Petugas keamanan berjaga berada di sekitar Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok, Jakarta. (foto: Antara/M Agung Rajasa)
Petugas keamanan berjaga berada di sekitar Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok, Jakarta. (foto: Antara/M Agung Rajasa)

Proyek Investasi yang Dinilai Gegabah

Medcom Files proyek mobile crane
Hardiat Dani Satria • 18 September 2015 23:14
medcom.id, Jakarta: Satu persatu kasus yang menyelimuti PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II terungkap. Kegegeran mulai terjadi sejak Juni lalu. Pada pertengahan Juni, Presiden RI Joko Widodo meluapkan kemarahannya lantaran kunjungannya yang mendadak ke Pelindo II disuguhi laporan mengenai masalah waktu bongkar muat peti kemas (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, rata-rata masih lebih dari lima hari.
 
Dengan nada geram, Jokowi -sapaan Joko Widodo- bertanya kepada para pejabat terkait, apa alasan dwelling time tidak bisa dipercepat hingga kurang dari lima hari. Padahal pemerintah menargetkan perbaikan dwelling time menjadi rata-rata kurang dari lima hari untuk tahun ini.
 
Setelah menemukan fakta yang mengecewakan ini, Jokowi langsung memimpin rapat dengan 18 kementerian dan lembaga untuk membahas solusi terkait lambannya pelayanan pelabuhan. Ia menyatakan akan menyelidiki instansi mana yang pelayanannya paling lambat. Presiden bahkan menegaskan bakal memecat pejabat yang tidak becus dalam kinerjanya untuk mengurangi waktu bongkar muat barang di pelabuhan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
"Saya akan cari sendiri jawabannya dengan cara saya. Bisa saja dirjennya saya copot, bisa saja pelaku di lapangannya yang dicopot, bisa juga menterinya yang saya copot," ujar Jokowi dalam rapat di Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (17/6/2015). Menanggapi amukan Jokowi tersebut, aparat penegak hukum pun langsung cepat tanggap. Selang satu bulan setelah kejadian itu, ternyata polisi langsung bergerak melakukan penyelidikan. Polisi mengintai permainan kotor oknum di Kementerian Perdagangan selama satu bulan. Tiga tim Polda Metro Jaya menggeledah kantor Dirjen Perdagangan Luar Negeri di Jakarta pada Selasa (28/7/2015) dan menemukan bukti dugaan suap dan gratifikasi terkait perizinan importasi garam.
 
Persis sebulan kemudian, pada Jumat (28/8/2015) belasan penyidik Bareskrim Polri, Polda Metro Jaya dan Polres Tanjung Priok menggeledah gedung kantor PT Pelindo II di Tanjung Priok, Jakarta terkait indikasi tindak pidana pencucian uang dalam pengadaan sepuluh unit mobile crane (alat bongkar muat pelabuhan) di perusahaan pelat merah tersebut pada tahun anggaran 2012.
 
Kasus terakhir ini bermula dari laporan yang masuk ke Bareskrim Polri dengan nomor LP-A/1000/VIII/2015/Bareskrim tertanggal 27 Agustus 2015. Laporan tersebut memuat beragam kejanggalan dalam proyek-proyek pengadaan di Pelindo II.
 
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari penelusuran medcom.id, pengadaan sepuluh unit mobile crane berkapasitas 25 ton dan 65 ton itu rencananya akan digunakan di delapan cabang Pelindo II sebagai alat untuk mengangkat dalam kegiatan bongkar muat di dermaga konvensional dan juga kegiatan di lapangan penumpukan konvensional. Jenis kargo yang dapat diangkat misalnya seperti pipa baja, crumb rubber, girder, beam, equipment, ataupun peti kemas kosong. Berdasarkan dokumen Rencana Kerja dan Syarat (RKS), penggunaan mobile crane ini merupakan kebutuhan cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon dan Jambi.
 
Pada Juni 2012, PT Pelindo II menandatangani kontrak pengadaan sepuluh unit mobile crane dengan perusahaan vendor asal Tiongkok bernama Guangxi Narishi Century Equipment Co, Ltd (Guangxi) dengan nilai Rp45,6 miliar. Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan selama 180 hari kalender sejak 8 Juni 2012 sampai dengan 8 desember 2012.
 
Pengadaan dilakukan melalui pelelangan ulang dengan metode pemasukan dokumen penawaran dua sampul. Peserta lelang yang memasukkan penawaran sebanyak dua perusahaan yaitu Guangxi dan PT Ifani Dewi (Ifani). Namun, yang lolos evaluasi administrasi dan teknis hanya Guangxi.
 
Harga perhitungan sendiri (HPS) Ownser Estimate (OE) oleh PT Pelindo II sebesar Rp46,2 miliar. Sedangkan penawaran harga dari Guangxi sebesar Rp45,9 miliar dengan waktu pelaksanaan selama 180 hari kalender. Setelah dilakukan klarifikasi dan negosiasi, diperoleh kesepakatan harga sebesar Rp45,65 miliar. Selanjutnya, Guangxi menyerahkan jaminan pelaksanaan sebesar Rp2,2 miliar yang berlaku sampai tanggal 30 Januari 2013.
 
Dalam proses pelaksanaan pekerjaan pengadaan sepuluh unit mobile crane, mengalami dua kali adendum. Adendum pertama nomor HK.566/21/10/PI.II-12 tanggal 3 Desember 2012 dengan perubahan pada skema pembayaran dan perubahan kurs pada jaminan pembayaran. Berawal dari surat Guangxi, pada 17 Oktober 2012 perihal saran perubahan kontrak. Dilanjutkan dengan penandatanganan minutes of meeting antara PT Pelindo II dengan Guangxi pada 27 November 2012 yang menyepakati perubahan skema pembayaran dan perubahan kurs jaminan pembayaran. Adendum pertama tersebut tidak mengubah waktu pelaksanaan pengerjaan dan pengenaan denda tetap berlaku.
 
Adendum kedua yang bernomor HK.566/14/10/PI.II-13 tanggal 8 Agustus 2013 dengan perubahan pada tempat penyerahan yang semula ke Cabang Pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, Teluk Bayur, Banten, Cirebon dan Jambi diubah menjadi hanya ke Pelabuhan Tanjung Priok. Selain itu juga terjadi pengurangan biaya pekerjaan sebesar Rp190 juta akibat perubahan tempat penyerahan tersebut.
 
Hasil pemeriksaan atas dokumen kontrak dan pendukungnya, menunjukkan adanya permasalahan-permasalahan. Prosedur evaluasi harga penawaran diketahui menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Kemudian juga terjadi kekurangan penerimaan sebesar Rp456,5 juta atas denda maksimal kurang dari ketentuan.
 
Saat ini, sepuluh unit mobile crane itu juga tidak bisa digunakan secara maksimal. Selain karena tidak dapat mengangkat barang-barang secara optimal, teknologinya pun kuno. Imbasnya, sepuluh unit mobile crane impor yang diterima Pelindo II sejak 2013 itu belum bisa dioperasikan sesuai kemampuannya dan mangkrak di Pelabuhan Tanjung Priok.
 
“Mungkin kalau untuk mengangkat sedikit-sedikit bisa saja. Tapi itu enggak bisa membantu kinerja alat yang utama. Karena mobile crane ini sangat lambat. Artinya, sepuluh mobile crane yang diadakan dengan harga 45,6 miliar itu mubazir. Sayang sekali. Kenapa kok memaksa membeli itu,” ujar anggota Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia (SPPI) Hendra Budhi saat ditemui medcom.id di kantornya, Jalan Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Rabu (16/9/2015).
 
Pelindo makin kaya?
 
Ketika kantornya digeledah Tim Bareskrim Mabes Polri, Direktur Utama Pelindo II Richard Joost Lino ditelepon oleh Kepala Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Menteri Bappenas Sofyan Djalil. Saat berbicara dengan Sofyan Djalil, RJ Lino mengancam mengundurkan diri dari jabatannya di perusahaan BUMN itu karena tersinggung dengan penggeledahan tersebut.
 
"Come on Pak. I'm make this company so rich. Enggak fair, pak. Bapak tolong kasih tahu presiden deh, kalau caranya seperti ini, saya berhenti," ujar Lino dalam perbincangan telepon dengan Sofyan yang diperdengarkan ke para juru warta di sela-sela penggeledahan itu, Jakarta, Jumat (28/8/2015).
 
Benarkah selama enam tahun menjadi dirut, Lino berhasil membuat Pelindo II meningkat kekayaannya?
 
Menurut Hendra, di kalangan karyawan Pelindo II, RJ Lino memang dikenal sebagai sosok yang visioner dalam ide dan gagasannya. Seringkali Lino juga mendapatkan pujian dari petinggi negara atas banyaknya pembangunan dan pengadaan yang dilakukan. Dapat dikatakan, hampir semua orang terkagum-kagum atas rencana Lino dan apa yang telah dilakukannya.
 
Dalam enam tahun Lino menjadi Dirut Peindo II, sudah empat kali terjadi gangguan besar di pelabuhan Tanjung Priok. Kesalahan dalam penanganan kasus Makam Mbah Priok di tahun 2010 yang mengakibatkan korban jiwa. Kemudian, di tahun yang sama, terjadi juga pemogokan karyawan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja.
 
Selanjutnya, aksi mogok kerja Pelindo II yang berujung pemecatan 33 Karyawan di tahun 2013. Terakhir dan yang paling terbaru adalah aksi solidaritas stop operasi JICT tahun 2015.
 
Pada awalnya, kedatangan Lino dianggap membawa angin segar. Namun, lama kelamaan, ide dan kinerja Lino seakan menjadi utopia belaka dan membuat Pelindo II semakin carut-marut. Selama dipimpin Lino sejak 2009, Pelindo II membuat banyak anak perusahaan. Dari yang semula hanya berjumlah lima, menjadi 18 anak perusahaan. Tentu biaya operasional perusahaan dan manajerialnya semakin berlipat-lipat. Hal ini membuat operasionalisasi perusahaan menjadi sangat tidak efektif.
 
Lino juga disebut sering melakukan berbagai macam pengadaan di perusahaannya. Semenjak tahun 2009 samapi 2013, tercatat Lino telah menghabisakan dana perseroan untuk investasi fisik dan non fisik sebesar Rp8,71 triliun. Investasi tersebut dipergunakan antara lain untuk pengadaan peralatan bongkar muat crane senilai kurang lebih Rp2,7 triliun. Jika ditambah proyek pembangunan Terminal Kalibaru (New Priok Port) yang senilai Rp46 triliun, duit yang dihabiskan pasti jauh lebih besar.
 
Menurut Hendra, inisiatif investasi ini kebanyakan datang langsung dari RJ Lino. Selain itu, banyak kegiatan pengadaan dilakukan dengan cara penujukkan langsung.
 
Langkah-langkah investasi yang dilakukan Lino ini dipandang tindakan gegabah. Karena, semua itu membuat beban operasional yang ditanggung perusahaan menjadi lebih besar dibanding peningkatan pendapatannya. Untuk menjalankan investasi ini, Pelindo II pun harus banyak berhutang.
 
Saat RJ Lino menjabat sebagai dirut Pelindo II tahun 2009, nilai aset Pelindo II sekitar Rp7 triliun. Sejak awal Lino langsung tancap gas untuk berinvestasi dan proyek pengadaan. Hingga tahun 2012 Pelindo II menarik utang kredit modal kerja (KMK) senilai Rp1 triliun. Untuk membayar pinjaman tersebut, Pelindo II mengambil utang KMK lagi sebesar Rp4 triliun.
 
Tahun berikutnya, yaitu 2013, utang Pelindo II melonjak menjadi Rp5,8 triliun. Tahun 2014 utang Pelindo II berlipat dua menjadi Rp11,8 triliun, aset Pelindo II akhir tahun menjadi Rp21,5 triliun. Jadi selama kurun waktu 2009-2014 Lino hanya meningkatkan aset Pelindo II sebesar Rp2,7 triliun di luar pinjaman Pelindo II.
 
Tahun 2015 Lino menarik utang lagi (Global Bond) sebesar USD1,2 miliar atau setara Rp22 triliun. Jika perusahaan asetnya menggelembung karena hutangnya membengkak, kata Hendra, maka itu bisa menimbulkan masalah bagi pimpinanan perseroan selanjutnya dengan acaman perusahaan default (bangkrut).
 
Apalagi, Pelindo II tidak pernah membayar utangnya dengan pendapatannya sendiri. Utang yang ada dibayar dengan utang lain. Meskipun saat ini aset Pelindo kurang lebih Rp40 triliun, namun jika kinerja keuangan terus seperti ini malah bisa menjadi ancaman malapetaka bagi perusahaan ke depan.
 
“Semua utang yang dari awal itu tidak ada yang dibayar dari hasil pendapatannya Pelindo II. Jadi, seperti gali lubang dan tutup lubang. Tapi kalau yang utang USD1,2 miliar, itu sepertinya tidak mungkin bisa gali lubang tutup lubang. Itu terlalu besar,” tukas Hendra.
 
Direktur Indonesia Maritime Institute (IMI), Yulian Paonganan. menyatakan hal senada. Ia menilai menilai selama dipegang oleh Lino, Pelindo II tidak menjadi kaya. Karena, utang Pelindo II kini sudah tergolong jumlah yang fantastis.
 
“Kaya apanya? Tidak ada itu. Coba cek, utang Pelindo itu banyak,” kata Yulian kepada medcom.id, Kamis (17/9/2015).
 
Menurut Yulian, Lino tak punya prestasi apa-apa. Ia menyebut Lino membangun kerajaan bisnisnya di Pelindo II dengan menghamburkan uang triliunan untuk investasi yang tidak jelas. Pelindo II hanya menjadi proyek bancakannya Lino dengan investasi pengadaan dan membuat berbagai anak perusahaan.
 
"Kalau perusahaan itu sudah sukses, ya tidak perlu bikin anak-anak perusahan. Pelindo saja yang kelola," kata Yulian.
 
Belasan anak perusahaan ini, ia melanjutkan, justru membuat jalur manajemen yang berlapis-lapis, sehingga beban operasional perusahaan jadi tambah bengkak. "Tidak efektif, itu cara dia untuk membangun kerajaan Pelindo II,” imbuh Yulian.
 
Kinerja Pelindo II selama enam tahun terakhir dianggap tidak memuaskan. "seharusnya, sebagai pengelola pelabuhan paling besar, Pelindo II itu harus memberikan devisa negara yang besar,” kata Yulian.
 
Capaian kinerja sejak 2014 mengalami penurunan tajam. Dewan Komisaris Pelindo II melaporkan adanya penurunan kinerja korporasi BUMN Pelabuhan ini pada semester I 2015, dibanding periode yang sama di tahun 2014. Salah satu catatan dari Dewan Komisaris adalah penggunaan sebagian dana hasil Global Bond untuk membayar utang korporasi.
 
Menurut Dewan Komisaris, penilaian atas kinerja manajemen Pelindo II dipandang dari sisi indikator kinerja utama atau KPI (Key Performance Indicators) pada tahun buku 2014 mencapai skor 87,74. Jika dibandingkan dengan tahun 2013 yang skornya 98,45, KPI 2014 ini jelas mengalami penurunan.
 
Tim medcom.id telah mencoba untuk mendapat tanggapan RJ Lino. Namun, segala upaya yang dilakukan untuk menghubungi beliau selama lima hari tidak mendapat respons.
 
Namun, Direktur Keuangan Pelindo II Orias Petrus Moedak bersedia memberikan tanggapan terkait tudingan miring atas kinerja Lino selama memimpin perseroan.
 
Selama RJ Lino memimpin Pelindo II, kata Orias, sudah banyak kemajuan di Pelabuhan Tanjung Priok. Bagi orang pelabuhan, tentu akan mengetahui perbedaan Tanjung Priok sebelum tahun 2009 dan sesudahnya. Namun, orang awam tidak akan melihat perbedaan itu.
 
Dari segi pendapatan bersih Pelindo II pun terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2009, pendapatan bersih pelabuhan sekitar Rp5 triliun per tahun. Sedangkan saat ini, Orias mengklaim Pelindo II bisa meraup untung hingga Rp40 triliun.
 
“Dari sisi perfomance juga naik, produktivitas di pelabuhan juga,” kata Orias saat dihubungi medcom.id, Kamis (17/9/2015).
 
Orias juga menegaskan, selama ini Pelindo II melakukan kajian dalam mengeluarkan uang triliunan rupiah untuk investasi. Dia yakin, semua investasi di Pelindo II akan menghasilkan keuntungan dan hal tersebut membutuhkan waktunya.
 
“Investasi yang tinggi juga ada ada jangka waktunya. Ya saya rasa ada kajian,” imbuh Orias.
 
Soal utang yang besar, ia menjelaskan, hal itu wajar mengingat Pelindo II berkomitmen untuk perusahaan yang besar dan maju. Sebab, hanya manajemen perusahaan yang tidak kompeten yang tidak melakukan pinjaman dana. Dan, semua perusahaan besar pastinya melakukan pinjaman atau utang untuk mengembangkan perusahaan.
 
“Kalau cuma makan modal saja kan enggak perlu manajemen bagus," kata Orias.
 
Ia menambahkan, pemimpin perusahaan yang handal pasti tak alergi dengan peningkatan utang. Justru apabila tidak menambah utang, bisa jadi manajemen perusahaan itu malas.
 
"Hanya orang goblok saja yang tidak meminjam. Manajemennya bodoh atau malas. Jadi, perusahaan yang tidak meminjam itu manajemennya bodoh atau malas,” kata Orias.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan