Zuhairi Misrawi. (foto: MI/Susanto).
Zuhairi Misrawi. (foto: MI/Susanto).

Terorisme dan Tuduhan Miring terhadap Pesantren

Medcom Files telusur terorisme
Sobih AW Adnan • 25 Januari 2016 22:58
medcom.id, Jakarta:Seorang utusan berbaju putih, berdasi dan berpeci hitam khas Indonesia tiba-tiba menghadap. Dengan penuh harap, ia menyampaikan bahwa Presiden Soekarno menitipkan sebuah pesan tanya, apakah hukumnya membela tanah air, bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Al-Quran?.
 
“Sekali lagi, Kiai, apakah hukumnya membela tanah air?,” tanya sang utusan kepadaHadaratussyaikhKH Hasyim Asy’ari, dalam salah satu adegan di film Sang Kiai.
 
Hadaratussyaikhsempat tertegun. Tak lama, tokoh kharismatik pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang diperankan aktor berbakat, Ikranegara,ini tampak berada di antara para kiaisepuh, semacam sedang berembuk dan bersidang. Lantas, lahirlah sebuah ultimatum yang kerap disebut dengan Resolusi Jihad, api semangat yang membakar pertempuran 10 November 1945, di Surabaya.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
“Hukum membela tanah air dan melawan penjajah adalahfardlu 'ain(wajib).Perang melawan penjajah itu adalahjihad fi sabilillah,” suara landai Kiai Hasyim, disambung dengan latar adegan pertempuran yang cukup mengharukan. Film sarat sejarah garapan Rako Prijanto ini cukup menggambarkan suasana persinggungan aantara pengaruh agama dan nasionalisme di era kemerdekaan. Agama, yang dalam hal ini diwakili oleh kelompok pesantren, menjadi salah satu penopang perjuangan yang patut diperhitungkan, termasuk keterlibatan putra KH Hasyim Asyari, yakni KH Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan negara agama.
 
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj, menyatakan bahwa inilah potret paling pas untuk menepis anggapan miring tentang pesantren dan ketokohan para ulama dan kiai.
 
“Inilah Indonesia. Jika di Timur Tengah ulama dan negara cukup sulit untuk merumuskan perdamaian demi keutuhan negara,yakarena di sana yang ulama belum tentu nasionalis, dan yang nasionalis belum tentu ulama. Di sini, sejarah sudah menunjukkan betapa ulama pendahulu kita mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Said kepada medcom.id, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
 
Dituduh akar radikalisme
 
Belakangan, nama pesantren kerap diseret-seret dalam persoalan yang cukup mengganggu semangatpersatuan dan kesatuan bangsa. Pesantren, kerap dihubung-hubungkan menjadi latar belakang pendidikan para pelaku bom bunuh diri di beberapa tindak terorisme yang pernah terjadi.
 
Terkahir, kejadian teror yang meletup di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Aksi teror itu memunculkan nama Muhazan, salah satu pelaku yang tewas. Konon, si pelaku ini pernah mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren di kawasan Subang, Jawa Barat.
 
Said menjelaskan, dalam beberapa waktu belakangan memang muncul gejala paham radikalisme Wahabi masuk ke beberapa pesantren dengan cukup massif. Itu karena mereka mendapatkan dukungan dari beberapa oknum diSaudi Arabiyah.
 
"Berdasarkan laporan dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), ada 20 pesantren di Indonesia yang terindikasi menyebarkan ajaran radikal,” kata sosok yang akrab disapa Kang Said tersebut.
 
Menurut Said, masuknya pengaruh Wahabi di beberapa pesantren ini mulai terjadi pada tahun 1980-an. Dampaknya perubahan pola dan karakter yang dimiliki beberapa pesantren dari yang mengedepankan kesantunan dalam berdakwah hingga menjadi “motor” gerakan radikalisme danterorisme.
 
“Hal ini lebih terasa lagi sejak kita memasuki babak kebebasan informasi, serta mudahnya bagi negara lain untuk membangun pengaruh melalui lembaga pendidikan di Indonesia,” kata Said.
 
Kebebasan informasi yang disambut dengan inisiatiftak baik ini, lanjut Said, juga dijadikan sebuah peluang untuk memelihara konflik Sunni versus Syiah yang diadopsi dari suasana politik di kawasan jazirah guna mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa.
 
“Konflik Sunni-Syiah itu hanyalah hasil dari upaya orang-orang yang berkepentingan mengadu domba berdasarkan konflik yang sedang berlangsung di Timur Tengah,” ujar pria kelahiran 3 Juli 1953 ini.
 
Meskipun begitu, kata Kang Said, NU sebagaijamiyahberlandaskan Islam ahlussunnah wal jamaah merasa berkewajiban untuk menjaga keutuhan bangsa dengan menyebarkan semangat keindonesiaan melalui jaringan pesantren yang dimilikinya.
 
Saat ini NU memiliki 21.000 pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Upaya yang tengah NU lakukan adalah terus mempertahankan rasa cinta kepada tanah air dan terusmenyiapkan generasi yang paham konteks persoalan kebangsaan.
 
"Untuk menganalogikan persoalan dan kebutuhan bangsa dengan prinsip keagamaan tentu harus memiliki tingkat keilmuan yang mumpuni,” kata Said.
 
Faktor ideologi, pendidikan, dan kemiskinan
 
Pengamat Timur Tengah dari The Middle East Insitute, Zuhairi Misrawi, mencermati kebrutalan tindak terorisme berdalih agama seolah mengalami puncaknya ditandai dengan munculnya dua nama kelompok: Al-Qaeda danIslamic State of Iraq and Syria (ISIS). Keduanya, menjadi semacam poros aksi radikalisme dan teror yang terjadi di beberapa negara selama hampir dua dekade terakhir.
 
“Fenomena terorisme di Indonesia pun terkait dengan fenomena global. Pulangnya para eks mujahidin Afghanistan dan Osama bin Laden lantas mendirikan Al Qaeda, makamereka yang tergabung dalam jaringan Jemaah Islamiah mulai melakukan aksi terorisme,” ujar Zuhairi saat berbincang dengan medcom.id.
 
Menurut Zuhairi, dalih yang dipropagandakan oleh kedua jemaah tersebut adalah gerakan melawan dominasi dan diskriminasi global yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan negara-negara blok barat. Upaya ini terus digencarkan hingga berhasil mengguncang aksi teror lanjutan setelah melancarkan serangan 11 September 2001 yang menghancurkan dua gedung tinggi di AS, World Trade Center (WTC) dan The Pentagon yang menewaskan hampir 3.000 jiwa.
 
“Maka dari itu, aksi terorismepada mulanyamenyasar para turis di Bali dan kedutaan asing yang identik dengan Barat,” kata pria yang akrab disapa Gus Mis tersebut.
 
Aksi radikalisme dan tindak terorisme sempat mengalami penurunan frekuensi sejak tersebar kabar tewasnya pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden,pada 2011 lalu. Namun, kata Zuhairi, munculnya kelompok ISIS seolah menjadi semangat baru bagi para pelaku teror.
 
“Munculnya ISIS membuat terorisme semakin menakutkan, bahkan brutal,” ujar Gus Mis.
 
Sementara terkait faktor-faktor tumbuh kembangnya aksi terorisme, Zuhairi Misrawi menyebutkan beberapa sebab seseorang bisa terseret dan terlibat untuk melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Di antaranya ialah faktor ideologi, pendidikan serta kemiskinan.
 
“Orang terlibat pada gerakan terorisme karena ada ideologi yang memompa militansi. Dulu, Al Qaeda menggunakan ideologi jihad untuk melawan Barat. Sekarang ISIS menggunakan ideologi Negara Islam untuk mewujudkan ambisi gerakannnya,” kata Zuhairi.
 
Faktor pendidikan dilandasi pada lemahnya kesadaran sejarah dan wawasan kebangsaan lainnya. Hal ini, kata Gus Mis, bertolak belakang pada fakta sejarah perjuangan kemerdekaan melalui persatuan beragam identitas yang ada, yakni perbedaan agama, suku, mazhab bahkan aliran.
 
“Begitu pula, faktor kemiskinan dan lemahnya pemahaman terhadap agama menyebabkan seseorang bisa dengan mudah terjaring pada kelompok teroris,” kata dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan