medcom.id, Jakarta: Terorisme dan konflik global yang terjadi saat ini tidak terlepas dari konflik yang terus terjadi di kawasan Timur Tengah. Kelompok bersenjata yang mendeklarasikan pembentukan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terlahir dari konflik yang terjadi di Timur Tengah.
“Ada sejarah panjang di balik lahirnya ISIS,” ujar mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Usman kepada medcom.id, Jumat (22/1/2016).
Bahkan dalam sebuah pidato dan tertulis dalam buku Hillary Clinton, dia menyebut AS terkait dengan kemunculan ISIS. Walau demikian, AS berusaha keras membantah hal tersebut.
As’ad mencoba memaparkan kronologis berdirinya ISIS yang tak jauh dari sejarah Al-Qaeda. Sejarah ISIS ini berawal dari kembali semangat sebagian muslim timur tengah untuk melawan arus globalisasi yang dinilai merusak kaidah Islam. Beberapa faksi Mujahidin muncul.
Salah satu faksi Mujahidin asal Irak yang muncul bernama Jammaah Tauhid Wal Jihad (JTW) pimpinan Abu Mush'ab Al Zarqowi (ada juga yang menyebut Abu Musa Al Zarqawi) pada 2001 Juli.
Pada 2001 September, Afghanistan kemudian diserang oleh Koalisi Utara yang terdiri dari faksi Buhanuddin Rabbani dan Rasul Sayyaf. Serangan ini yang didukung oleh Amerika Serikat ini kemudian meruntuhkan rezim Taliban.
Osama bin Laden yang sedang berada di Afghanistan terpaksa mengungsi ke kawasan perbatasan dekat Pakistan. Sementara itu JTW menggeser markasnya ke Heratz, Afghanistan barat.
Pada Oktober 2003, Rezim Sadam Husein yang digempur AS tumbang. JTW kemudian pindah ke Irak Utara dan menyasar AS. Tahun 2004, JTW pun menyatakan diri sebagai Al-Qaeda Irak.
“Tujuannya untuk mengusir AS dari Irak, mendirikan Khilafah, memperluas konflik ke Palestina, serta memperluas operasi ke negara tetangga,” terang As’ad.
Mantan Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini melanjutkan, Abu Musa sebagai tokoh karismatik Al-Qaeda pada 2005 meninggal dunia. Padahal, pada tahun yang sama rakyat Irak membentuk dewan Syura yang bertujuan untuk menyatukan muslim sunni yang ada. Abu Ayub Al Masri mengisi posisi yang ditinggalkan Al Zarqawi.
Pada tahun 2006, Al Masri mendeklarasikan Negara Islam Irak (Iraqi Islamic State). Setahun setelahnya, pemerintahan sementara Irak dibentuk dan menunjuk Abu Umar Al Baghdadi yang saat itu tengah merangkap sebagai panglima Al-Qaeda Irak.
Kepala Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia Hendra Kurniawan mengakui konflik Timur Tengah semakin kompleks. ISI yang disebut dengan nama Daulah Islam Iraq oleh masyarakat setempat, menjadi berbeda ketika Abu Umar terbunuh dan diganti dengan tidak normal oleh Abu Bakar Al Baghdady.
Ketika terjadi revolusi Suriah tahun 2011 maka sebagian pejuang asal Suriah dari Irak kembali ke Suriah untuk melawan tindakan kejam dari presiden Bashar Assad dengan membentuk Jabhat Al Nusrah (JN) yang merupakan kelompok terbesar dari pejuang Suriah.
“Sedikit demi sedikit beberapa kota mulai dibebaskan. Ketika sudah banyak daerah dibebaskan tiba-tiba Abu Bakar Al Baghdady pada tahun 2013 mengatakan bahwa JN dihapus dan dijadikan Daulah Islam Irak dan Syam / DAIS atau ISIS (Islamic State in Irak and Syam),” terang Hendra.
Gesekan Al-Qaeda dan ISIS tak terhindarkan. Ketika Ayman Al Zawahiri (pemimpin Al-Qaeda) meminta ISIS untuk kembali ke Irak dan hanya mengakui JN sebagai cabang resmi Al Qaeda di Suriah maka ISIS pun menolak.
Konflik untuk saling merebut pendukung pun terjadi. Saat ini muncul dua kelompok bersenjata yang dicap teroris oleh dunia barat. Namun sebagian kelompok muslim garis keras mendukung kedua kelompok jihadis ini.
Hendra menjelaskan umat Islam (sunni) secara keseluruhan sekarang ini terbagi menjadi 4 kelompok. Islam Jihadis yang mendukung ISIS (sebagian ulama menggangap takfiri), Islam Jihadis yang mendukung Al Qaidah, Islam moderat (kelompok yang tidak mendukung pendirian khilafah di muka bumi), dan Islam liberal (kelompok yang menyerap budaya non-islam)
Pesantren dan ISIS Indonesia
ISIS memiliki tujuan untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia. Rencana jangka pendek mereka adalah mendirikan khilafah di Timur Tengah. Hal ini mendapat dukungan dari kelompok Islam garis keras lainnya.
“Tidak sedikit yang bergabung karena kesamaan pandangan dan rasa kedekatan,” kata As’ad.
Indonesia sendiri sudah banyak dimasuki oleh kelompok yang tergabung atau memiliki hubungan dengan Islam garis keras, jihadis bahkan jaringan teroris di kawasan timur tengah.
Walaupun istilah kelompok teroris masih menjadi perdebatan tersendiri, namun jaringan Jamaah Islamiyah dan kelompok radikal yang disebut terafiliasi dengan Al-Qaeda memiliki pondok pendidikan yang bernama Maadi atau beragam istilah lain selain pesantren.
“Jadi kalau ada beberapa pesantren yang memiliki hubungan dengan jaringan dari timur tengah itu tak benar disebut pesantren. Pesantren itu patennya NU, Islam yang dari Indonesia. Nah, ciri khasnya yang biasa itu dengan menggunakan nama daerah,” terang As’ad.
Jaringan teroris memang acapkali menggunakan pondok pesantren dari jaringan tertentu untuk melakukan perekrutan. Namun pada kenyataan tidak begitu dengan jaringan ISIS Indonesia yang terbentuk pada Maret 2014 lalu.
Setidaknya ada empat jaringan yang terkait dengan ISIS Indonesia. Keempatnya adalah Jama’ah Tauhid Wal-Jihad, Jama’ah Anshorut-Tauhid sempalan, Mujahidin Indonesia Timur, dan Muhajirun.
Namun berbeda sedikit dengan jaringan Al-Qaeda yang lebih menyasar pesantren jaringannya, ISIS juga berusaha menyusup ke sekolah-sekolah konvensional. Hal ini pun dibenarkan oleh pengamat terorisme Institut Analis Kebijakan dan Konflik Sydney Jones.
“Sekarang, tidak hanya merekrut ke pesantren jaringan, mereka juga masuk ke sekolah. Ada yang berkedok pembina rohis. Namun nantinya diarahkan ke pengajian radikal. Jadi saya memang setuju, tidak hanya soal undang-undang terorisme, pemerintah harus berpikir secara menyeluruh,” ucap Jones.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News