Lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal, di Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Lima judul buku Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disita dari sebuah mal, di Kodim 0712 Tegal, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Melawan Hantu Komunisme

Medcom Files komunisme
Surya Perkasa • 16 Mei 2016 23:45
medcom.id, Jakarta: Telah tujuh belas tahun lebih Indonesia menikmati kemerdekaan dari era Orde Baru. Segala bentuk tindakan represif dan pengekangan yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru diberantas.
 
Masyarakat bangga berdemokrasi di era keterbukaan informasi, kebebasan berpikr, kebebasan bersuara dan kebebasan berserikat. Berbagai wacana terkait dengan pemikiran-pemikiran lama nan terlarang dan upaya mengungkap dosa masa lalu semakin pesat berkembang.
 
Namun bukan berarti reformasi hanya membawa angin segar dan cahaya baru bagi Indonesia. Seperti kata pepatah, semakin terang cahaya makan semakin gelap bayangan yang dihasilkan. Apalagi jika pemerintah terkesan tidak serius dalam mengungkap persoalan lama seterang-terangnya.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Salah satu yang mejadi persoalan yakni peristiwa pembunuhan jenderal-jenderal TNI di tahun 1965 yang kemudian berujung pemberantasan pendukung Partai Komunis Indonesia yang berlangsung hingga 1966. “Dugaan ada sejuta warga yang menjadi korban pembunuhan dan berujung ke dua puluh juta orang yang terstigma hingga saat ini karena mereka terkait dengan komunis atau PKI,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa kepada medcom.id, Kamis (12/5/2016).
 
Kata “komunis” akhirnya memang menjadi sebuah kata yang menghantui masyarakat Indonesia di alam bawah sadar. Apalagi dengan beragam tindakan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Bahkan “pembersihan” komunisme dari muka bumi Nusantara.
 
“Pemberantasan PKI dan pelarangan ideologi komunus kemudian dilegalisasi lewat Ketetapan Majelis Permusyawarakatan Rakyat Sementara (TAP MPRS) nomor XXV tahun 1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,” ungkap Sejarawan Lembanga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam saat berbincang dengan medcom.id.
 
Reformasi dan perubahan
 
Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang,” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966)
 
Secara tegas dan jelas aliran ideologi kiri yang terdiri Marxisme, Leninisme dan Komunisme dilarang di Indonesia pada era orde baru. Pemusnahan buku, pembubaran kegiatan, hingga penangkapan orang yang dituduh berbau komunis atau PKI.
 
Tidak hanya upaya menekan komunis ini kemudian dilakukan Orde Baru. Kekejaman komunis ini turut dikisahkan dalam sebuah film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI.
 
Film yang disutradai oleh Arifin C Noer dan dirilis pada 1984 ini kemudian menjadi sebuah tontonan wajib bagi masyarakat. Film yang menunjukkan PKI berkhianat dan berusaha melakukan kudeta dengan mengeksekusi jenderal TNI, kemudian turut menunjukkan kesuksesan Jenderal Soeharto memberantas PKI.
 
Film ini kemudian disebut-sebut sebagai sebuah film yang dimanfaatkan oleh Presiden Soeharto untuk tetap mengokohkan kekuatan politiknya, menekankan bahaya PKI dan komunis, serta menutupi kenyataan sejarah yang menyebabkan jutaan orang mati dieksekusi karena terkait PKI atau Komunis.
 
Film ini terus diputar berulang-ulang setiap tahunnnya selama Soeharto menjadi Presiden. Setiap tanggal 30 September ditandai pula dengan kabar kembali bangkitknya PKI dan Komunisme di Indonesia. Tak jarang juga diberitakan penangkapan dan penyitaan simbol PKI di beberapa wilayah Indonesia.
 
“Isu komunisme ini tiap tahunnya berulang kan?,” ucap Asvi.
 
Isu kemunculan komunisme ini intensitasnya juga semaki menurun setelah generasi Reformasi yang menumbangkan Orde Baru. Namun bukan berarti pelarangan terhadap Komunisme telah dicabut. Hanya sedikit penambahan.
 
Larangan terhadap penyebaran Komunis ini tertuang di Ketetapan MPR (TAP MPR) nomor I tahun 2003. Aturan ini sebenarnya kemudian juga banyak dipertanyakan, karena reformasi yang mendorong kemerdekaan berpikir justru masih membatasi warga Indonesia untuk tahu apa itu Komunisme.
 
Apalagi secara aturan, tidak ada perubahan besar yang mendasar dari TAP MPRS bernomor XXV/MPRS/1966 pada pasca reformasi. TAP MPR bernomor I/MPR/2003 hanya menambahkan “ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
 
Namun asas yang ditambahkan ini seringkali juga tidak dijalankan. “Kalau memang sudah berupaya membuat Indonesia menjadi komunis, ya pasti salah. Itu makar. Tapi apakah berpikir itu salah dan menambah pengetahuan itu salah?,” kata Alghiffari.
 
Melawan hantu
 
“Ada hantu bernama komunisme yang membayang-bayangi masyarakat kita,” kata Alghiffari.
 
Hal senada diakui pula oleh banyak pakar sosiolog yang melihat memerhatikan polemik isu komunis ini. Masyarakat Indonesia takut komunis kembali muncul di Nusantara. Stigma kekejaman PKI yang mengusung bendera merah berlambang palu dan arit justru banyak menyebabkan masalah baru. Apalagi sebagian petinggi dan mantan petinggi negara, lembaga negara seperti TNI, organisasi masyarakat, dan beberapa golongan lain khawatir dan menciptakan kekhawatiran di masyarakat.
 
Gerakan antikomunis semakin gencar dilakukan. Bahkan setelah Simposium Tragedi 1965 dilaksanakan April lalu, masyarakat dan lembaga keamanan negara semakin reaktif dan tak jarang dinilai kebablasan oleh sebagian kelompok.
 
Awalnya dimulai dengan kehadiran atribut palu arit yang banyak disorot di media sosial dan media massa. Kemudian dilanjutkan dengan respon beberapa kelompok ormas. Salah satu yang banyak diperhatikan yakni penganiayaan yang dilakukan seorang anggota LSM ke pengendara motor yang menggunakan pin berlambang palu arit.
 
Beberapa simbol palut arit di beragam kesempatan lain pun kemudian disorot. Kelompok agama dan golongan kemudian menyampaikan keresahan ini. Masyarakat pun ikut bereaksi, dan kemudian ditangkap oleh Presiden Joko Widodo. Instruksi untuk menangani keresahan ini pun diturunkan kepada pejabat dan kepala lembaga keamanan. Namun polemik justru semakin memanas.
 
Buku-buku 'kiri', yang pasca reformasi banyak beredar, kini kembali disita. Bahkan tidak hanya buku berbau komunis dan PKI, buku anti-komunis, buku sejarah terkait tokoh PKI dan Gerakan 30 September, hingga buku yang berlambang palu arit disita oleh oleh petugas. Baik dari TNI maupun Polri.
 
“Ini jelas tidak benar. Kalau memang mau diselidiki, ya polisi beli. Kalau mau menyita kan harus diproses oleh kejaksaan. Itu sudah diputuskan oleh Mahkamah Konsitutsi,” kata Asvi.
 
Keputusan MK nomor 20/PUU-VIII/2010 memang telah menegaskan bahwa ada prosedur dakan sweeping, penyitaan dan pelarangan buku. Seluruh pihak, baik itu militer, kepolisian, maupun ormas, harus mengikuti prosedur dan tidak bisa sewenang-wenang menyita buku. Keputusan MK ini sendiri terkait uji materi Pasal 1 sampai 9 Undang-Undang nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan.
 
Dalam sebuah pementasan musik, grup band yang menyanyikan lagu "Genjer-genjer" ditahan. Lima personel band lokal asal Mojokerto, Jawa Timur ini ditangkap aparat Polres.
 
Lagu Genjer-genjer sendiri juga menjadi polemik tersendiri. Lagu ini oleh masyarakat awam dilekatkan ke PKI dan gerakannya. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.
 
Lagu ini, kata Asvi, adalah lagu rakyat yang diubah oleh seorang seniman. Syair lagu yang berasal dari Banyuwangi ini kemudian digubah untuk menyindir betapa menderitanya masyarakat Indonesia di era pendudukan Jepang di Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, lagu "Genjer-genjer" menjadi sangat populer setelah banyak dibawakan penyanyi-penyanyi dan disiarkan di radio Indonesia.
 
“Lilis Suryani dan Adi Bing Slamet yang menjadi penyanyi terkenal membawakan lagu ini,” ujar Asvi yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat ini.
 
Namun lagu ini kemudian menjadi alat yang digunakan PKI mendekatkan diri ke masyarakat. Lagu ini pun menjadi lagu yang dinyanyikan di berbagai kesempatan oleh PKI untuk menarik perhatian masyarakat. Jadi Genjer-genjer menjadi hantu pada masyarakat Indonesia di Orde Baru.
 
Tidak hanya “hantu-hantu” berusia tua, hantu-hantu baru juga bermunculan atau terkadang dimunculkan. Tudingan beberapa golongan kepada barang-barang berbau “PKI” dan “Komunis” dihadirkan di tengah masyarakat.
 
Salah satunya adalah komunitas PecintaKopi Indonesia dan PapaKilo Indonesia (komunitas pilot) memiliki singkatan P-K-I. Mereka dituding-tuding sebagai kelompok PKI baru. Inipun sempat menjadi pembahasan yang hangat di media sosial. Selain itu beberapa warga juga ditahan karena menggunakan pakaian berlambang palu arit yang erat dengan komunis.
 
“Banyak masyarakat dibayang-bayangi oleh hantu komunis yang tidak jelas keberadaannya,” pungkas Alghiffari.
 
Razia demi razia dilakukan. Penyitaan demi penyitaan berjalan. Penangkapan pun tidak dihindarkan. Arahan untuk mengatasi keresahan, namun justru jadi persoalan. Bayang-bayang kelam masa lalu justru kini menghantui. Niat memperbaiki sejarah lewat rekonsiliasi justru ditentang berbagai lini.
 
Sementara itu, masyarakat kalangan menengah menyikapi isu hantu komunisme ini dengan cara jenaka. Kalangan ini meneriakkan protes atas sikap aparat yang terlalu berlebihan dalam menghalau gerakan paham komunisme melalui penerbitan meme bernuansa satir.
 
Kritik masyarakat kelas menengah yang riuh disampaikan melalui media sosial, terutama Twitter, meminta warga agar tidak terprovokasi isu komunisme atau PKI yang belakangan kembali merebak. Antara lain seperti cuitan akun populer di jagad Twitter di bawah ini.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan