Sejumlah penderita mata katarak dan bibir celah, antre mendapatkan pemeriksaan medis di Pamekasan, Madura, Jatim. (ANTARA/Saiful Bahri)
Sejumlah penderita mata katarak dan bibir celah, antre mendapatkan pemeriksaan medis di Pamekasan, Madura, Jatim. (ANTARA/Saiful Bahri)

Benang Kusut Layanan Kesehatan

Medcom Files dokter dan kesehatan
Coki Lubis • 30 Januari 2017 22:13
medcom.id, Jakarta: Setelah dirujuk oleh Puskesmas, seorang pasien tiba di rumah sakit. "Maaf, kamar sudah penuh." Informasi klasik inilah yang mungkin diterima bila si pasien adalah peserta BPJS Kesehatan.
 
Celakanya lagi bila pasien datang tanpa surat rujukan, langsung ke ruang gawat darurat. Boleh jadi hanya mendapat pertolongan seadanya. Lepas itu, dibiarkan tanpa pantauan berkala, karena bukan prioritas.
 
Baca: Sebabak Kenangan Buruk Pengguna BPJS

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Lucunya, gambaran menyedihkan ini lama-kelamaan dianggap biasa. Persoalan pencairan klaim BPJS ke Rumah Sakit menjadi pembenaran. Ya. Rumah Sakit harus mencari untung. Menjaga alur keuangan agar tetap beroperasi. Pakar pelayanan kesehatan yang juga Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK), Hasbullah Thabrany, mengakui, ini yang menjadi faktor munculnya pembatasan pasien BPJS di rumah sakit.
 
"RS dibayar kecil di JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Sementara banyak kewajiban yang harus dibayarkan," ujarnya saat ditemui medcom.id di gedung Kemenko PMK, Kamis (26/1/2017).
 
Pada sisi lain, BPJS sendiri mengalami defisit anggaran. Besarnya pembayaran yang diklaimkan Rumah Sakit tidak sebanding dengan pemasukan dari iuran peserta BPJS. Jumlah peserta BPJS sendiri belum mencapai target. Akhirnya defisit tersebut ditutup pemerintah melalui APBN.
 
Baca: BPJS dan Diskriminasi Pasien
 
Perkara lainnya adalah soal rujukan. Jumlah kunjungan ke RS meningkat. Padahal, seharusnya pasien bisa tertangani di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), seperti puskesmas dan klinik umum. Akibatnya, biaya klaim rumah sakit ke BPJS meningkat.
 
Dokter Layanan Primer
 
Banyak kalangan menilai, akibat defisit anggaran BPJS, pemerintah mengeluarkan kebijakan Dokter Layanan Primer (DLP). Para DLP diandalkan untuk menangani faskes layanan primer.
 
Harapannya, dengan pendidikan lanjutan setara dokter spesialis ini, dokter bisa menjaga kesehatan masyarakat dan angka kejadian penyakit bisa ditekan. Jumlah kunjungan ke rumah sakit pun bisa berkurang. Dengan begitu, klaim biaya kesehatan bisa menurun.
 
Baca: Bukan Masalah Pendidikan Dokter
 
Anggapan ini dibantah Hasbullah. Menurutnya, bila DLP ditujukan sebagai penguatan layanan di FKTP, itu betul. Tapi, kalau dianggap sebagai respon pemerintah terkait fakta defisit BPJS, tentu salah.
 
"DLP itu amanat dalam UU Nomor 20 Tahun 2013 (tentang pendidikan kedokteran). UU ini lebih dulu ada sebelum BPJS muncul," katanya.
 
Meski begitu, Hasbullah merasa program DLP tidak dibutuhkan. "Apalagi bila dipaksa-paksakan dengan undang-undang." Bahkan, baginya, UU Pendidikan Kedokterannya pun tidak perlu. "Kalaupun mau diatur, maksimal setingkat Peraturan Menteri saja."
 
Perlu diketahui, sejak UU tersebut dirancang hingga disahkan pada 2013, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah menolak DLP. Ruang lingkup kerja, cakupan kompetensi, serta kurikulum pendidikannya dipertanyakan. IDI berdalih, dokter umum yang saat ini ada di FKTP sudah mencerminkan konsep dokter keluarga atau layanan primer. Justru, lapisan spesialisasi baru ini hanya memunculkan polemik dalam keprofesian dokter.
 
Baca: Paradoks Kesehatan Kuba
 
Sekolah lagi
 
Menyoal peningkatan kualitas dokter, bagi Hasbullah, daripada membuat sekolah tambahan berdurasi 2-3 tahun, lebih baik pemerintah memperkuat pemantauan mutu sekolah kedokteran yang ada saat ini. "Ini urusan Kemenristekdikti."
 
Satu lagi yang terpenting, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) fokus saja pada urusan pelayanan kesehatan. Baginya, peningkatan kemampuan dokter dirasa percuma bila perlengkapannya tidak memadai.
 
Selain itu, dia menambahkan, Kemenkes juga harus memantau kompetensi dokter di lapangan. Termasuk menjamin bayaran yang memadai bagi dokter yang kompeten. “Ini yang urgent.”
 
Senada, Ketua PB IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, bila prioritas Kemenkes itu melayani seluruh masyarakat, seharusnya dokter umum yang diperbanyak. Bukan menyekolahkan lagi.
 
"Kita itu tahun 2019 butuh 20ribu dokter umum lagi," ujarnya saat berbincang dengan medcom.id di kantor PB IDI, Jakarta Pusat, Jumat (27/1/2017).
 
Mencari jalan tengah
 
Perdebatan demi perdebatan masih mewarnai wacana DLP. Kemenkes berkeras bila DLP adalah solusi. Sementara IDI ngotot bahwa DLP adalah konsep yang sesat pikir.
 
Alhasil, saat perwakilan Kemenkes memberikan penjelasan, yang didapat hanya sorakan para dokter dan mahasiswa kedokteran. Itulah yang terjadi saat pembahasan bersama soal DLP di gedung DPR, Senayan pada 27 September 2016.
 
Dokter enggan mendengarkan penjelasan Kemenkes. Sudah terlanjur antipati. Apalagi, mereka mengaku mencium aroma bisnis dalam kebijakan tersebut. Dianggap pemborosan anggaran yang tidak murni untuk kepentingan rakyat.
 
Baca: Kapan Kuliah Dokter Bisa Murah?
 
Belum lagi pola pemaksaan yang dilegalkan. Bila tidak sekolah lagi (DLP), dokter umum tidak bisa melayani pasien BPJS. Inilah yang menjadi alasan ribuan dokter berunjuk rasa pada 24 Oktober 2016 lalu.
 
Namun, yang diperlukan masyarakat sejatinya bukan perdebatan tanpa ujung. Bukan saling ngotot dan sikap arogan, baik Kemenkes maupun para dokter. Rakyat hanya ingin haknya dipenuhi sesuai amanat konstitusi.
 
"Semua harus kembali duduk bersama. Mencari jalan keluar, tanpa kepentingan kelompok, tanpa ego sektoral. Prioritasnya tetap masyarakat," ujar Hasbullah.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan