ILUSTRASI: Tumpukan uang kertas. (MI/Usman Iskandar)
ILUSTRASI: Tumpukan uang kertas. (MI/Usman Iskandar)

Mengejar Miliaran Rupiah dari Karaoke

Medcom Files hak cipta
Coki Lubis • 27 Maret 2017 15:12
medcom.id, Jakarta: Jelas bangga, tiga album Indonesia masuk dalam daftar AllMusic’s Favorite World Compilations of 2010. Ketiganya adalah “To The So Called Guilties” (Koes Bersaudara).”Dheg Dheg Plas” (Koes Plus) dan “Dara Puspita” (Dara Puspita). Demikian ungkapan hati kritikus musik Denny Sakrie pada 2014.
 
Saking bangganya, peristiwa itu dikenang Denny dalam sebuah catatan berjudul 'Ketika Album Musik Indonesia Era 60an Dihargai Dunia Internasional'. "Turut bangga juga, karena saya ikut dalam tim riset rilis ulang album tersebut yang digagas oleh Alan Bishop, pemilik label Sublime Frequencies Record yang berada di Seattle, Amerika Serikat," tulisnya.
 
Sayangnya, pada 3 Januari 2015, jurnalis senior itu berpulang akibat serangan jantung. Seandainya sang pengamat masih ada, mungkin dia telah membuat tulisan bernada satir tentang nasib Yon Koeswoyo, salah satu musisi yang ia banggakan itu.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Setahun Denny pergi, pentolan Koes Plus itu harus berhadapan dengan penyakit jantung yang dideritanya. Kala itu, penyanyi bernama asli Koesyono Koeswoyo itu mesti bolak-balik dirawat di rumah sakit. Kesedihan yang mengemuka bukan soal penyakitnya saja, namun juga ihwal kondisi keuangan Yon. Yang memprihatinkan, biaya perawatan sang legenda sebagian besar didapat dari keringanan tangan sejumlah fans Koes Plus.
 
"Alhamdulillah dibantu. Kami belum sempat mengurus BPJS," ujar Ulung Gariyas Koeswoyo alias Gerry, putra sulung Yon, saat kami hampiri di kediamannya kala itu.
 
Kisah Yon adalah satu dari sekian banyak cerita enas musisi Indonesia. Berbanding terbalik dengan musisi lawas luar negeri, yang boleh dikata saat ini sedang menikmati masa tua dari hasil karyanya dahulu. Tidak memiliki persoalan kesejahteraan, justru kaya raya dan bahkan ada yang memiliki jet pribadi.
 
Inilah bedanya, di Indonesia, dulu tidak pernah ada aturan baku yang mengatur royalti dari penjualan. Karya musisi "dibeli-putus" oleh perusahaan rekaman, selanjutnya, rekaman asli (master) adalah milik label dan berhak digandakan serta dipasarkan kapan saja.
 
Harapan mereka hanya lagu ciptaan yang terpakai di ranah bisnis hiburan, media, telekomunikasi dan lain-lain. Itupun kalau semua pihak mau fair membayar royaltinya. Tapi, bagaimana bisa adil kalau aturan bakunya saja tidak ada. Sementara para pencari untung terus bergeliat, semakin besar, bahkan menggurita.
 
Upaya memperjuangkan nasib terus dilakoni para musisi dan pencipta lagu. Tidak kalah set, mereka berjaring dengan profesional yang sepemikiran, perangkat negara yang peduli, hingga akhirnya secercah titik terang pun terlihat.
 
Negara menerbitkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Soal royalti dipertegas di sini. Tapi banyak kalangan yang menganggapnya belum sempurna, justru dinilai membuahkan kisruh lantaran mekanisme pengutipan dan penghimpunan royalti belum benderang.
 
Mahfum bila Inul selalu direpotkan dengan tuntutan-tuntutan musisi, pencipta lagu, termasuk para produser dan label. Pedangdut yang belakangan lebih dikenal sebagai pebisnis rumah bernyanyi itu bukan sekali-dua disomasi lantaran lagu mereka ada di mesin karaoke Inul Vista. Paling tidak, sejak 2013 Inul sudah melalui dua kali rongrongan pembayaran royalti, dan berakhir di meja hijau.
 
Padahal, menurut Inul, dirinya sudah menunaikan kewajiban itu. Inul membayarnya ke Karya Cipta Indonesia (KCI), organisasi yang beranggotakan banyak pencipta lagu.
 
Tapi, yang menjadi soal, bagaimana dengan musisi yang tidak tergabung di organisasi semacam KCI. Inilah perkaranya, Inul pun terpaksa melayani gugatan orang per orang, hingga menghadapi ancaman denda bahkan penjara. Sementara musisi yang menggugat menganggap dirinya diperlakukan tidak adil.
 
Masa-masa ketidakjelasan ihwal siapa yang berhak memungut (collecting society) royalti pencipta, diakhiri. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 muncul menyempurnakan UU Hak Cipta yang lama. Pasal 87 sampai Pasal 93-nya menjadi embrio lahirnya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
 
Lembaga ini bertugas melakukan pengelolaan royalti hak cipta lagu atau musik. Dibentuk sebagai representasi kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait. Artinya, LMKN memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna yang bersifat komersial, salah satunya rumah karaoke.
 
Pada 20 Januari 2015, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun melantik sepuluh orang praktisi musik dan profesional sebagai komisionernya. Lima orang komisioner menangani hak pencipta, yaitu, Rhoma Irama (Ketua), James F Sundah, Adi Adrian, Imam Haryanto dan Slamet Adriyadie. Lima lainnya menangani hak terkait, yakni, Samsudin DH alias Sam Bimbo (Ketua), Ebiet G Ade, Djanuar Ishak, Miranda Risang Ayu dan Handi Santoso.
 
Sekadar informasi, LMKN Pencipta mengoordinasikan lembaga-lemabaga manajemen kolektif (LMK) pencipta lagu, seperti Karya Cipta Indonesia (KCI), Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan Royalti Anugerah Indonesia (RAI). Sementara LMKN Hak Terkait membawahi LMK yang beranggotakan artis penyanyi, musisi pengiring, hingga produser dan label. Yaitu, Anugerah Royalti Dangdut Indonesia (ARDI), Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) dan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI).
 
Kehadiran LMKN menjadi asa baru bagi pencipta lagu dan musisi. Bahkan, kegembiraan terlihat dari raut musisi senior Ebiet G Ade usai pelantikan dirinya sebagai komisioner LMKN. Dia begitu semangat ingin menyudahi ketidakjelasan royalti ini. "Ini momentum. Kita buat tatanan yang baik agar royalti sampai kepada yang berhak," ujar pelantun tembang Berita Kepada Kawan itu kepada awak media.
 
Mengejar Miliaran Rupiah dari Karaoke
 
Ditentang
 
Tak selalu berjalan mulus. Cara baru mengejar mimpi kesejahteraan itu belakangan mendapat penentangan dari pengusaha rumah karaoke, khususnya rumah bernyanyi kelas elit alias karaoke eksekutif di ibu kota.
 
Mereka beranggapan lembaga pengutip royalti itu tidak menyosialisasikannya terlebih dahulu, terutama soal mekanisme dan tarif barunya, yang dinilai terlalu tinggi.
 
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Erick Halauwet, tiba-tiba ada sebuah lembaga baru yang menagih royalti pada pertengahan 2016. Tentu pihaknya tidak serta merta menunaikan tagihan ini.
 
"Bagaimana angka Rp50.000 per ruangan per hari itu bisa muncul dan ditagihkan ke anggota kami? Kenapa kami tidak pernah diajak berunding?" ungkap Erick saat dihubungi medcom.id, Rabu, 22 Maret 2017.
 
Asphija pun sempat menegaskan bahwa anggotanya menolak membayar tarif royalti baru yang ditagih LMKN pada tahun 2016. Alasannya, baru diberitahukan pada pertengahan tahun itu.
 
Alhasil, LMKN menganggap pengusaha karaoke eksekutif tidak mau membayar tarif royalti. Totalnya ada seribu ruang karaoke eksekutif yang tersebar di Jakarta. Semua menolak membayar tagihan tahun 2016. Sesuai prosedur, LMKN pun melayangkan somasi. Bahkan, somasi itu telah dua kali meluncur ke masing-masing pemilik karaoke eksekutif di Jakarta.
 
Dari sinilah kekisruhan dimulai antara LMKN dengan pengusaha karaoke eksekutif di bawah Asphija. Pertemuan demi pertemuan dilakukan. Kini, hampir setahun sudah negosiasi diupayakan, tetap belum ada solusi yang tercapai.
 
Baca: Tawar Menawar Tagihan Royalti
 
Namun, menurut komisioner LMKN Pencipta, Imam Haryanto, penentangan ini hanya muncul dari pengusaha karaoke eksekutif di Jakarta. Sementara pengusaha karaoke keluarga dan yang lain diklaim telah menunaikan kewajibannya sejak aturan baru ini berlaku 2016 lalu.
 
"Bahkan karaoke eksekutif di daerah, seperti Bangka Belitung, Medan, Palembang hampir semua membayar yang 2016, berkomitmen juga untuk 2017 ini," ungkap Imam saat ditemui di kantor LMKN Pencipta di Jalan Iskandarsyah I, Kebayoran Baru, Rabu, 22 Maret 2017.
 
Diakui Imam, rumah karaoke termasuk jejaring bisnis hiburan yang menggunakan karya musisi terbesar setelah media, khususnya televisi. Dari royalti yang diperoleh pada 2016 saja, terkumpul Rp35 miliar dari rumah karaoke. Diperkirakan, bila karaoke eksekutif di Jakarta turut membayar, bisa mencapai Rp70 miliar.
 
Saat ini, semua royalti yang terhimpun untuk tahun 2016, tak hanya dari karaoke, telah didistribusi ke LMK untuk diberikan kepada para pemilik hak cipta dan hak terkait yang menjadi anggotanya. "Terhitung sekitar 2.500 pemilik hak cipta dan pemegang hak terkait yang terdaftar di semua LMK yang ada di bawah LMKN," katanya.
 
Mengejar Miliaran Rupiah dari Karaoke
 
Berbagi
 
Pembagian royalti yang terhimpun tidak begitu saja dibagikan secara rata. Tentu dievaluasi penggunaannya, seperti, siapa saja yang lagunya diputar? Siapa yang paling banyak dinyanyikan? Informasi itu bisa didapat dari lembar pemakaian (log sheet) yang diberikan oleh rumah karaoke.
 
Lagunya apa, penciptanya siapa, penyanyi atau band-nya, labelnya, dan lain-lain, semua bisa terlihat, sehingga bisa diketahui lagu itu terdaftar di LMK apa. Data inilah yang bisa menjadi acuan pengalokasian royalti ke LMK-LMK di bawah LMKN.
 
Dari pendapatan royalti yang sudah dialokasikan ke LMK, pembagiannya pun memiliki skema sendiri. Sesuai ketentuan, untuk sebuah lagu, pencipta mendapat hak 50%, dan separuhnya lagi adalah hak terkait.
 
Dari royalti hak terkait dibagi lagi, setengah untuk produser atau label (25%), setengahnya lagi performer alias artis penyanyi, para musisi dan pendukung lainnya (25%). Sampai disitu, jatah 25% royalti untuk performer dibagi lagi, tentunya berdasarkan kesepakatan di antara mereka. Berapa royalti untuk si vokalis, pemain band, dan lain-lain.
 
Tentu tidak semua pencipta dan musisi mendapatkan royalti besar. Semua tergantung seberapa sering karyanya diputar. Bila karyanya kurang digandrungi, pendapatan royalti mereka jelas berbeda dengan yang sering diputar.
 
Sejauh ini, kata Imam, paling rendah mendapat royalti Rp500.000 sampai Rp 1.000.000, karena karyanya tidak pernah diputar. Tapi bila lagunya digandrungi bisa memperoleh ratusan juta. Penghitungannya dari log sheet tadi, kemudian dikalkulasi oleh LMKN.
 
Belakangan, setelah mendapat alokasi royalti dari LMKN, sejumlah LMK pun telah mendistribusikannya kembali kepada anggotanya. Di antaranya PAPPRI, yang telah menyerahkan royalti hak terkait performing right kepada anggotanya pada 7 Maret 2017 lalu.
 
Ya. Para musisi yang terlibat dalam pembuatan karya, dari vokalis hingga arranger, semua pemegang hak terkait. "Kita memperjuangkan hak para pemain musik juga, bukan hanya pencipta," demikian sambutan Ketua PAPPRI Dwiki Dharmawan dalam pertemuan yang digelar di Gedung Smesco, Pancoran itu.
 
Hal yang sama juga dilakukan LMK lainnya, di antaranya WAMI, yang baru saja menggelar pertemuan untuk distribusi royalti, Jumat, 24 Maret 2017 kemarin.
 
Mengejar Miliaran Rupiah dari Karaoke
 
Lantas bagaimana dengan pencipta lagu atau musisi yang tidak tergabung dalam LMK?
 
Imam berharap mereka segera mendaftarkan diri untuk bergabung atau dipersilahkan berkumpul untuk membuat LKM sendiri. "Dipersilahkan. Nanti LMK-nya registrasikan ke LMKN. Kita berjalan di bawah Undang-undang."
 
Tapi, bila belum membuat LMK atau bergabung dengan LMK yang ada, mereka tetap bisa mendapatkan royaltinya. Caranya, LMKN akan menghubungi pemilik hak cipta dan hak terkait, atau sebaliknya mereka bisa mendatangi langsung LMKN. Kemudian akan dibagikan haknya sesuai perhitungan yang telah ditetapkan.
 
"Karenanya dari 100% royalti yang terhimpun, sebelum didistribusikan ke LMK, telah disisihkan untuk royalti yang dicadangkan. Untuk mereka yang belum teregistrasi tapi karyanya dipakai," kata Imam.
 
Namun, sambungnya, bila dalam satu tahun haknya tidak diambil, akan dimasukan dalam daftar unclaim. Secara fisik uangnya akan diserahkan kembali ke LMK-LMK untuk dijadikan bonus bagi pencipta atau musisi yang aktif dan terdaftar.
 
"Pada 2017 ini kita targetkan minimal Rp100 miliar dari karaoke. Target kita dalam waktu enam tahun sudah bisa kalahkan Malaysia, yang bisa mengkolek hingga Rp400 miliar dari rumah karoke saja," tandasnya.
 
Kini, perlahan tapi pasti kesejahteraan pencipta lagu dan musisi diupayakan terangkat. Harapannya, tidak ada lagi cerita enas seperti kisah sang legenda Yon Koeswoyo setahun silam. Semoga!
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan