medcom.id, Jakarta: Harga daging melonjak. Diduga ini merupakan permainan pihak-pihak tertentu yang ingin mengerek harga daging. Pemerintah dinilai tak sigap dalam mengantisipasinya.
Kenaikan harga daging kali ini merupakan yang tertinggi dalam tiga dekade terakhir. Tudingan langsung mengarah kepada Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan instansi terkait seperti Bulog yang tampak lamban melakukan intervensi harga.
Senin kemarin (10/8/2015), harga daging telah mencapai Rp130 ribu per kilogram, atau lebih mahal Rp40 ribu dari harga normal. Ironisnya, harga sapi di tingkat peternak relatif murah. Peternak pun sulit menjual komoditasnya. Biasanya memang stok daging banyak ditahan menjelang Idul Adha.
Kemendag dan Badan Urusan Logistik (Bulog) seharusnya melakukan intervensi pasar. Dalam Perpres tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Penting (Bapokting), Menteri Perdagangan punya wewenang penuh untuk melakukan intervensi harga. Apalagi dalam kondisi tertentu dan luar biasa seperti saat ini.
Pembatasan impor sapi yang diberlakukan oleh pemerintah dituding menjadi biang keladi melambungnya harga daging sapi. Pemerintah beralasan bahwa laporan yang diterima menunjukkan stok daging lokal melimpah. Namun, data menunjukkan Indonesia masih kekurangan stok daging sapi.
Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan, menyebutkan bahwa kebutuhan daging sapi nasional 653 ribu ton per tahun. Itu setara dengan 3.657.000 ekor sapi atau 305 ribu ekor per bulan. Sementara stok sapi lokal hanya 2.339.000 juta ekor atau 406 ribu ton. Artinya, Ada kekurangan pasokan 247 ribu ton atau setara 1.383.000 ekor. Kekurangan itu bisa ditutup kalau setiap triwulan dilakukan impor 250 ribu sapi bakalan.
Jika harga daging terus melambung, dikhawatirkan peternak nekat memotong sapi betina, tiang penyangga swasembada sapi. Apabila itu terjadi, maka Indonesia akan semakin jauh dari cita-cita swasembada pangan, khususnya swasembada sapi.
Mahalnya harga daging sapi membuat pedagang sulit mencari keuntungan. Ditambah dengan pasokan yang kurang, para pedagang sapi sepakat untuk melakukan aksi mogok berjualan daging sapi di pasar-pasar tradisional yang dimulai pada Minggu hingga Kamis.
Salah satu pedagang daging sapi Pasar Kramat Jati, Yusuf (45), mengingatkan kepada pemerintah agar segera mencari solusi menyelesaikan masalah kurangnya pasokan dan tingginya harga. Jika tidak, para pedagang daging sapi pasar tradisional yang ada di wilayah Jabodetabek mengancam akan melakukan aksi demo besar-besaran.
Pedagang menuntut pemerintah segera membuka keran impor sapi lebih lebar agar pasokan dalam negeri terjamin. Alasannya, pasokan yang berasal dari feedloter (penggemukan sapi) dan Rumah Potong Hewan (RPH) saat ini dirasa kurang dari kebutuhan yang ada.
Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian diharapkan bekerja sama dalam mengatasi permainan harga yang dilakukan oleh para mafia. Kementerian terkait juga harus mengawasi potensi mafia daging merekayasa harga dan distribusi daging lebih jauh.
Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengatakan keputusan mengimpor sapi merupakan kewenangan pihak Kementerian Pertanian (Kementan).
"Janganlah pedagang yang minta impor. Pemerintah yang atur. Pasokannya kurang saya langsung tanya ke feedloter hari Minggu. Hitungan kita empat bulan, dia hitung tiga bulan, tidak apa-apa. Nah terus kenapa dikasih naik?" ujar Mentan Amran Sulaiman ketika ditemui di Bandara Kalimarau, Kalimantan Timur, Kamis (13/8/2015).
Menurut data dari Kementan, stok sapi pada bulan lalu tercatat sebanyak 221 ribu ekor sapi bakalan. Menurut Amran stok tersebut cukup untuk lima bulan ke depan.
"Bulan lalu ada 221 ribu ekor sapi bakalan di feedloter. Jadi itu bisa untuk lima bulan. Nah itu satu bulan lalu 40 ribu. Masih ada empat bulan kan," ungkap Amran.
Amran pun mengaku heran dengan kenaikan harga daging sapi ini, karena seharusnya konsumenlah yang berdemo dan bukan pedagang sapi. "Seharusnya konsumen yang demo. Kenapa pedagang? Katanya harga tinggi, harusnya untung. Katanya enggak ada pembeli. Ya masa musti dipaksa? Memang tidak makan kalau enggak makan daging di Jakarta?" tegas Mentan.
Oleh karena itu, dia menegaskan keputusan impor ada di pihak Kementan sesuai kebutuhan dalam negeri. Jika harus ada impor, nantinya akan melalui Badan Urusan Logistik (Bulog).
"Keluarkan rekomendasi sesuai kebutuhan dalam negeri. Bukan sesuai permintaan dan keinginan. Kalau dibutuhkan impor nanti melalui Bulog. Bulog menjadi stabilisator," katanya.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Budi Waseso menduga kelangkaan daging sapi sengaja diciptakan. Pengusaha dianggap sengaja menyetop pasokan daging ke masyarakat. Menurut pria yang akrab disapa Buwas itu, stok daging masih ada. Bahkan, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan daging di masyarakat.
Buwas beralasan, polisi menemukan 21.933 sapi dalam penggeledahan dua lokasi peternakan di daerah Tangerang, Banten. Dari jumlah tersebut, 4.000 ekor di antaranya siap potong dan cukup untuk memenuhi kuota. Penggerebekan dilakukan di lokasi penggemukan sapi PT Brahman Perkasa Sentosa (PT BPS) di Jalan Kampung Kelor Nomor 33, Kecamatan Sepatan dan Jalan Suryadharma, Kecamatan Neglasari, Tangerang. Perusahaan itu dimiliki oleh BH, PH, dan SH.
Mantan Kapolda Gorontalo itu mengatakan jika pengusaha, importir, dan pegawai manajemen feedloter (penggemukan) terindikasi melakukan tindak pidana penimbunan sapi. "Kalau ada pelanggaran itu, saya akan tindak tegas. Nanti ada sanksi pidananya, dendanya. Ini kan baru mulai pemeriksaan," ujar Budi di Bareskrim Polri, Jalan Trunojoyo, Kamis (13/8/2015).
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Khusus Bareskrim Polri menemukan 21.933 sapi usai menggeledah dua lokasi peternakan di daerah Tangerang, Banten. Dari jumlah tersebut, 4.000 ekor di antaranya siap potong dan cukup untuk memenuhi kuota.
Berdasarkan temuan tersebut, polisi menduga ada tindakan penimbunan sapi yang dilakukan pemilik peternakan dengan sengaja. Buwas mengatakan, alasan sapi-sapi siap potong itu tak segera dipotong dikarenakan tak laku dijual atau tak ada pembelinya. "Nah, (alasan) ini yang kita dalami," kata Buwas.
Kepolisian pun sudah memanggil tiga saksi untuk diperiksa dan dimintai keterangan. Saksi-saksi itu, kata Buwas, masih seputar pemilik dan importir sapi.
Budi menambahkan, masih ada beberapa tempat selain di PT BPS yang diduga melakukan penimbunan sapi. Bareskrim Mabes Polri telah membentuk tim, serta telah disebar di wilayah Jakarta dan beberapa kota di Jawa.
Menurut Komjen Budi ada upaya monopoli yang dilakukan pihak yang menginginkan kelangkaan daging sapi terjadi. Memang, saat ini harga daging sapi di beberapa daerah sudah melonjak dan tembus Rp130 ribu perkilogram.
Sementara itu Kasubdit Industri dan Perdagangan Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Helmy Santika mengatakan di tempat kejadian perkara ditemukan 500 ekor sapi yang sudah memenuhi persyaratan untuk dijual atau dipotong. Namun, Bareskrim Mabes Polri tidak mengamankan sapi ini tapi tetap diletakkan di peternakan PT BPS.
Informasi yang diperoleh, peternakan melakukan penimbunan sejak sehari sebelum Idul Fitri sampai dengan saat ini. Mereka tidak melakukan kegiatan melepas atau menjual atau ke rumah pemotongan hewan (RPH).
"Petugas sudah pasang police line, menyita sejumlah dokumen terkait keluar dan masuknya sapi, serta memeriksa saksi dan juga pemilik," kata Helmy.
Ketua Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Syarkawi Rauf, menengarai bahwa ada persekongkolan yang dilakukan antara importir dan feedolter untuk menaikkan harga daging dengan cara menahan pasokan daging sapi.
"Ada pengakuan yang menyatakan bahwa ada pihak yang sengaja menahan pasokan ke pasar," kata Syarkawi usai timnya melakukan inspeksi mendadak ke sebuah RPH di kawasan Jakarta Barat, Senin (10/8/2015).
Menurut dia, ini merupakan suatu indikasi terjadinya praktik kegiatan kartel yang perlu didalami oleh KPPU. Lembaga ini pun memang telah melakukan pemantauan terhadap tindakan kartel dalam perdagangan daging sapi sejak 2012.
KPPU kini sedang mengumpulkan bukti yang kuat untuk membongkar kasus ini. "Mudah-mudahan ada alat bukti baru, yang memang memperkuat dugaan itu," kata Syarkawi.
Menurut Syarkawi, KPPU sempat mengawasi secara ketat pergerakan di pedagang besar dan importir sapi di pasar atas dugaan kartel pada tahun 2013. Saat itu, KPPU berkesimpulan peluang munculnya kartel justru dapat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi peningkatan populasi dalam negeri.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI), Asnawi, menegaskan bahwa aksi mogok yang dilakukan pedagang sapi tradisional yang ada di Jakarta, Jawa Barat dan Banten merupakan puncak keresahan yang dialami pedagang mengingat harga daging di RPH sudah meninggi karena pasokan dari feedloter dibatasi.
"Aksi meliburkan diri ini bukan atas inisiasi para importir. Itu tidak benar. Pedagang meliburkan aktifitas jual beli karena harga sapi di tingkat feedloter sangat mahal sehingga pengusaha jagal tak mampu membeli. Kalau dipaksa, mereka juga akan merugi karena daya beli masyarakat sendiri menurun," ujar Asnawi kepada medcom.id, Jakarta, Rabu (12/8/2015).
Ia mengakui, ketersediaan sapi yang ada diimportir sendiri sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun karena keterbatasan untuk mengimpor, para importir menaikkan harga sapi sebesar 30 persen sehingga RPH sebagai tangan kedua penyediaan daging sapi kepada para pedagang di pasar tradisional, tak mampu membeli harga sapi dari importir tersebut.
"Sebenarnya, pasokan sapi di feedloter cukup untuk tiga bulan ke depan. Namun sayangnya, harga sapi di feedloter mahal dan pengusaha jagal tak mampu membeli," tukas dia.
Tolak dikambinghitamkan
CEO Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring, menyatakan bahwa selama ini pemerintah selalu bernafsu mencapai swasembada daging. Padahal, Menteri Pertanian pada kabinet pemerintahan sebelumnya, Suswono, telah mengakui bahwa program swasembada gagal terwujud karena salah perhitungan.
Menurut Thomas, roadmap 2015-2019 menyebutkan bahwa target swasembada memenuhi kebutuhan lebih dari 450 ribu ton daging. Merujuk pada ketentuan Badan Pangan (Food and Agriculture Oranization/FAO) yang bernaung di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mencapai swasembada syaratnya adalah porsi impor harus di bawah 10 persen dari kebutuhan.
Kebijakan pemerintah memangkas kuota impor sapi maupun daging dengan alasan pelaksanaan program swasembada pangan masih perlu dikaji ulang.
"Bilangnya mau swasembada, malah impor sudah 40 persen," ujar Thomas dalam perbincangan dengan medcom.id, Rabu (13/8/2015).
Perusahaan pengimpor, ia melanjutkan, sebenarnya banyak yang menanggung kerugian dengan pengurangan kuota yang diberlakukan pemerintah. Demi tetap menjalankan roda bisnisnya, tak sedikit pengusaha penggemukan sapi yang menaikkan harga untuk menutupi biaya operasional selama periode tiga bulan ke depan dan membatasi penjualan sapi kepada RPH.
"Harga naik, cari sapi pun sulit, apalagi impor dibatasi. Nah, pedagang pun jadi mogok. Jadi, muaranya itu lantaran pemerintah yang terlalu bernafsu ingin swasembada," kata Thomas.
Thomas tak habis pikir dengan tudingan negatif kepada pengusaha setiap ada harga naik. "Selalu dituduh mafia atau kartel lah, penimbunan lah, segala macam. Itu tandanya ingin memindahkan persoalan ke orang," kata dia.
Padahal ini soal kebijakan pembatasan kuota impor yang tidak tepat pada waktunya. Sebab momentumnya menjelang Idul Adha, perayaan hari raya bagi umat Islam untuk berkorban dengan menyembelih hewan ternak seperti sapi jantan agar dagingnya bisa didermakan kepada pihak yang berhak. Karena perayaan Idul Adha tinggal sebulan lagi, maka peternak akan menahan menjual sapinya agar bisa lebih tinggi harganya sebagai hewan kurban.
"September kan Idul Adha, ngapain peternak jual murah sapinya? Akuilah bahwa pemotongan kuota itu timing-nya tidak tepat," kata Thomas.
Mestinya, ia menambahkan, pemerintah mempertimbangkan bahwa menjelang Idul Adha akan terjadi kelangkaan pasokan dari peternak sapi lokal. Berdasarkan hukum ekonomi terkait keseimbangan penawaran (supply) dan permintaan (demand), maka kenaikan harga sapi tidak bisa dihindari ketika terjadi kelangkaan.
"Kenapa pemerintah tidak memperhitungkan, kalau dibuat kebijakan ini akibatnya apa. Ini kan mereka tidak hitung kemungkinan akan terjadi kelangkaan. Dalam membuat suatu kebijakan itu seharusnya sudah memperhitungkan dampaknya dong," kata Thomas.
Sementara itu, Johny Liano selaku Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) menyatakan hal senada. Ia tidak terima jika pemerintah pemerintah menyalahkan feedloter terkait fenomena lonjakan harga daging. Apalagi jika dituding telah menaikkan harga jual sapi potong secara sepihak.
"Harga itu kan pembentukan dari supply dan demand. Kalau mereka melihat hitung-hitungan feedloter, dimana letak mahal harganya?," kata Johny kepada medcom.id.
Ia menjelaskan, kurs rupiah yang melemah terhadap dolar AS juga turut membebani para pengusaha feedloter.
"Posisi nilai tukar dolar AS kan sekarang sudah kisaran Rp13.650-Rp13.800. Kalau itu dikalikan harga sapi USD2,8 per kilogram, sudah berapa? Itulah kondisinya," kata Johny.
Makanya, ia melanjutkan, tidak perlu cari siapa yang salah ketika para pedagang daging mogok jualan di pasar-pasar. Tetapi, alangkah baiknya jika pemerintah mencari jalan keluar atas masalah ini dengan melibatkan para pengusaha.
"Kita harus duduk bersama cari solusinya . Apa sih yang salah, kalau cari siapa yang salah, ya semuanya saja dikambinghitamkan," kata Johny.
Ia menekankan, masyarakat perlu tahu bahwa sumber suplai daging untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia sebenarnya ada tiga, yaitu sapi lokal, sapi impor, dan daging impor. Sapi lokal kontribusinya 80 persen dari total kebutuhan. Kenapa tidak bisa 100 persen? Karena memang produksi sapi lokal tidak cukup, sehingga harus ditopang 20 persennya oleh sapi impor untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan masyarakat terhadap daging di pasar.
"Nah, sekarang sapi impor ini kan sudah diizinkan nih pada kuartal kedua 250 ribu ekor dengan masa penggemukannya tiga bulan. Artinya, per bulan kami melakukan penjualannya itu 60 ribu ekor. Rata-rata 70 persen dari 60 ribu itu, atau sekitar 40 sampai 45 ribu, pasarnya Jabodetabek dan Bandung Raya," kata Johny.
Untuk skala nasional, kebutuhannya sekitar 300 ribu ekor sapi. Importir mendapat kuota 50 ribu ekor. Padahal, khusus Jabodetabek dan Bandung Raya butuh pasokan 45 ribu ekor. Karena memang di tiga daerah ini yang pemakan daging paling banyak.
Tapi masalahnya, tiga daerah itu tak bisa memenuhi kebutuhannya dari pasokan lokal. Karena peternaknya tidak ada. Sehingga, tak mengherankan jika pasar di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat menjadi wilayah yang paling banyak menyerap sapi impor.
Di sinilah pangkal masalahnya. Diketahui, pemerintah hanya memberikan izin impor 50.000 ekor sapi bakalan untuk kuartal III-2015, jauh dari yang diajukan feedloter sebesar 250.000 ekor, jumlah yang sama dengan jatah kuartal II-2015.
Artinya, menurut Johny, selama kurun tiga bulan mulai Juli hingga Agustus tahun ini feedloter harus mengurangi penjualannya.
"Kebutuhan kita kan 50 ribu ekor per bulan. Semula, harapannya dari 300 ribu kebutuhan nasional itu, per bulannya dapat diisi dan dibantu oleh feedloter 50 ribu untuk tiga bulan. Tapi, sekarang jadi per bulan itu 20 ribu atau 15 ribu, semakin tinggi share market dari sapi lokal kan," kata Johny.
Sementara di sisi lain, pemerintah tidak memasukkan variabel hitungan bahwa umat muslim di Indonesia pada bulan September merayakan Idul Adha. Karena mau Idul Adha, sapi sapi di peternak itu ditahan dan dijualnya nanti pada bulan lebaran, pada hari kurban, dengan harapan harganya akan mahal di situ.
Jadi, ia menambahkan, ada pasokan dari sapi lokal sudah kurang ternyata diperparah dengan kuota sapi impor yang dibatasi. Akibatnya, suplai sapi potong pun berkurang alias terjadi kelangkaan pasokan.
Dengan demikian, Johny pun membantah anggapan yang menyebut feedloter sengaja menahan stok sapi sehingga terjadi kelangkaan daging di pasar. Karena, pengusaha feedloter tak akan mau menanggung kerugian dari beban operasional sapi siap potong.
Stok sapi di kandang feedloter harus melewati tiga fase sebelum dilepas ke pasar. Fase pertama adalah masa karantina selama dua minggu. Fase kedua adalah proses penggemukan selama 110 hari. Fase ketiga adalah masa sapi siap potong.
Biasanya, menajemen operasional masing masing perusahaan feedloter mengatur pengemukan sapi impor. Polanya antara lain, jika sapi impor masuk bulan pertama maka dijualnya pada bulan keempat. Apabila sapinya masuk bulan kedua, dijualnya pada bulan kelima. Ketika sapi itu masuk di bulan ke tiga, dijualnya pada bulan keenam. Begitulah seterusnya.
Jadi, sapi siap potong itu kira-kira jumlahnya sepertiga dari total sapi yang ada di dalam kandang.
"Pada fase ketiga itu, sapi siap potong menghabiskan biaya Rp40.000 per hari. Nah, siapa yang berani menjamin resiko menahan sapi itu?," kata Johny.
Itu baru dari segi beban operasional. Belum lagi kerugian lain jika sapi itu sudah siap dipotong dan dijual itu ditahan, nanti akan menjadi berlebihan lemak. Kalau sapi sudah berlemak, harganya turun.
Oleh karena itu, ia berharap siapapun tidak begitu mudah mengkambinghitamkan feedloter yang menahan stok sapinya terkait masalah lonjakan harga daging di pasar.
"Mungkin khalayak luar itu karena tidak tahu teknis itu, jadi komentar dan asumsinya macam-macam. Maka dari itu, saya menjelaskan begini lho kondisi di kandang," kata Johny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News