Ilustrasi sapi. DOK Medcom
Ilustrasi sapi. DOK Medcom

Swasembada Daging Terkendala Ganguan Kawin Berulang, Apa Itu?

Renatha Swasty • 21 Mei 2025 10:39
Jakarta: Guru Besar Bidang Ilmu Teknologi Reproduksi Veteriner Molekuler FKH Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. drh. Asmarani Kusumawati, M.P., menyebut Indonesia masih belum mampu mencapai swasembada daging sapi. Sehingga masih mengandalkan impor dari negara lain.
 
Pemerintah telah mengupayakan peningkatan populasi sapi, namun tingkat keberhasilannya bervariasi sehingga menciptakan kesenjangan antarwilayah. Tekanan lingkungan, terutama alih fungsi lahan yang mengurangi ketersediaan pakan alami, menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan populasi sapi dalam negeri.
 
Salah satu gangguan yang ditemukan pada sapi di Indonesia adalah kawin berulang. Kawin berulang pada sapi dapat menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi dan produktivitas.

Ini ditandai dengan panjangnya calving interval, rendahnya angka konsepsi, tingginya service per conception, dan kondisi metabolik yang tidak optimal.
 
“Kami menemukan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap angka kejadian kawin berulang adalah faktor infrastruktur seperti kondisi sanitasi kandang, dan faktor pengetahuan peternak,” ujar Asmarani saat menyampaikan pidato pengukuhan jabatan Guru Besar berjudul ‘Teknologi Reproduksi Veteriner Molekuler untuk Penguatan Ketahanan Pangan Indonesia’ dikutip dari laman ugm.ac.id, Rabu, 21 Mei 2025.
 
Gangguan reproduksi pasca melahirkan, seperti kenaikan leukosit oleh karena adanya infeksi, merupakan hal yang sering ditemukan dalam praktik peternakan sapi sehari-hari di masyarakat. Penyakit infeksi pada hewan ternak, seperti brucellosis, infectious bovine rhinotracheitis (IBR), toxoplasmosis, foot and mouth diseases (FMD), dan penyakit jembrana, masih menjadi tantangan serius di Indonesia.
 
Baca juga: Pakar UGM Bagikan Cara Tingkatkan Produksi Daging dan Susu Sapi Dukung Proyek Strategis Nasional 

Penyakit-penyakit ini mengganggu kesehatan hewan ternak dan fungsi organ reproduksi. Misalnya, menyebabkan keguguran, infertilitas, atau kelahiran prematur.
 
“Ini berdampak pada kerugian ekonomi yang signifikan akibat penurunan produktivitas ternak. Oleh karena itu, deteksi dini dan akurat menjadi kunci untuk mencegah penyebaran penyakit,” ucap dosen Departemen Reproduksi dan Obstetri itu.
 
Bersama grup risetnya, Asmarani mengembangkan metode deteksi molekuler dan imunokimia untuk mengidentifikasi patogen pada hewan ternak. Teknologi nanopartikel muncul sebagai pendekatan sistem penghantaran antigen yang menjanjikan untuk pengembangan vaksin penyakit infeksi pada hewan ternak.
 
Penelitian menunjukkan formulasi nanopartikel berbahan dasar chitosan, liposom, dan polylactic-co-glycolic acid memiliki kemampuan untuk mengenkapsulasi dan melindungi antigen vaksin, sekaligus meningkatkan uptake seluler.
 
“Harapannya, pengembangan metode ini dapat diadopsi secara luas oleh laboratorium diagnostik, dinas peternakan, dan peternak di Indonesia,” ujar Asmarani.
 
Asmarani merupakan adalah salah satu guru besar dari 529 guru besar aktif di Universitas Gadjah Mada. Di tingkat fakultas, ia merupakan salah satu dari 21 guru besar aktif dari keseluruhan 33 guru besar yang pernah dimiliki Fakultas Kedokteran Hewan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan