ILUSTRASI: Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menunjukkan kartu keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan. (MI/RAMDANI)
ILUSTRASI: Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menunjukkan kartu keanggotaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bidang kesehatan. (MI/RAMDANI)

Sebabak Kenangan Buruk Pengguna BPJS

Medcom Files dokter dan kesehatan
Sobih AW Adnan • 30 Januari 2017 15:17
medcom.id, Jakarta: Syahril menghela napas sebelum banyak bercerita. Katanya, pengalaman mendapat pelayanan buruk dari rumah sakit (RS) masih begitu membayang. "Lelah masih terasa, kekesalan masih menumpuk di dada". Padahal, kejadian itu sudah berlalu cukup lama, tepatnya pada 2 September 2016.
 
Cerita Syahril dimulai saat kabar gembira mengembus dari balik telepon genggamnya. Sang istri tercinta, Mita Amania mengabarkan rasa mulas di bagian perut. Syahril membayang bahagia, anak ketiganya akan segera lahir.
 
Syahril yang mencukupi kebutuhan hidupnya sebagai penjaga toko servis ponsel di bilangan Roxy, Jakarta Pusat itu langsung bergegas pulang. Sesampainya di rumah, malam itu juga ia memboyong istrinya ke Pusat Layanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Kebon Jeruk, Jakarta. Pukul 21.00 WIB, istrinya langsung mendapat penanganan bidan. Setelah proses kontraksi lebih dari lima jam, pukul 03.00 WIB pagi, putri mungil itu pun lahir. Dengan bangga, Syahril menamainya Rachel Aurora.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Firasat buruk sejak dirujuk Syahril mengandalkan semua biaya persalinan itu kepada kartu asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ia menjadi pemegang hak Penerima Bantuan Iuran (PBI) sejak kali pertama program ini digulirkan Pemerintah. Sayangnya, persalinan di Puskesmas malam itu tak dianggap cukup. Kebahagiaan Syahril cuma bertahan beberapa menit saja. Setelah bidan menceritakan bahwa istrinya mesti segera dirujuk ke RS, air muka gembiranya kembali dirampas kecemasan.
 
"Persalinan istri Anda mengalami masalah. Plasenta bayi masih tertinggal di dalam rahim," ucap Syahril menirukan perkataan bidan yang masih ia ingat, Kamis (26/1/2017).
 
Pria berusia 32 tahun itu pun lekas menyepakati. Tak lama, pihak Puskesmas Kebon Jeruk menghubungi RS yang dianggap layak. Pertama, dihubungilah salah satu rumah sakit di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Sebut saja RS A. Sayangnya, dari seberang telepon dengan cepat mengabarkan bahwa seluruh ruangan di rumah sakit besar itu penuh.
 
Sebabak Kenangan Buruk Pengguna BPJS Syahril. (MTVN/Sobih)
 

 
"Saya dengar dari teman-teman, hal ini (informasi ruangan penuh) biasa diterima pengguna BPJS," kata Syahril.
 
Pupus harapan di RS A, bidan beralih menelepon RS B di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Beruntung, tak didengar jawaban serupa dari RS yang tak kalah besar itu. Dengan bantuan dari Puskesmas, Syahril lekas membawa istrinya menuju RS B dengan menggunakan ambulan.
 
Pukul 03.00 WIB, Syahril dan istrinya tiba di RS B. Menurut pengakuan Syahril, dari sinilah penanganan buruk itu mulai dirasakan.
 
"Bayangkan saja, pas turun dari ambulan, tak ada penjaga atau perawat yang membantu. Saya mencari kursi roda dan tergesa-tergesa membawa istri masuk RS sendirian," kata dia.
 
Dokter langka
 
Syahril tak mau ambil pusing. Dalam pikirannya, yang penting sang istri segera mendapatkan penanganan. Setelah sampai di UGD, barulah dua perawat perempuan menghampiri. Bagai petir menyambar, keduanya menyampaikan bahwa tidak ada dokter yang bertugas malam itu. Terkecuali jika berkenan menunggu hingga pagi.
 
"Dokter sedang ke luar kota," ucap suster tanpa beban, begitu Syahril menceritakan.
 
Apa mau di kata. Syahril mesti pasrah lantaran sang istri hanya mengandalkan asupan infus. Padahal, ari-ari itu mesti segera dikeluarkan. Beratnya lagi, Syahril harus sekuat tenaga mencegah istrinya jangan sampai terlelap. Lantaran kata suster, bisa fatal jika darah putihnya naik.
 
Sebab menunggu, waktu jadi terasa lebih lama. Namun bermodal kesabaran, Syahril dan istrinya memilih bertahan hingga pukul 6.00 WIB pagi yang dinanti itu tiba. Namun kekecewaan kembali berulang, dari ruang perawat ia tak juga mendapat jawaban memuaskan.
 
"Ketika saya tanya dokternya sudah ada, Bu? Mereka jawab enteng, belum datang," kata Syahril.
 
Syahril makin panik. Kondisi istrinya kian melemah lantaran nyaris 24 jam tanpa sempat istirahat. Hampir seper sekian jam Syahril menanyakan ulang kepada perawat, namun jawaban yang dianggapnya mengecewakan itu terus berulang.
 
"Barulah pada pukul 11.00 WIB, dokter datang. Itu pun, dokter kandungan dengan bidang yang tidak sesuai dengan keluhan istri saya," ujar Syahril.
 
Setelah diperiksa, dokter memutuskan untuk melakukan pembersihan di bagian rahim alias kuret. Demi kebaikan istrinya, Syahril kembali bersepakat. Setelah proses dilakukan dengan lancar, Syahril disarankan dokter agar merelakan istrinya dirawat di RS B dalam tempo beberapa hari.
 
Begitu prosedurnya, Pak!
 
Hari sudah mulai cerah. Begitu pun Syahril yang mulai merasakan napas lega. Dokter mempersilakan mereka berdua pulang. Si mungil Rachel yang sudah lebih dulu dibawa ke rumah itu sudah amat dirindu setelah beberapa hari terpisah.
 
"Di rumah, istri tampak sehat. Begitu pun ketika hari ke-14 yang mengharuskan kita melakukan kontrol ke RS B. Dokter bilang, rahim sudah kering. Tinggal penyusutan," kata Syahril.
 
Tepat di hari ke-20 setelah kepulangan dari RS B itu, rasa gundah kembali datang. Pasalnya, Syahril tiba-tiba mendapati istrinya pendarahan dengan frekuensi aktif. Tanpa pikir panjang, ia pun kembali memboyong istrinya ke RS B.
 
"Sebenarnya saya tidak bersepakat kembali ke RS B mengingat pelayanan buruk itu. Tapi istri meminta kembali ke sana lantaran di sanalah riwayat penanganan itu tersimpan. Biar tidak mengulang proses," kata Syahril.
 
Petang hari dengan ujan yang cukup deras itu diterjang Syahril. Pukul 20.00 WIB, mereka tiba di ruang IGD. Seorang perawat menghampiri, setelah diperiksa, dia mengatakan bahwa pendarahan kian aktif.
 
"Lagi-lagi, tak ada dokter," keluh Syahril.
 
Dan lagi-lagi pula, perawat hanya mengandalkan asupan infus. Padahal dalam anggapan Syahril, yang dibutuhkan istrinya adalah transfusi agar terjadi keseimbangan antara darah yang masuk dan keluar.
 
"Bisa disediakan darah, Sus? Mereka jawab, ia bilang nanti, Pak, sedang kami proses," ucap Syahril menceritaka percakapannya dengan perawat.
 
Berulang kali Syahril mendatangi meja tempat para perawat itu berkumpul. Tak ia juga dapati kepastian perkara ketersediaan darah. Lagi-lagi, perawat menjawab bahwa sedang dilakukan pengambilan. Tanpa menyebut persis tempat dan kapan itu bisa diselesaikan.
 
“Jika ditanya seberapa sering saya bolak-balik (dari ruangan ke meja perawat), mungkin jaraknya bisa setara dari sini (Jakarta) sampai Bogor,” kata Syahril.
 
Syahril kian bingung. Istrinya tampak pucat. Bahkan kata Syahril, melampaui pucat mendekati kuning. Tangannya dingin. Gerak bibir dan tubuhnya makin lemah.
 
Pukul 03.00 WIB, Syahril mendapati istrinya berbisik menceritakan bahwa kini ada rasa mual mendesak dari ulu hatinya. Ia meminta air hangat. Tapi setelah diberikan minum, istrinya koma.
 
“Setelah itu saya menjerit kencang. Memanggil suster. Baru mereka datang, ditambah ada satu dokter. Dokter bilang, coba diperiksa. Sepertinya butuh darah,” ujar Syahril.
 
Perawat memasang alat pendeteksi jantung, nadi, dan tekanan darah. Menurut Syahril, semuanya tampak rendah. Dari kualitas darah putuh normal di angka 11, istrinya cuma 6. Terlebih tekanan darah, hanya 40.
 
Syahril melihat dokter memberikan instruksi segera dilakukan transfusi darah. Hanya dalam beberapa menit saja, benda yang dinanti itu datang. Setelah saya perhatikan lagi, ternyata darah itu mereka ambil dari lantai 3.
 
“Urusan nyawa kok menunggu koma. Saya sempat menanyakan ke dokter kenapa mesti nunggu koma? Dia jawab, ada prosedurnya, Pak!,” kata Syahril.
 
Setelah darah berhasil mengalir ke badan Mita, kata Syahril, dia kembali sadar setelah dua jam koma. Setelah itu, Mita menjalani perawatan sebelum akhirnya diputuskan operasi angkat rahim tiga hari kemudian.
 
Pelayanan RS begitu buruk, begitu kenang Syahril. Ia meyakini betul bahwa semua itu terjadi lantaran ia pengguna BPJS.
 
“Buktinya, bukan kali ini saja istri saya mengalami peristiwa serupa. Ketika melahirkan Rio Ferdinan (Anak kedua) pada 2009, penanganan begitu sigap. Dini hari masuk RS, paginya sudah beres. Karena apa? Karena waktu itu saya bayar cash,” ucap Syahril, kesal.
 
Diskriminatif
 
Syahril bukan satu-satunya. Banyak pasien lain pengguna BPJS mengalami diskriminasi berupa pelayanan buruk hingga dalam kondisi lebih fatal. Syahril menginginkan agar Pemerintah lebih serius lagi menjamin kesehatan masyarakat.
 
"Semoga tidak ada lagi yang mengalami seperti saya. Untuk itulah saya mau bercerita kepada Telusur," kata dia.
 
Pelayanan buruk bagi pengguna BPJS bukan rahasia umum. Bahkan pakar pelayanan kesehatan, Hasbullah Thabrany keluhans serupa hampir menyeluruh di Indonesia.
 
"Jangankan daerah, di Jakarta saja banyak tindakan diskriminatif pasien," kata Hasbullah saat berbincang dengan medcom.id, Kamis (26/1/2017).
 
Konsultan ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK) itu mencontohkan, diskriminasi pengguna BPJS biasa terjadi dimulai dari perkara antrean.
 
"Karena RS dibayar rendah di JKN. Sementara banyak kewajiban yang harus dibayarkan. Kontrak dengan pemasok obat, dan lain-lain," ujarnya.
 
Hasbullah berharap, permasalahan-permasalahan seputar BPJS ini harus terus dipantau dan dievaluasi. Termasuk soal defisit anggaran. Menurutnya, diperlukan penambahan dana atau pengurangan manfaat.
 
Ukur baju di badan, tampaknya ini yang perlu dilakukan pemerintah. Selama anggaran kesehatannya kecil, 5% dari APBN, tidak perlu terlalu muluk. "Jangan maunya banyak tapi bayarnya sedikit," kata Hasbullah.
 
Angka itu terbilang kecil. "Dengan Thailand saja kita ketinggalan jauh. Mungkin perlu 15 tahun mengejarnya. Dengan Malaysia, 25 tahun. Padahal merdekanya duluan kita," ujar dia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan