medcom.id, Jakarta: Chief Executive Officer (CEO) Blanja.com, Aulia E Marianto, menyatakan bahwa e-commerce Indonesia masih berusia di bawah 10 tahun dan terus berusaha mencari jati diri. Walaupun nilai transaksi tahun 2014 sudah menyentuh angka USD12 miliar, bukan berarti e-commerce Indonesia bebas dari masalah.
Aulia menjelaskan, ada lima elemen penting di dalam e-commerce. Keima elemen ini saling mempengaruhi satu sama lain. Artinya, jika ada permasalahan di salah satu elemen ini, e-commerce di Indonesia akan sulit berkembang.
Elemen pertama adalah platform dari e-commerce. Bentuk situs, sistem yang digunakan, metode penggunaan, sistem jual beli dan beragam fitur lain merupakan satu-satunya elemen yang dikendalikan penuh oleh pengusaha e-commerce. "Tapi platform itu tidak bisa berdiri sendiri," ujar Aulia kepada medcom.id, Senin (6/10/2015).
Masalah seputar platform ini sendiri masih belum terlalu banyak. Tapi salah yang menjadi penghambat terbesar platform untuk berkembang adalah keterbatasan modal. Dengan demikian, faktor permodalan ini menjadi elemen kedua.
Berbeda dengan negara lain yang dipenuhi investor di bidang teknologi informasi (IT) yang berani, Indonesia mash belum memiliki banyak ventura yang semangat berinvestasi di sektor IT.
"Kebanyakan yang masuk itu angel investor dari luar. Atau platform asing yang berani agresif menembus pasar Indonesia," kata Aulia.
Elemen ketiga yang tidak mungkin dipisahkan adalah penjual dan pembeli. Mati dan hidup e-commerce Indonesa itu bergantung kepada penjual dan pembeli. Baik bisnis e-commerce konsumen ke konsumen (consumer-to-consumer) atau jenis bisnis ke konsumen (business-to-consumer).
Permasalahan utama dari elemen ini adalah pandangan publik yang salah kaprah soal e-commerce. Banyak yang berpikir mencari nafkah dengan berdagang di e-commerce sangat berbeda jauh dengan berdagang secara umum. Padahal, kata Aulia, yang berbeda hanya metode transaksi, online dan offline.
"Ini berkaitan juga dengan edukasi. Kami berharap pemerintah mengedukasi masyarakat. Bagaimana e-commerce mau berkembang kalau semisalnya internet saja tidak mengerti," kata Aulia.
Masyarakat itu, ia melanjutkan, banyak yang berminat untuk menjajal bisnis e-commerce. Tapi, mereka tidak mengerti. Mulai dari mendaftar sampai mengelola. Nah, di sini peran pemerintah daerah sangat penting. "Masa kepala daerah tidak mau UKM mereka berkembang ke tingkat nasional? Itu kan membantu mereka juga. Karena kalau bergantung ke pengelola e-commerce juga berat," papar bos perusahaan yang bekerja sama dengan eBay ini.
Bahkan, untuk menyambut era pasar bebas kawasan Asia Tenggara atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), penjual juga harus disiapkan untuk menghadapi kemungkinan e-commerce Indonesia ikut bergabung ke pasar internasional. Mulai dari bahasa, pelayanan hingga ke kendali mutu komoditas yang dijualnya.
Elemen yang tidak kalah pentingnya yakni sistem pembayaran. Saat ini model sistem pembayaran yang tersedia menjadi hambatan tersendiri. Internet payment gateaway atau sistem pembayaran online masih belum terintegrasi. Pengusaha e-commerce terpaksa bekerja sama dengan banyak perusahaan penyedia layanan IPG.
Selain itu, dia mengakui bank juga masih memandang sebelah mata e-commerce beberapa tahun belakangan. Tapi perlahan bank sudah mulai sadar besarnya transaksi di sekeliling e-commerce.
"Kalau bicara nilai bisnis e-commerce, yang platform terbuka saja, itu nilai tidak kurang dari USD3 miliar," kata Aulia.
Elemen terakhir adalah logistik. E-commerce ini juga sangat berkaitan dengan bisnis logistik yang ada. Akan sulit bagi e-commerce untuk berkembang di Indonesia jika sarana distribusi dan logistik masih buruk. Beberapa kasus e-commerce yang muncul di publik pun terkait dengan logistik yang keteteran.
"Beruntung perusahaan logistik di Indonesia ini sudah mulai berkembang. Salah satu perusahaan logistik besar di Indonesia, JNE, sudah mendapat investasi Rp300 miliar. Mereka banyak terbantu e-commerce. Bahkan sampai 70 persen pengguna jasanya dari e-commerce," kata Aulia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News