau proses melalui bea cukai.
"Sistem online-nya belum terintegrasi dengan baik. Karena masing-masing pihak punya ketentuan sendiri," imbuh Saptono.
Belum lancarnya pelaksanaan INSW ini juga diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indroyono Soesilo. Menurut Indroyono, INSW sudah dikembangkan sejak tahun 2007 dan awalnya secara temporer dikelola oleh bea cukai. Penerapan sistem INSW sudah mulai dimanfaatkan oleh Kementerian Perdaganagan dan Badan POM. Namun lagi-lagi, pelaksanannya masih belum maksimal.
Guna menunjang perbaikan koordinasi antar instansi di pelabuhan, Kementerian Perhubungan akan mengembangkan Inaportnet. Inaportnet merupakan portal di internet yang terbuka dan netral dalam memfasilitasi pertukaran data informasi pada layanan kepelabuhanan secara cepat. Portal ini terintegrasi dengan instansi pemerintah terkait, badan usaha pelabuhan, dan pelaku industri logistik untuk meningkatkan daya saing komunitas logistik Indonesia.
Sama seperti konsep INSW, Inaportnet merupakan sistem layanan tunggal yang mengintegrasikan layanan kebutuhan administrasi perkapalan di seluruh instansi terkait di pelabuhan. Dengan Inaportnet, pengurusan administrasi online terintegrasi dapat dilakukan. Seperti contohnya pada pembuatan surat izin kelaikan berlayar, surta izin kesehatan kapal, surat bebas karantina dan berbagai hal lain yang diperlukan sebuah kapal untuk sandar atau berlayar.
“Di samping itu juga, Kemenhub segera membuat Inaportnet. Dan Inaportnet diharapkan segera kelihatan wujudnya pada bulan September ini. Nah semua itu didorong supaya lebih cepat dan lebih transparan,” kata Indroyono kepada medcom.id.

Pemangkasan rantai birokrasi
Memang, manajemen pelabuhan yang baik harus didukung oleh sistem yang baik pula. Hampir semua pelabuhan terbaik di dunia menerapkan sistim birokrasi yang tidak berbelit-belit dan praktis. Menurut Direktur Indonesia Maritime Institute, Yulian Paonganan, pelauhan selevel Singapura telah menerpkan sistem pelayanan terpadu satu pintu dalam mengurus segala permasalahan adminsitrasi. Maka dari itu, untuk menekan lamanya dwelling time ini salah satu caranya adalah bagaimana rantai birokrasi yang berbelit-belit itu dapat diefisienkan.
“Singapura sudah pakai itu (National Single Window). Di Singapura itu regulasi antar instansi itu sudah tidak ada masalah lagi. Tumpang tindih antar instansi sudah tidak ada lagi disana,” kata Yulian kepada medcom.id.
Yulian menjelaskan, untuk menciptakan layanan satu pintu di pelabuhan ini, hal yang perlu dilakukan adalah pembenahan regulasi masing-masing instansi. Hal ini dilakukan supaya regulasi-regulasi tersebut tidak tumpang tindih satu sama lainnya. Bahkan, sistem birokrasi yang berbelit-belit di Indonesia memang diduga supaya tetap ada. Karena, ada oknum yang memanfaatkan rumitnya birokrasi untuk mendapatkan suap dan uang pelicin supaya semua proses lancar.
“Jadi, single window service atau pelayanan satu pintu itu kalau regulasinya tidak ada yang tumpang tindih antar instansi ya akan bisa berjalan. Nah kalau regulasinya tidak dibenahi, ya tetap saja susah itu,” imbuh Yulian.
Proses birokrasi yang berbelit-belit di pelabuhan ini juga dirasakan oleh Anggota Komisi V Fraksi Partai Hanura, Miryam S. Haryani. Menurut Yani, buruknya birokrasi di pelabuhan ini telah menimbulkan lamanya dwelling time yang berdampak kepada inefisiensi serta biaya tinggi. Sebab, dengan waktu bongkar muat lebih cepat, maka dana yang dihemat bisa mencapai sekitar Rp700 triliun.
“Penyebab lamanya dwelling time yang pertama itu rantai birokrasinya terlalu panjang, berbelit-belit. Lalu kualitas pelabuhan yang kurang memadahi. Mungkin yang ketiga itu kenakalan pengusaha atau petugas pelabuhan yang memperlambat pergerakan barang,” kata Yani kepada medcom.id.
Yani menyebutkan, ketiga poin krusial tersebut harus dibenahi secara total. Terutama pada masalah rantai birokrasi yang panjang dan berbelit di pelabuhan. Untuk itu, perlunya pemangkasan dari 18 instansi dan lembaga yang terlibat dalam proses dwelling time. Selain itu, diperlukan standard operation procedure (SOP) termasuk waktu penyelesaian perizinan barang kategori larangan pembatasan (lartas) oleh instansi terkait seperti Kemendag, Badan POM, Kementan maupun Badan Karantina yang terkoneksi dengan portal National Single Window (NSW).
“Sousinya kalau menurut saya bikin SOP yang jelas tentang waktu perizinan barang dan penyelesaiannaya. Seperti instansi terkait Kemendag, BPOM, Badan Karantina gitu dijelasin saja SOP-nya ini itu hari ini, atau perizinan 18 kementerian atau lembaga yang terlibat di pelabuhan itu diselesaikan setengah hari. Dan prosesnya harus elektronik,” imbuh Yani.
Yani juga menawarkan solusi untuk menangani masalah dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok ini adalah dengan melahirkan peraturan baru agar kontainer tidak tertahan terlalu lama dan segera keluar dari pelabuhan tanpa adanya proses pemeriksaanatau administrasi yang berlarut-larut. Menurut dia, perlu adanya peraturan yang tegas, supaya barang dapat keluar pelabuhan secepatnya. Kondisi ini dipercaya akan dapat memangkas lamanya dwelling time tersebut.
Selanjutnya, kata Yani, perlu dilakukan penyamaan persepsi antarpetugas Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen (PFPD) Bea Cukai Priok terhadap nomor Harmony System (HS) barang impor yang masuk pelabuhan dalam proses analizing point. Selain itu, perlu juga peningkatan fungsi terminal peti kemas untuk membantu layanan bongkar muat barang dari dan ke kapal. Sehingga, Yard Occupancy Ratio (YOR) terminal bisa tetap terjaga dan manuver atau delivery barang dapat lebih cepat dan tanpa hambatan.
Fungsi dan peran lembaga Otoritas Pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok juga harus dioptimalkan dalam mengkoordinasikan 18 instansi atau lembaga yang terlibat dalam pengurusan barang ekspor impor di pelabuhan Tajung Priok. Disamping itu, pemerintah juga harus mengadopsi sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk proses dwelling time di pelabuhan.
“Sistem manajemen harus elektronik. Jadi sudah enggak bawa invoice kesana kemari minta stempel. Itu kan enggak efektif menurut saya. Manajemen harus sudah multi electronic system dan pemerintah harus mengadopsi sistem layanan terpadu satu pintu,” kata Yani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News